Oleh :Umbu TW Pariangu (dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang)
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mencatat ada 41 daerah yang hanya memiliki satu pasangan calon (paslon) atau calon tunggal pada Pilkada 2024. Sebanyak 41 daerah itu terdiri dari satu provinsi, 35 kabupaten, dan lima kota (detikcom, 6/9). Meskipun jumlah paslon tersebut merupakan yang terendah dibandingkan dengan pilkada tahun-tahun sebelumnya hingga 2015, yang menurut Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) mencapai 53 daerah (JPPR, 2024), namun tetap diperlukan sebuah kewaspadaan demokrasi agar Pilkada Serentak 2024 mampu menghasilkan pemimpin yang representatif, mewakili preferensi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan.
Sejatinya yang ditakutkan dari fenomena paslon tunggal yakni ketika keberadaannya merupakan hasil dari kalkulasi politik sekelompok elite untuk menyederhanakan kontestasi politik. Para elite selalu datang dengan narasi apologik bahwa penyederhanaan kotestasi tersebut bisa mengefisienkan biaya politik agenda pilkada yang dianggap rumit dan penuh dengan kompleksitas, serta meminimalisasi risiko konflik.
Tetapi, alasan tersebut dikhawatirkan menyembunyikan sejumlah potensi yang bakal mereduksi substratum demokrasi. Mengapa begitu? Sudah banyak literatur politik konstekstual terkait teori pemilihan umum yang sepakat bahwa pemilihan umum adalah mekanisme demokrasi prosedural yang merepresentasikan kehendak rakyat, kebaikan bersama, dan kebijakan publik (the common good). Karenanya, pelaksanaan pilkada harus merefleksikan simbol, nilai-nilai, keadaan, tujuan, serta keinginan dan mimpi rakyat itu sendiri.
Bobot Rivalitas
Joseph Schumpeter dalam bukunya Capitalism, Socialism and Democracy (1942) menyebutkan bahwa demokrasi adalah instrumen kelembagaan untuk mencapai keputusan politik dan memperoleh suara rakyat lewat proses kontestasi yang terukur dan kontinu. Pernyataan yang lebih tegas disitir Robert Dahl (1973) dengan membagi demokrasi menjadi dua elemen, yakni kontestasi dan partisipasi.
Dahl meletakkan ukuran demokrasi pada tingkat kontestasi, jumlah dan kesadaran rakyat yang berpartisipasi, serta sejauh mana sebuah kompetisi politik menjamin kebebasan dasar politik rakyat. Adapun Diamond, Linz, dan Lipset (1995) secara tegas menyatakan bahwa kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu dan kelompok politik untuk bersaing, merebut jabatan-jabatan pemerintahan dan partisipasi serta intensitas pelibatan sebanyak mungkin rakyat dalam proses pemilihan adalah indikasi mutlak untuk menerangkan konsep demokrasi yang sebenarnya (substantif).
Jelaslah di sini bahwa esensi demokrasi yang diperjuangkan dan ditumbuhkan dalam proses pilkada adalah bobot rivalitas politik dan perluasan alternatif memilih rakyat. Jika dikaitkan dengan fenomena paslon melawan kotak kosong dalam pilkada, jelas itu paradoks dan hanya akan membebani demokrasi pilkada. Rakyat mengalami defisit kedaulatan politik karena ketiadaan alternatif pilihan yang lebih variatif dalam memilih calon pemimpinnya. Ibarat di atas meja makan, rakyat cuma disuguhi satu jenis menu yang membosankan. Tujuan pilkada untuk mengedukasi dan memberikan game politik yang bermutu dan kontestatif kepada rakyat sulit tercapai.
Hasrat Pragmatisme
Fenomena paslon tunggal juga merefleksikan hasrat pragmatisme dan rekayasa parpol yang lebih memilih ‘bermain aman’. Sejauh ini paslon tunggal yang notabene adalah petahana tak pernah kalah di pilkada serentak, bahkan rata-rata kemenangan paslon tunggal yang adalah petahana di pilkada serentak mencapai 70-90 persen. Menyadari bahwa calon petahana memiliki peluang besar menang, maka ketimbang kalah dan tidak kebagian kue kekuasaan, parpol-parpol lebih memilih bergabung dan bersekutu untuk mendukung petahana yang disertai oleh deal-deal untuk memperoleh insentif politik, ketimbang mengajukan calonnya sendiri untuk berkompetisi secara gentle dan elegan.
