Oleh : Agatha Olivia Victoria
Penyalahgunaan berbagai bahan narkotika maupun psikotropika menjadi permasalahan yang mengancam kehidupan masyarakat global, tak terkecuali di Indonesia.
Narkotika dan psikotropika, di satu sisi merupakan bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan dan pengembangan ilmu pengetahuan sehingga ketersediaannya perlu dijamin. Akan tetapi, di sisi lain berpotensi disalahgunakan sehingga berakibat ketergantungan yang dapat merugikan kesehatan.
Berdasarkan catatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), tren penyalahgunaan paling banyak belakangan ini terjadi pada narkotika dan psikotropika yang tidak digunakan dalam dunia medis, seperti heroin (putau), metamfetamin (sabu), maupun metilendioksimetamfetamina/MDMA (ekstasi).
Berbagai bahan narkotika dan psikotropika ilegal tersebut tentunya tidak diproduksi oleh industri farmasi yang legal melalui proses produksi yang cermat dan memenuhi kaidah cara produksi obat yang naik, tetapi dibuat oleh laboratorium gelap narkotika (clandestine laboratory).
Dalam laboratorium gelap, narkotika dan psikotropika dibuat dari prekursor yang disalahgunakan. Prekursor merupakan zat atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan pemula atau bahan baku dalam pembuatan narkotika dan psikotropika.
Terdapat dua jenis prekursor yang digunakan di Indonesia secara legal, yakni prekursor farmasi dan nonfarmasi. Prekursor farmasi merupakan prekursor yang digunakan dalam industri farmasi, sedangkan prekursor nonfarmasi merupakan prekursor yang digunakan dalam industri nonfarmasi.
Secara internasional, prekursor diawasi ketat mengacu pada ketentuan internasional yang tercantum Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988.
Pasalnya, penyalahgunaan prekursor dapat menimbulkan gangguan keamanan, kesehatan, ekonomi, serta kejahatan internasional.
Untuk itu, proses impor dan ekspor prekursor antarnegara dilaksanakan dengan sangat ketat, melibatkan seluruh pihak yang berkompeten pada setiap negara.
Setiap dokumen yang diterbitkan terkait dalam proses impor dan ekspor prekursor harus melalui proses notifikasi dan konfirmasi antar negara sebelum proses pengiriman dilaksanakan untuk meminimalkan upaya penyelundupan.
Di Indonesia, BPOM melakukan pengawasan terhadap jenis prekursor yang digunakan untuk kepentingan farmasi, sedangkan jenis prekursor nonfarmasi diawasi oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Guna mempersempit penyalahgunaan prekursor narkotika, pengawasan kegiatan perizinan ekspor dan impor diawasi diperkuat dengan digitalisasi.
Untuk narkotika, psikotropika, dan prekursor (NPP) nonfarmasi, sistem digitalisasi yang memperkuat pengawasan bernama SIPNOFA (Sistem Informasi Pengawasan Prekursor Non Farmasi).
Seluruh pengawasan BNN dan Bareskrim Polri dalam kegiatan ekspor maupun impor NPP nonfarmasi dilakukan melalui sistem tersebut sebelum kedua lembaga mengeluarkan izin dan surat rekomendasi permohonan ekspor dan impor nonfarmasi.
Begitu pula dengan pengawasan terhadap kegiatan ekspor dam impor NPP farmasi, yang dilakukan BPOM melalui digitalisasi. Terbaru, layanan perizinan NPP farmasi untuk pengajuan Analisis Hasil Pengawasan (AHP) dan Surat Persetujuan Impor (SPI) telah resmi dilaksanakan secara satu pintu melalui sistem Single Submission (SSm) Perizinan NPP sejak 29 Juli 2024.
Adapun sistem tersebut merupakan integrasi dari tiga aplikasi dan melibatkan tiga instansi, yaitu Lembaga Nasional Single Window (LNSW) Kementerian Keuangan, BPOM, dan Kementerian Kesehatan.
Dengan terintegrasinya ketiga sistem itu, proses pelayanan perizinan komoditas NPP dapat dipercepat sehingga ketersediaan komoditas NPP dalam pelayanan kesehatan dapat pula terjamin.
Integrasi sistem tersebut pun mempersempit celah penyalahgunaan prekursor narkotika lantaran seluruh detail impor maupun ekspor prekursor terdapat dalam satu sistem saja.
Dengan demikian, saat akan masuk maupun keluar dari Indonesia, Bea Cukai akan memeriksa kesesuaian komoditas NPP yang ada dengan data dalam satu sistem itu.
“Data dalam sistem SSm ini juga tidak bisa diubah,” ungkap Kepala LNSW Oza Olavia.
SSm Perizinan NPP mulai diimplementasikan secara resmi per 12 Agustus 2024 untuk modul pemilihan pedagang (trader) dan per 13 Agustus 2024 untuk modul perizinan (pengajuan AHP dan SPI).
