
Kemiskinan bukanlah suatu masalah baru di Indonesia. Masalah ini sudah sejak lama dialami oleh bangsa Indonesia. Dan sampai hari ini, masalah tersebut masih terus terjadi. Sudah beragam upaya dilakukan, tetapi tetap saja, masalah tersebut tidak kunjung usai. Meskipun demikian, pemerintah dengan kepercayaan penuh memiliki target pengentasan kemiskinan 0 persen di tahun 2024. Target tersebut tidak timbul begitu saja. Ia diwacanakan sesuai dengan fakta yang ada, yaitu, terjadinya penurunan tingkat kemiskinan ekstrem yang dimulai sejak Maret 2022. Di mana, pada saat itu tingkat kemiskinan Indonesia sebesar 2,04. Kemudian pada September 2022 mengalami penurunan menjadi 1,74, yang artinya terjadi penurunan sekitar 0,3. Dan terakhir, pada Maret 2023 turun lagi menjadi 1,12. Penurunan demi penurunan tersebutlah yang membuat pemerintah begitu optimis target 0 persen tingkat kemiskinan dapat tercapai.
Namun, target tersebut hanyalah sebatas target. Realitanya di lapangan belumlah menunjukkan sebagaimana yang diharapkan. Faktanya, masih banyak ditemukan masyarakat yang begitu susah untuk sekadar mencukupi kebutuhan hidupnya. Dan itu umumnya terjadi di wilayah bagian timur Indonesia. Hal tersebut, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat pada Maret 2022 persentase penduduk miskin ekstrem tertinggi masih terkonsentrasi di wilayah timur Indonesia. Di mana, Kemiskinan ekstrem di Provinsi Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur secara berturut-turut mencapai 10,92 persen, 8,35 persen, dan 6,56 persen; jauh di atas angka kemiskinan nasional. Atas temuan ini, wajar, jika masalah finansial masyarakat Indonesia sampai sekarang belum bisa terselesaikan dengan maksimal. Sehingga, untuk menutupi itu semua, dicarilah alternatif instant untuk menyelesaikannya. Yang salah satunya adalah melalui judi online.
Seperti yang ditulis pada headline salah satu koran lokal terbesar di Sumatera Barat. Bahwa, fenomena judi online telah menjangkiti mulai dari kaum ibu hingga anak sekolah dasar (SD). Fenomena tersebut didasarkan temuan yang dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Di mana, berdasarkan catatannya, penyebaran uang melalui transaksi judi online meningkat tajam. Pada 2021 nilainya mencapai Rp57 triliun dan naik signifikan pada 2022 menjadi Rp81 triliun. Pelakunya pun beragam, mulai dari ibu rumah tangga hingga anak SD. Fenomena yang sungguh memprihatinkan. Kaum ibu yang harusnya menjadi penggerak pendidikan paling utama di lingkungan keluarga, malah terjebak dengan kasus yang hampir tidak ada obatnya, kecuali kesadaran diri sendiri. Begitupun dengan anak-anak SD. Mereka yang diharapkan akan menjadi generasi emas di masa depan, malah terjerumus ke dalam lubang perjudian.
Akan seperti apa nasib bangsa di masa depan, jika judi online telah menguasai seluruh elemen masyarakat. Sebab, berdasarkan realitanya, judi online menjadi sumbu dari pelbagai persoalan besar lainnya, seperti, pembunuhan, pencurian, hingga membuat yang bersangkutan bunuh diri karena hidup dibawah tekanan. Alih-alih menikmati kekayaan, rasa tenang dalam diri saja sangat susah untuk didapatkan. Apalagi judi online masih menjadi aktivitas utama yang tidak bisa ditinggalkan, tentu akan semakin bertambah kompleks pula setiap persoalan yang akan terjadi.
Bahayanya lagi, untuk meninggalkannya memang sangat susah, orang yang memainkannya, apalagi pernah sampai menang berkali-kali. Maka, sangat susah untuk berhenti dari aktivitas tersebut. Mereka selalu mencoba lagi dan lagi, bahkan sampai uang hasil kemenangan habis, dan dicarilah segala macam cara untuk menghasilkan uang sebagai modal awalnya. Inilah yang memicu timbulnya persoalan lain yang bisa jadi lebih berbahaya daripada judi online. Untuk itu diperlukan aksi nyata untuk menghentikannya. Salah satunya melalui jalur pendidikan.
Sebagai sektor peningkatan kualitas sumber daya manusia, pendidikan memiliki peran penting dalam menyelesaikan pelbagai persoalan kompleks yang terjadi di bangsa ini, termasuk salah satunya kasus judi online. Sebagaimana yang kita ketahui, umumnya, pelaku dari kasus tersebut adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan, bahkan hingga kaum ibu dan anak SD pun ikut termasuk menjadi pelakunya. Itu semua karena kurangnya keterampilan diri yang mereka miliki. Sehingga, tidak ada jasa yang bisa mereka tawarkan untuk dijadikan sebagai pekerjaan. Hingga akhirnya dipilihlah jalan instan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu melalui judi online.
Padahal, jika saja mereka memiliki keterampilan dan kesungguhan. Maka, tidak akan terpikirkan untuk memainkan judi online. Literasi finansial pun demikian, bisa jadi aspek ini masih belum didapatkan melalui lembaga pendidikan, hingga akhirnya banyak orang yang dengan mudahnya tertipu dengan iming-iming kekayaan secara instan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas pendidikan yang berorientasi menghasilkan lulusan berketerampilan harus menjadi prioritas utama yang mesti diwujudkan. Sehingga persoalan kemiskinan, judi online semuanya dapat terselesaikan.