Padahal dalam kacamata demokrasi, kemenangan paslon tunggal rentan memiliki legitimasi sosial politik yang rendah, salah satunya karena kekuasaan yang diperoleh tidak secara alamiah mewakili keberagaman identitas dan kepentingan masyarakat, melainkan dibentuk atau didesain karena kompromi para elite (partai) politik yang kehilangan kepercayaan diri karena watak oportunismenya: memburu kuasa dan kapital dengan anything goes.
Kita tak bisa sepenuhnya menyalahkan paslon tunggal karena mereka diproduksi oleh sistem politik. Yang menjadi masalah selama ini adalah minimnya tanggung jawab parpol sebagai agentifikasi demokrasi untuk melakukan kaderisasi calon-calon pemimpin. Kalau saja parpol konsisten melaksanakan fungsi-fungsinya sebagai mesin edukasi, rekrutmen, dan kaderisasi politik, parpol akan memiliki kepercayaan diri dalam mengusung kader-kadernya bahkan tidak akan pernah kekurangan figur-figur baik di pilkada. Ini penting, mengingat parpol yang bekerja secara sistemik, programatik, dan akuntabel adalah parpol yang mampu membuka sirkulasi kepemimpinan dalam dirinya sehingga proses kompetisi politik menjadi ajang pertarungan ide, gagasan, visi, bukan pertarungan mahar atau survei partisan.
Sejauh ini parpol seolah frigid (kurang bergairah, bekerja keras) melaksanakan tugas dan fungsinya. Parpol identik sebagai rental musiman yang memberi sewaan kursi calon kepala daerah dengan karcis politik tak murah kepada para pemburu kuasa. Sebagian besar parpol alpa membangun sistem pelembagaan kepemimpinan di dalam tubuhnya sebagai jantung demokrasi yang menyuplai darah-darah segar kepemimpinan ke seluruh unit-unit kekuasaan lewat proses pilkada.
Alih-alih memenuhi stok kepemimpinan dengan produk kader yang segar, bermutu, justru pilkada kian diisi politisi medioker dengan potongan tubuh moral dan integritas yang lemah sehingga mudah terjerat pragmatisme dan korupsi. Akibatnya pilkada hanya menjadi “salon” politik, tempat partai dan elite melakukan rias dan make-up politik, mempercantik diri di hadapan rakyat lewat berbagai narasi pencitraan politik.
Bagi elite yang mau memang, maka ia harus membayar mahal untuk di-make up oleh partai, atau “mempercantik” performa dirinya di mata publik dengan tampil sebagai sosok populis yang gemar menebar duit ke masyarakat agar memilihnya. Bagi calon dari kalangan pesohor, biaya make-up untuk sosialisasi dan kampanye tak terlalu besar karena relatif sudah dikenal publik.
Sebaliknya bagi rakyat, biaya politik yang ditanggungnya sangat besar, mengingat mereka harus memilih calon pemimpin yang belum teruji secara kapabilitas karena lebih mengandalkan popularitas. Karenanya pilkada tak ubahnya “salon” mewah politik yang memproduksi calon-calon pemimpin hasil rias politik dengan menyembunyikan “watak” sesungguhnya.
Naik Kelas
Ke depan, parpol harus menggalakkan kerja investasi sebagai institusi edukasi dan kaderisasi. Parpol jangan mau dijadikan residu kepentingan segelintir elite yang memang berkepentingan menjadikan pilkada sebagai dramaturgi dan rekayasa politik untuk mengejar agenda-agenda kekuasaan sempit.
Kontestasi politik bukan demi kalah-menang. Lebih darinya untuk melembagakan karakter demokratif elite (parpol) yang sportif, taat hukum, dan akuntabel. Maka ukuran keberhasilan demokrasi lokal bukan dari hasil akhir pilkada, namun proses yang dijalankan, apakah mekanisme politiknya dan hak daulat rakyat sudah dimuliakan.
Harapannya, parpol dapat belajar dari pengalaman, mempersiapkan kader-kader potensialnya untuk mengikuti pilkada sehingga tidak terus memutar kaset usang fenomena paslon tunggal melawan kotak kosong, sehingga membebani pilkada. Publik tentu ingin pilkada naik kelas sebagai pesta daulat rakyat yang memunculkan pemimpin berkualitas dan mencerminkan wajah rakyat.(detikNews)