Berdasarkan catatan LNSW per 24 September 2024, dalam SSm Perizinan NPP telah terdapat 63 pengajuan AHP dengan 46 AHP yang telah terbit serta terdapat 44 pengajuan SPI dengan 30 SPI yang telah terbit.
Berantas lab. gelap
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2019 tentang Narkotika, terdapat 23 jenis prekursor yang diawasi Pemerintah Indonesia, yakni acetic anhydride; n-acetylanthranilic acid; ephedrine; ergometrine; ergotamine; isosafrole; lysergic acid; 3,4-methylenedioxyphenyl-2-propanone; norephedrine; 1-phenyl-2-propanone; piperonal; potassium permanganat; pseudoephedrine; serta safrole.
Kemudian, acetone; anthranilic acid; ethyl ether;
hydrochloric acid; methyl ethyl ketone; phenylacetic acid; piperidine; sulphuric acid; dan toluene.
BNN mencatat secara keseluruhan telah menyita enam jenis prekursor narkotika seberat 43,02 kilogram pada kasus laboratorium gelap narkotika sepanjang tahun 2020 hingga 2024.
Keenam jenis prekursor yang ditemukan dalam kasus laboratorium gelap narkotika tersebut, yaitu ephedrine serbuk, ephedrine cair, acetone, toluene, hydrocloric acid, serta sulphuric acid.
Sepanjang 2024, Polri telah membongkar setidaknya lima laboratorium gelap narkotika guna memutus rantai peredaran narkotika, yakni laboratorium gelap sabu dan happy water di Banyumanik, Semarang, Jawa Tengah; laboratorium gelap ganja mephedrone di Kuta Utara, Bali; serta laboratorium gelap tembakau sintetis, ekstasi, dan Xanax di Malang Jawa Timur.
Selain itu, telah dibongkar pula laboratorium gelap ekstasi di Sunter, Jakarta serta laboratorium gelap ekstasi di Medan, Sumatera Utara.
Berbagai temuan laboratorium gelap narkotika sepanjang tahun ini menunjukkan kini Indonesia bukan sekadar wilayah transit dan tujuan pemasaran narkotika dan psikotropika, melainkan telah menjadi tempat ideal bagi pelaku kejahatan transnasional yang terorganisasi untuk memproduksi narkotika dan psikotropika ilegal.
Tercatat, suplai prekursor ke laboratorium gelap narkotika terbanyak berasal dari penyimpangan prekursor jalur resmi ke jalur ilegal dengan berbagai modus operandi, antara lain, memanfaatkan celah hukum, pencurian, penyelundupan di pelabuhan atau zona bebas, mislabelling, pemalsuan dokumen, pembelian dalam jumlah sedikit, mendirikan perusahaan fiktif, penipuan dengan multitransaksi, penyuapan, alih kepemilikan, serta sistem jual beli dengan uang tunai (cash and carry).
Di sisi lain, Penyidik Direktorat Psikotropika dan Prekursor Deputi Bidang Pemberantasan BNN RI Ajun Komisaris Polisi (AKP) Trah Hidayat mengungkapkan banyak ditemukan pula bahwa beberapa pelaku mendapatkan prekursor tersebut melalui toko daring atau lokapasar (marketplace).
Maka dari itu, BNN beserta Bareskrim Polri telah melakukan patroli siber untuk mencari berbagai prekursor yang dijual secara daring, bebas, dan disalahgunakan.
BNN dan Bareskrim Polri juga terus mengawasi secara ketat dari hilir sampai hulu peredaran prekursor legal untuk kepentingan industri agar tidak terjadi penyimpangan pemakaian, mulai dari permohonan impor maupun ekspor, kedatangan, distribusi, penyimpanan, pemakaian oleh pengguna akhir, hingga limbahnya.
Bagi pelaku tindak pidana penyalahgunaan prekursor narkotika, terancam pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda maksimal Rp5 miliar.
“Kami bersama Bareskrim Polri dan pemangku kepentingan terkait selalu menjaga dan berkolaborasi supaya kami bisa meminimalisasi adanya penyimpangan penggunaan prekursor,” ucap Trah menegaskan.
Penyalahgunaan narkotika psikotropika dapat menimbulkan dampak yang serius terhadap kesehatan fisik dan mental, antara lain, berupa gangguan fungsi dan kerusakan otak, jantung, ginjal, paru-paru, dan hati.
Kerusakan sel otak akibat ketergantungan narkotika tidak dapat dipulihkan. Penyalahgunaan prekursor narkotika dan psikotropika juga mengakibatkan biaya ekonomi dan sosial yang tinggi bagi negara dan masyarakat karena menyedot berbagai sumber anggaran yang besar untuk pencegahan, penegakan hukum, perawatan, dan rehabilitasi penderita.
Dengan demikian, celah sekecil apa pun dalam penyalahgunaan prekursor harus ditutup. Di era masifnya teknologi saat ini, digitalisasi harus menjadi solusi, bukan justru sebaliknya makin memperbesar potensi penyelewengan penggunaan prekursor. (ant)