Oleh : Nadia Putri Rahmani
Mati satu tumbuh seribu. Bak peribahasa, kasus perdagangan manusia di Indonesia tidak ada habisnya. Bahkan, Mahfud MD ketika masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) menyatakan bahwa Indonesia darurat tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
TPPO merupakan kejahatan transnasional yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia serta hak asasi manusia (HAM).
Jumlah korban jiwa akibat TPPO juga tidak bisa dianggap sebelah mata, terutama pekerja migran Indonesia (PMI) dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam kurun waktu 2017–2022, sebanyak 624 PMI asal provinsi tersebut, yang sebagian besar merupakan korban TPPO, meninggal dunia.
Tak ayal apabila TPPO sudah menjadi hal darurat yang harus segera diselesaikan melalui langkah preemtif, preventif, dan represif.
Sesuai dengan tugas dan fungsinya berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, Komnas HAM pun turun tangan dengan membentuk tim khusus penanganan TPPO pada tahun 2023 dan meluncurkan hasil kajian mereka di Labuan Bajo, NTT, pada 27 Juni 2024.
Modus baru TPPO
Sebelum mulai memerangi TPPO, perlu dikenali terlebih dahulu bentuk-bentuk kejahatan tersebut. Seiring berkembangnya zaman, modus perdagangan manusia juga ikut mengalami perubahan.
Tipologi kejahatan TPPO yang diidentifikasi oleh Komnas HAM adalah eksploitasi seksual, pengantin pesanan, kerja paksa, perbudakan (modern slavery), dan perdagangan organ tubuh. Namun, saat ini ditemukan modus baru kejahatan TPPO yang tengah marak terjadi, yaitu online scamming atau penipuan daring.
Modus penipuan tersebut mulai muncul sekitar tahun 2021 sejak dibukanya kembali batas antarnegara yang sempat ditutup karena pandemi. Berdasarkan data Kementerian Luar Negeri (Kemlu), negara-negara itu adalah Kamboja, Myanmar, Filipina, Laos, dan Thailand.
Komnas HAM mengidentifikasi online scamming sebagai TPPO karena telah memenuhi unsur-unsur TPPO, salah satunya adalah unsur eksploitasi. Jam kerja pada penipuan daring melebihi jam kerja wajar sebagaimana yang diatur dalam undang-undang (UU). Selain itu, di dalam praktik penipuan daring, terdapat kerja paksa yang mengarah kepada perbudakan.
Metode yang digunakan pelaku dalam menjalankan aksinya adalah merekrut korban melalui iklan di media sosial. Bagi masyarakat awam yang melihat, mereka akan bekerja di luar negeri untuk pekerjaan yang tidak melanggar hukum.
Akan tetapi, ketika tiba di lokasi kerja, korban mendapatkan perlakuan yang melanggar hak asasi manusia, antara lain, mengalami ancaman verbal, disekap di premis/area perusahaan, dipekerjakan secara paksa, hingga dipaksa melakukan penipuan melalui platform digital Indonesia dengan membuat akun palsu dan mencuri identitas orang lain.
Kemlu mencatat terdapat 3.428 kasus penipuan daring yang melibatkan WNI selama tahun 2020 hingga 2023 dengan sebanyak 40 persen kasus terindikasi merupakan TPPO. Ribuan kasus tersebut tercatat di delapan negara dengan mayoritas terdapat di Kamboja, Myanmar, dan Filipina. Adapun korban banyak berasal dari wilayah Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Barat.
Di satu sisi, TPPO konvensional pun juga tak boleh luput dari perhatian. Dua provinsi yang menjadi perhatian Komnas HAM adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kalimantan Barat.
Alasan Komnas HAM memilih dua daerah tersebut adalah karena dalam kurun waktu 2017 hingga 2022, sebanyak 624 pekerja migran asal NTT meninggal dunia. Adapun sebagian besarnya adalah korban TPPO.
Adapun untuk Kalimantan Barat, wilayah itu merupakan daerah transit yang rawan menjadi jalur pergerakan pekerja ilegal. Terlebih, terdapat fenomena modus pengantin pesanan untuk tujuan Taiwan dan China.
Pengantin pesanan adalah modus di mana korban dijanjikan akan dinikahkan dengan laki-laki mapan asal China dan diiming-imingi kehidupan yang terjamin. Namun, pada kenyataannya, setelah menikah, korban dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga maupun hanya dimanfaatkan sebagai pemberi keturunan.
Jalan terjal
Komnas HAM telah melakukan tinjauan langsung untuk mengetahui situasi TPPO pada dua provinsi tersebut. Pada NTT, fakta penting yang didapatkan dari Pemerintah Provinsi NTT adalah faktor kemiskinan serta adanya migrasi kultural di kalangan masyarakat NTT menjadi penyebab tingginya angka TPPO di provinsi tersebut.
Sementara itu, pada kasus Kalimantan Barat, Komnas HAM berfokus pada Kabupaten Sambas. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Sambas menyebut beberapa faktor yang mempengaruhi warga Sambas bekerja di luar negeri, antara lain, sulitnya lapangan kerja di daerah asal, iming-iming gaji yang besar di luar negeri, dan juga banyaknya warga Sambas yang mengalami perampasan lahan.
Kebanyakan masyarakat Sambas pergi bekerja di Malaysia karena tidak ada persyaratan ketat dalam mencari kerja di negara itu. Para korban yang putus sekolah dan tidak memiliki ijazah sehingga memilih pekerjaan yang tidak mewajibkan memberikan bukti telah mengenyam pendidikan.
