Oleh : Helda Wati (Pendidik di Barito Kuala)
Hampir setiap tahun ketika datang musim kemarau, Indonesia akan mengalami karhutla (Kebakaran hutan dan lahan). Lagi dan lagi, sejak Agustus kebakaran hutan dan lahan menggila di berbagai wilayah Kalimantan, Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, sampai Papua (www.mongabay.co.id).
Untuk wilayah Kalimantan Selatan, dalam laporannya, Pormadi Dharma (Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Selatan) merinci karhutla tersebut telah terjadi di 13 wilayah Kabupaten/Kota yang meliputi Banjarmasin, Banjarbaru, Banjar, Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), Hulu Sungai Timur (HST), Hulu Sungai Utara (HSU), Balangan, Tabalong, Barito Kuala, Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru.Berdasarkan pantauan Satelit Sipongi, ada sebanyak 7.987 titik hot spot yang termonitor dan tersebar di 13 wilayah kabupaten. Sedangkan hasil pemantauan lewat udara ditemukan 793 titik api (bnpb.go.id)
Upaya penanganan sudah dilakukan. Upaya pemadaman karhutla baik melalui Satgas Darat maupun Udara yang telah dilakukan tercatat sudah ada sebanyak 1.978 hektar yang telah ditangani. Kendati demikian titik api dan kebakaran hutan maupun lahan masih ditemui oleh petugas sehingga penanganannya masih terus dilanjutkan.
Upaya edukasi kepada masyarakat terus dilakukan. Diantaranya, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalimantan Selatan (Kalsel) mengerahkan tim edukasi profesional menggunakan mobil komunikasi informasi dan edukasi (KIE) menyosialisasikan pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) dengan berkeliling hingga ke pelosok desa (kalsel.antaranews.com)
Upaya peneggakkan hukum juga telah dilakukan. Diantaranya, Pelaku pembakaran lahan AH (40), warga Desa Baru, Kecamatan Daha Barat, Kabupaten Hulu Sungai Selatan (HSS) tertangkap tangan saat sedang melakukan pembakaran di lahan miliknya. “Pelaku bakal dijerat dengan pasal 187 KUHPidana Jo Pasal 53 KUHPidana , karena tindak pidana sengaja melakukan pembakaran yang dapat menimbulkan bahaya umum bagi barang,” kata Kapolres HSS AKBP Leo Martin Pasaribu, di Kandangan (kalsel.antaranews.com).
Namun upaya penegakan dan penindakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan (karhutla) menemui berbagai kendala. Salah satunya regulasi di daerah yang membolehkan membakar lahan “bersyarat”. BNPB meminta tak ada toleransi dalam penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan. “Ada berbagai hambatan yang dihadapi Satgas dalam penegakan hukum terkait karhutla ini,” ujar Direktur Reserse dan Kriminal Khusus (Reskrimsus) Polda Kalimantan Selatan, Komisaris Besar Suhasto, di sela-sela kegiatan Rakor Penanganan Karhutla di Provinsi Kalsel 2023 di Banjarbaru. Hambatan lainnya ialah belum ada ahli bidang karhutla di Kalsel. Selama ini mereka harus meminta bantuan tenaga ahli dari IPB Bogor. Lokasi TKP karhutla berada jauh dan sulit dijangkau, sulitnya mendapatkan dokumen perusahaan terduga, belum maksimalnya koordinasi antar stakeholder, serta biaya penanganan kasus karhutla memerlukan biaya besar (MediaIndonesia.com)
Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan tersebut, kemudian kita bertanya-tanya. Mengapa karhutla ini lagi dan lagi terus terjadi. Karena selalu datang setiap tahunnya bahkan telah dinilai sebagai sebuah kewajaran. Seakan telah menjadi pemakluman bahwa semua ini adalah bencana alam, terjadi secara alami. Yang paling mudah memang menjadikan faktor cuaca sebagai kambing hitamnya.
Namun tentunya kita sebagai makhluk yang berakal tentunya tetap harus kritis. Apa iya memang demikian adanya atau ada faktor utama lainnya yang belum tersentuh? Bagaimana dengan berita bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terus melakukan upaya hukum pidana serta perdata terhadap perusahaan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan atau karhutla. Selain memenangkan permohonan peninjauan kembali, saat ini KLHK juga tengah melakukan eksekusi terhadap 14 perusahaan dalam kasus karhutla dengan total nilai sebanyak Rp 5,6 triliun (www.kompas.id)
Dengan adanya kesulitan pada penegakan dan penindakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan telah jelas bagi kita faktor utama terjadinya karhutla ini memang sulit disentuh. Untuk masyarakat kecil mungkin sudah ditegakkan dengan tegas, namun bagaimana jika pelakunya adalah korporasi? Bukankah hukum tidak boleh tebang pilih? Namun di sini kita dipertontonkan pada kejadian sebaliknya. Begitulah kapitalis, sistem hidup yang saat ini diemban oleh negara Indonesia.
Hutan adalah suatu wilayah yang ditumbuhi oleh pohon-pohon yang tumbuh secara alami dan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Dalam lingkup lingkungan secara umum, hutan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekologi. Namun akibat kapitalisasi karhutlapun terjadi. Eksploitasi hutan dimulai sejak lahirnya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kehutanan. Sejak itu, para konglomerat dan korporat mendapat hak legal dalam memonopoli hutan atas nama konsesi. Benarkah adanya bahwa negara sudah tergadai, hanya bertindak sebagai regulator, pembuat hukum dan perundangan yang berpihak kepada para kapital?
Dalam Islam, hutan merupakan kepemilikan umum. Rakyat berserikat memilikinya. Negara dalam hal ini bertindak sebagai pengurus dan penanggungjawab urusan rakyat bisa mengelola hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Karena hutan adalah milik rakyat maka dilarang pagi individu atau kelompok untuk memonopolinya. Hak konsesi khusus tidak akan pernah ada. Karhutla akibat perbuatan tangan manusia lagi dan lagi tidak akan ada diantara kita. Beginilah cara Islam, mengatasi permasalahan dari pokoknya. Hal ini hanya bisa terlaksana ketika Islam diberi posisi dalam mengatur seluruh kehidupan. Wallahu’alam