Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Proyek Rempang Eco City dipastikan pemerintah tetap berlanjut meski terjadi penolakan dahsyat dari warga Rempang. Di sisi lain, dukungan dan pembelaan terhadap rakyat pribumi Rempang terus berdatangan dari berbagai kalangan dalam berbagai bentuk. Salah satunya adalah Aksi Peduli Rempang yang baru saja digelar di kota Surabaya. Aksi tersebut dihadiri ribuan umat Islam dari berbagai kota/kabupaten di Jawa Timur. Aksi tersebut bertemakan “Batalkan Proyek Rempang Eco City Islam Solusi Agraria Rempang.”
Dalam aksi tersebut Ustadz Yunus menyayangkan ribuan warga pribumi yang berlokasi di 16 kampung Pulau Rempang akan direlokasi tanpa hati nurani, dengan alasan proyek strategis Rempang Eco City dimiliki oleh oligarki yang kental dengan aroma korupsi. Dampaknya adalah warga pribumi diintimidasi menggunakan aparat polisi yang seharusnya mereka itulah yang melindungi masyarakat asli pribumi. Ustadz Arif Farouk dari Gema Pembebasan menegaskan bahwa masyarakat Rempang saat ini sedang dizalimi. Pulau Rempang bukan pulau yang tak berpenghuni. Sebab, 18 abad yang lalu sudah dihuni oleh masyarakat Melayu Rempang sebelum negeri ini merdeka (mmc.news).
Mirisnya, pada hari ini atas nama investasi mereka direlokasi. Atas nama ekonomi dan pembangunan mereka digusur dan dihinakan. Para penguasa justru melindungi para oligarki atas nama investasi. Hal ini mengungkapkan bahwa persoalan Rempang dan persoalan lain yang melanda negeri ini disebabkan karena kapitalisme demokrasi liberal masih dijadikan sebagai sumber hukum (ideologi).
Sementara itu, umat Islam tidak menentang perubahan bahkan mendorong adanya perubahan. Akan tetapi hendaknya jalan perubahan ditempuh dengan jalan-jalan yang halal. Sebab, jalan yang halal adalah jalan yang diberkahi dan menjauhkan dari bencana atau malapetaka. Sebaliknya, hasil yang didapatkan dari jalan kezaliman dan penganiyayaan tidak akan diberkahi.
Rencana relokasi sebagian warga Pulau Rempang yang dijadwalkan pada Kamis (28/9/2023) urung dilaksanakan. Namun hal itu belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua. Kasus ini merupakan ujian atas konsep kedaulatan rakyat yang diadopsi negeri ini, siapa sejatinya yang berdaulat ketika rakyat justru banyak dirugikan dalam berbagai kasus sengketa tanah/kasus agraria.
Belum lagi kerakusan oligarki yang mengeksploitasi kekayaan negeri ini demi segelintir pemilik modal. Sampai-sampai tanah rakyat pun dirampas seperti konflik Rempang, demi oligarki. Meskipun banyak menuai kecaman, pemerintah tampak tetap akan melanjutkan proyek tersebut.
Penguasa justru lebih sering berpihak pada korporasi atas nama investasi. Hari ini saja di Tanah Air jauh lebih banyak lahan dikuasai pengusaha daripada rakyat biasa. Walhi menyebut 94,8% lahan dikuasai oleh para pengusaha. Bagitu sedikit yang tersisa untuk rakyat. Ini akibat tata kelola lahan dalam sistem sekularisme kapitalisme yang rusak dan keberpihakan penguasa kepada pengusaha, bukan kepada rakyat. Inilah sumber kerusakan tersebut. Penguasa selayaknya mengakhiri hal-hal yang menyebabkan kezaliman. Karena para penguasa akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya kelak di Akhirat.
Kezaliman akan terus terjadi jika umat Islam diam saja. Hanya Islam yang bisa menuntaskan masalah agraria yang terjadi di negeri ini. Keadilan Islam dalam problem sengketa lahan sebagaimana yang terjadi di Rempang sungguh pernah terjadi sekitar 13 abad yang lalu di masa Khilafah Islam. Di zaman pemerintahan Khalifah Umar ra, Amr bin Ash selaku Gubernur (Wali) Mesir saat itu membangun sebuah masjid besar. Namun, sebagian kecil lahannya milik seorang Yahudi. Oleh Ibnu Ash, proyek pembangunan masjid itu tetap dilanjutkan. Orang Yahudi itu pun tidak terima dan mengirimkan surat kepada pemimpin besar Umar bin Khaththab di Madinah. Proyek itu pun dibatalkan oleh Umar bin Khaththab.
Tanah yang dimiliki suadara-saudara kita di Rempang adalah hak milik mereka. Karena itu seharusnya negara bijak dan tepat menyikapi hal ini. Namun yang terjadi hari ini kepentingan politik di bawah kendali oligarki menyebabkan saudara-saudara kita di Rempang mengalami kezaliman. Ini adalah gambaran hukum yang timpang, tidak seimbang, dan tidak adil.
Syariat Islam harusnya menjadi kehendak bersama bagi kita hari ini. Hanya dengan syariat Islam semua perkara-perkara di seluruh permukaan bumi ini akan mendatangkan kemaslahatan.
Dan syariat Islam itu pernah jaya di bawah sistem kenegaraan yang bernama Khilafah Islamiyah.
Islam menetapkan kedaulatan di tangan syara’ dan umat sebagai pemilik kekuasaan. Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggungjawab atas urusan rakyat termasuk menjaga hak-hak rakyat. Beda dengan sistem hukum lahan di negeri ini, syariah Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan.
Perampasan lahan tanpa alasan syar’i adalah perbuatan ghasab dan zalim. Allah SWT telah mengharamkan memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil, termasuk dengan cara menyuap penguasa, agar diberikan kesempatan merampas hak milik orang lain. Allah SWT berfiman: “Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagaian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu.” (TQS. al-Baqarah [2]: 188).
Tentang perampasan tanah, Nabi Saw mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras pada Hari Akhir. Beliau bersabda, “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR. Muttafaq ‘alayh).
Pemerintah seharusnya mengevaluasi dan mencabut proyek Rempang sebagai proyek strategis nasional karena telah menimbulkan keresahan dan kerugian bagi masyarakat. Selain itu, solusi Islam juga harus dijadikan sebagai referensi nilai-nilai sistemik mengelola sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan mengenyahkan segala kepentingan hanya untuk kemakmuran dan dalam bingkai sistem Islam. Perlu dicatat, semua krisis dan kegaduhan ini berpangkal pada idelogi kapitalisme yang diadopsi negeri ini. Bukan karena Islam. Maka sudah seharusnya kita kembali kepada Islam sebagai solusi bagi negeri ini.[]