Komnas HAM juga telah mengidentifikasi situasi TPPO di negara tujuan, salah satunya Malaysia. Negeri jiran ini merupakan negara dengan jumlah penempatan PMI terbanyak dibandingkan Kamboja, China, dan Arab Saudi.
Ditemukan bahwa razia dan penangkapan PMI, terutama yang dilakukan terhadap anak-anak dan perempuan yang tidak berdokumen, tidak mengikuti prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana yang diatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Convention on Migrant Workers (CMW), Committee on the Elimination of Discrimination against Woman (CEDAW), dan Committee on Rights of Children (CRC).
Apabila merujuk pada CRC, penangkapan dan penahanan seorang anak harus mematuhi hukum dan harus pula diterapkan sebagai upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dari temuan tersebut, dapat ditarik benang merah dari permasalahan TPPO adalah kemiskinan. Hal itu turut diakui oleh Mariance Kabu, seorang penyintas TPPO asal NTT, yang tengah memperjuangkan haknya setelah berhasil selamat dari kekejian penyiksaan dari majikannya ketika bekerja di Malaysia. Motivasinya bekerja adalah untuk meningkatkan taraf ekonomi keluarga.
“Kadang anak-anak saya bertanya, ‘Mama, kapan kita punya rumah sendiri?’. Saya hanya menjawab, ‘Mama tidak tahu, Mama tidak bisa jawab itu’,” kata Mariance sambil terisak.
Selain kemiskinan, benang merah dalam permasalahan TPPO adalah pendidikan. Kurangnya pendidikan menyebabkan korban dapat dengan mudah terbujuk tipuan rayu modus-modus TPPO. Selain itu, putus sekolah menjadi hambatan dalam mencari lapangan pekerjaan yang mewajibkan menyerahkan ijazah, sehingga memilih resor terakhir dengan menjadi pekerja ilegal.
Penguatan kolaborasi
Apabila benang merah dari permasalahan TPPO adalah kemiskinan dan pendidikan, maka harus ada penguatan kolaborasi terstruktur dari tingkat paling atas hingga tingkat akar rumput seperti tokoh adat dan tokoh agama.
Memang sudah ada satgas yang mengurusi permasalahan ini di tingkat Pemerintah Pusat. Selain pusat, pemerintah daerah juga telah melakukan upaya-upaya melalui peraturan daerah terkait TPPO.
Akan tetapi, masih terdapat kendala dalam implementasi peraturan-peraturan tersebut sehingga pencegahan dan penanganan TPPO berdasarkan mandat UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang TPPO maupun UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia belum efektif.
Dalam dialog tingkat tinggi yang digelar oleh Komnas HAM, lembaga ini dan Kemlu mengusulkan agar dilakukannya revisi UU Nomor 21 Tahun 2007. Direktur Perlindungan WNI Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kemlu, Judha Nugraha, mengungkapkan, pelaku TPPO ditangkap dan dijerat dengan UU 21/2007. Ancaman hukuman bagi pelaku adalah paling singkat 3 tahun.
Akan tetapi, dalam proses pengadilan, pelaku diputus dengan UU 18/2017, yang tidak ada jumlah minimal hukuman. Dalih digunakannya UU 18/2017 karena lebih mudah penerapannya dalam tahap pembuktian perkara.
Akibatnya, para pelaku atau yang sering disebut trafficker banyak yang diputus dengan hukuman 6 bulan penjara. Setelah keluar dari penjara, pelaku akan kembali melakukan kejahatan yang sama sehingga usaha penanganan yang dilakukan pun tidak ada artinya.
Sementara itu, Komnas HAM berpandangan perlu adanya kajian untuk merevisi UU 21/2007, terutama dalam aspek ruang lingkup pidana karena pada 5 tahun terakhir ini terjadi perkembangan modus TPPO, seperti penipuan daring.
Selain amendemen undang-undang, hal lain yang dapat dilakukan adalah mencegah terjadinya reviktimisasi. Perlu diingat bahwa akar penyebab TPPO adalah kemiskinan. Kurangnya lapangan pekerjaan di daerahnya membuat korban mencari pekerjaan di tempat lain, terlebih di luar negeri, dengan iming-iming gaji yang besar.
Namun, apabila kembali ke tanah air, korban kembali dihadapkan pada masalah yang sama: ketiadaan lapangan pekerjaan. Walhasil, korban pun akan kembali bekerja di luar negeri secara ilegal dan potensi TPPO pun akan kembali muncul.
Kementerian Sosial telah melakukan program asistensi rehabilitasi sosial dengan pemberian keterampilan kerja dan pemberian bantuan modal usaha. Namun, bukan berarti Kemensos bisa berjalan sendiri.
Butuh adanya penguatan kolaborasi secara menyeluruh dari berbagai kementerian, mulai Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), hingga Kementerian Luar Negeri, beserta DPR RI, Polri, hingga Kejaksaan.
Para pemangku kepentingan di tingkat pusat harus pula memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah setempat serta BP3MI untuk mencari jalan keluar atas permasalahan ini. Perlu ada lembaga pengawas untuk memastikan program-program memerangi TPPO berjalan sebagai mestinya.
Penguatan kolaborasi yang berjalan secara komprehensif akan memantapkan langkah dan arah Pemerintah dalam mencegah kembalinya kejahatan TPPO pada masa depan.(ant)