JAKARTA- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut, likuiditas perbankan ke depan diproyeksi masih manageable, mengingat saat ini rasio likuiditas secara industri yang masih cukup tinggi dan jauh di atas threshold.
“Kondisi likuiditas perbankan Indonesia ke depan juga akan dipengaruhi oleh dukungan kebijakan pemerintah dan otoritas terkait serta kinerja ekspor komoditas,” ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae di Jakarta Minggu (9/2).
Ketidakpastian global seperti melambatnya penurunan suku bunga global, meningkatnya volatilitas pasar keuangan dan fluktuasi perdagangan global dan harga komoditas yang disebabkan “Trump Effect”, serta ketegangan geopolitik tetap menjadi faktor risiko yang perlu diperhatikan.
Menurut dia, jika hal-hal tersebut tidak terkendali apalagi meningkat, maka risiko terhadap likuiditas perbankan Indonesia bisa meningkat terutama terkait dengan capital outflows, biaya pendanaan yang lebih tinggi, dan penurunan aliran masuk modal asing.
Secara umum, bank sentral di seluruh dunia telah mengubah arah kebijakan moneter dari yang sebelumnya ketat menjadi lebih longgar dengan suku bunga yang cenderung menurun (meskipun penurunannya tidak seagresif prakiraan sebelumnya). Hal ini diharapkan dapat berdampak positif pada penurunan biaya dana (cost of funds) bagi bank, mendorong permintaan kredit, meningkatkan investasi domestik, serta memperbesar uang beredar di pasar yang pada akhirnya akan berkontribusi pada peningkatan likuiditas sistem perbankan.
Selain itu, penurunan suku bunga juga dapat membantu mengurangi tekanan ekonomi di sektor-sektor yang membutuhkan pembiayaan, seperti UMKM dan sektor padat karya, serta mendukung stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Kondisi likuiditas perbankan posisi November 2024 dinilai ample dengan kondisi AL/NCD, AL/DPK, dan LCR masing-masing sebesar 112,94 persen; 25,57 persen; dan 213,07 persen. Adapun LDR sebesar 87,34 persen dinilai masih memadai dalam mengantisipasi peningkatan kredit.rds