Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi)
Tidak bisa dipungkiri banyak fakta yang menunjukkan rezim negeri ini memiliki hubungan mesra dengan rezim China. Investasi China terus meningkat dan pemerintah pun menyediakan berbagai macam kemudahan. Hal ini kembali terbukti dalam kunjungan pemerintah beberapa waktu ini. Hasil dari kunjungan tersebut adalah pemerintah berhasil mendapatkan investasi dari perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited senilai US$ 11, 5 miliar atau setara Rp 175 triliun (asumsi kurs sebesar Rp 15.107 per US$). Pemerintah mengungkapkan Tiongkok merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah Indonesia mengapresiasi dan menyambut baik rencana investasi yang akan dilakukan Xinyi Group.
Tak hanya itu, pemerintah juga menyiapkan 34.000 hektare (ha) lahan di Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, Kalimantan Timur, bagi sektor usaha. Kepada para pengusaha China di Chengdu, pemerintah mengatakan lahan ini khusus dipersiapkan bagi investor IKN, khusus bisnis di sektor kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur (cnbcindonesia.com).
Umat seharusnya memandang bahwa langkah ini bukan sebagai sebuah prestasi atau bahkan kebijakan yang tepat. Pasalnya, utang China yang dibungkus dengan nama investasi telah berhasil menjebak beberapa negara dalam kerugian kronis. Seperti Zimbabwe yang harus mengganti mata uangnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang kepada China (kompas.com). Tak hanya Zimbabwe, negara Sri Langka juga mengalami hal yang sama. Sri Langka harus kehilangan dua infrastruktur kebanggaannya yakni bandara dan pelabuhan Hambantota akibat gagal bayar utang sebesar US$ 1.5 miliar kepada China (cnbcindonesia.com).
Selain itu, umat seharusnya memandang kebijakan ini sebagai indikasi kuat adanya ancaman kedaulatan negara. Peneliti China-Indonesia di Center Economic and Law Studies (Celios) menyatakan sekalipun Indonesia tidak bernasib seperti Zimbabwe atau Sri Langka, namun indikasi perangkap utang itu ada (kobnew.id). Di antaranya Mou Local Currency Settlement (LCS), yang membuat Indonesia dan China sepakat untuk menggunakan Yuan dan Rupiah dalam transaksi ekonomi mereka (tribunnews.com).
Pemerintah juga mengubah-ubah kebijakan ekspor, khususnya komoditas mineral. Bahkan pemerintah angkat tangan terhadap isu HAM China, kasus Muslim Uighur misalnya. Dengan demikian, telah jelas dan benar negeri ini terkungkung negara kapitalisme timur. Di sisi lain, hal ini berpotensi menambah ‘utang’ dan terjerumus dalam jebakan utang. Investasi asing tanpa perhitungan berpotensi menjadi bentuk penjajahan terselubung yang makin kuat negara pemberi hutang, apalagi dalam skema riba.
Ideologi kapitalisme membuat negara pengembannya akan senantiasa mencari mangsa untuk dijajah demi meningkatkan perekonomiannya. Maka, agar Indonesia dari ancaman utang dengan dalih investasi negara kapitalisme, seharusnya negara mengadopsi aturan Allah SWT. Islam diturunkan Allah SWT sebagai sistem kehidupan yang menjelaskan segala sesuatu. “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl: 89).
Islam sudah memiliki mekanisme agar negara memiliki modal yang sangat besar untuk pembangunan tanpa utang. Islam memiliki konsep tata kelola negara seperti sistem ekonomi dan politik yang secara praktis diterapkan oleh institusi negara bernama Daulah Khilafah.
Dalam kitab Al-Amwal fi Dawlah al-Khilafah karya al-‘Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum seorang mujtahid besar abad ini menjelaskan bahwa salah satu strategi yang akan dilakukan negara untuk membiayai proyek infrastruktur adalah memproteksi beberapa kategori kepemilikan umum. Seperti minyak, gas, dan tambang. Khilafah bisa menetapkan penghasilan kilang minyak, gas dan sumber tambang tertentu, seperti fosfat, emas, tembaga, dan sejenisnya yang masuk ke pos kepemilikan umum Baitul Maal dikhususkan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.
Dalil kebolehan kebijakan ini adalah tindakan Rasulullah Saw tatkala menjadi kepala negara di Madinah. Rasulullah Saw pernah memproteksi salah satu tempat di Madinah bernama Tanah an-Naqi, untuk dijadikan tempat menggembala kuda. (HR. Abu Ubaid).
Kebijakan ini pun dilanjutkan Khilafah setelahnya. Pada masa Khalifah Abu Bakar beliau memproteksi ar-Rabdzah yang dikhususkan untuk menggembalakan unta zakat. Beliau mengangkat Abu Salamah untuk mengurus hal tersebut. Bahkan, Khalifah Umar bin Khattab tidak hanya memproteksi ar-Rabdzah tetapi juga as-Syaraf. Khalifah Umar mengangkat Hunnaiyyi untuk mengurus pelaksanaan kebijakan tersebut. Rasulullah Saw bersabda: “Tidak ada hak untuk memproteksi, kecuali milik Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Dawud).
Tak hanya memproteksi kepemilikan umum, negara boleh menggunakan harta kepemilikan negara Baitul Maal yang bersumber dari fai’, kharaj, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul, dan sebagainya untuk keperluan pembangunan. Dengan dua strategi ini, negara dijamin tidak akan terjerat utang negara asing atau lembaga global. Sehingga negara akan menjadi aman karena kedaulatan negara berada di tangan pemimpin, bukan disetir negara kapitalisme.
Selain memproteksi kepemilikan umum, Khilafah boleh menarik pajak (dharibah) kepada kaum Muslimin. Hanya saja kebijakan ini hanya boleh dilakukan ketika tidak ada kas yang bisa digunakan di Baitul Maal. Jadi, kebijakan ini hanya digunakan untuk membiayai sarana dan prasarana yang penting dan genting. Seperti pembangunan jembatan di daerah terisolir perairan, pembangunan sekolah di pedalaman, pembangunan ataupun perbaikan jalan. Dharibah ini hanya diambil dari kaum Muslimin, laki-laki, dan mampu, serta memiliki kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkapnya dengan cara yang makruf.
Seperti inilah, Khilafah menjalankan negaranya agar kedaulatan negara tidak terkoyak-koyak oleh negara asing melalui jalur investasi alias utang luar negeri. Maka, bukan hal mustahil jika Indonesia terbebas dari ketergantungan China dan menjadi negara adidaya. Asalkan negeri mayoritas Muslim ini mengadopsi sistem Islam.
Itulah mengapa dunia memerlukan sistem Islam untuk menghentikan berbagai kerusakan dan hancurnya peradaban akibat kapitalisme. Penerapan syariat Islam secara kaffah akan mendatangkan kebaikan bagi seluruh manusia. Bahkan para ulama menyebut kebaikan itu akan dinikmati seluruh makhluk-Nya.[]