Oleh : Adzkia Tharra ( Aktivis
Menurut para ahli Remaja bisa dikategorikan pada mereka yang berusia 13- 18 tahun. Di usia ini mereka mengalami peralihan dari masa anak- anak menuju ke dewasa. Remaja akan mulai mencari pola hidup yang sesuai baginya dan sering mencoba – coba walaupun melalui banyak kesalahan. Mereka akan memulai berinteraksi dengan orang lain untuk menambah relasi,informasi hingga menemukan lingkungan yang menurutnya nyaman berada di sana. Meskipun demikian menjadi sesuatu yang naluriah, hal ini perlu pendampingan dan perhatian bagi para remaja yang sedang mencari jati diri mereka. Pergaulan yang salah tentu akan membawa mereka pada jati diri dan membentuk generasi muda yang rusak.
Hal ini terbukti dengan adanya pernyataan dari BKKBN yang di muat merdeka.com (05/08/2023) yang menyatakan bahwa usia remaja di Indonesia sudah kerap kali berhubungan seksual di luar nikah. Paling muda direntang umur 14 hingga 15 tahun sudah tercatat sebanyak 20 %. Lalu diikuti dengan rentang umur 16 hingga 17 tahun sebesar 60%. Sedangkan di umur 19 sampai 20 tahun sebanyak 20%.
“Usia hubungan seks semakin maju, sementara itu usia nikah semakin mundur. Dengan kata lain semakin banyak seks di luar nikah,” kata ketua BKKBN Hasto Wardoyo ketika dihubungi merdeka.com, Sabtu (5/8/2023).
Hasto menjelaskan fenomena dari maraknya seks bebas di kalangan remaja disebabkan dari beberapa faktor. Di awali dengan adanya perubahan masa pubertas sekaligus masa-masa menstruasi pada tubuh wanita sekarang. Kemudian faktor pengaruh media social, dimana konten pornografi bisa dengan mudah diakses oleh siapa saja tanpa mengenal usia yang bisa menimbulkan terjadinya pergaulan bebas.
Melihat fakta terkait pergaulan bebas remaja yang semakin mengkhawatirkan ini, Erry Syahrial selaku sekretaris LPA Batam memberikan tanggapan yang termuat dalam batampos.jawapos.com (06/08/2023) “Dari hubungan (seksual anak) itu akan menimbulkan persoalan. Seperti, anak wanita berhubungan yang menyebabkan permasalahan hukum bagi laki-lakinya,” kata Erry.
Selain itu, remaja yang sudah berhubungan seksual akan berdampak ke moralnya. Akibatnya, anak tidak fokus melanjutkan pendidikan hingga menentukan masa depan. “Anak itu nantinya akan tahu senang saja. Hingga masa depannya tidak terpikirkan,” kata Erry.
Menurut Erry, tingginya angka anak melakukan hubungan seksual ini harus menjadi perhatian orangtua. Orangtua diminta untuk menguatkan pendidikan karakter dan pendidikan agama anak. “Orangtua yang memiliki peran besar, sekolah atau guru juga harus berperan memberikan edukasi ke anak,” tutupnya
Sungguh jumlah yang sangat fantastis. Ini yang terdata. Yang tidak terdata tentu lebih banyak. Nadzubillahi min dzalik!
Sungguh miris. Hanya demi untuk menyalurkan hasrat seksualnya, para remaja ini rela dan dengan sangat mudah melakukan perbuatan yang melanggar agama, bahkan termasuk dosa besar.
Kondisi buruk ini terjadi akibat penerapan sistem sekularisme kapitalisme. Inilah yang menjadikan kebebasan di atas segalanya hingga membuka ruang terjadinya pergaulan bebas. Sistem ini menganut pemisahan agama dari kehidupan dan menjadikan manfaat sebagai asasnya. Akhirnya, nilai agama dikesampingkan dan hanya menjadi urusan individu. Apalagi minimnya bekal agama menjadikan para remaja ini kehilangan jati diri dan pegangan hidup. Wajar jika pergaulan mereka makin kebablasan dan yang lemah iman menjadi korban sistem yang rusak ini.
Fenomena pergaulan bebas yang menimpa remaja usia sekolah ini disebabkan oleh dorongan seksual yang menuntut kepuasan. Apalagi saat ini dunia maya menjadi santapan anak-anak. Banyak konten pornografi dan pornoaksi disajikan, baik lewat film, sinetron, iklan, atau di kehidupan nyata. Konten ini bebas diakses oleh siapa saja, bahkan anak-anak. Akibatnya, mereka yang menyaksikan adegan tersebut akan terdorong untuk melakukan hal serupa, apalagi di kalangan remaja labil.
Jika saja pemerintah bertindak tegas dan menjalankan kewajibannya, mereka bisa memblokir konten-konten pornografi dan pornoaksi yang jelas merusak remaja dan berdampak buruk bagi masa depan mereka. Namun, sungguh jauh panggang dari api. Sangat sulit mengharapkan penguasa dalam sistem sekularisme kapitalisme ini untuk memperhatikan urusan rakyatnya. Akhirnya, keluarga muslim sendiri yang harus berusaha keras membentengi anak-anaknya dari pengaruh buruk yang makin gencar melingkupi mereka.
Bagaimanapun situasi ini memang harus kita hadapi. Apalagi di tengah sistem sekuler yang diterapkan negeri ini. Para ibu dibuat khawatir berlipat-lipat. Arus liberalisme demikian kuat melanda.
Tayangan-tayangan di televisi dan media sosial seolah tidak ada remnya, yang berpeluang besar untuk membangkitkan syahwat. Wajar banyak orang tua sangat khawatir terhadap situasi ini.
Oleh karena itu, memang kita harus memberikan perhatian, pemahaman, dan pengertian ekstra untuk anak-anak kita.
Beberapa upaya yang bisa kita lakukan untuk membentengi anak-anak dari pergaulan bebas, di antaranya:
1. Tanamkan keimanan yang kukuh dan cinta kepada Allah Swt. sejak dini.
Menanamkan akidah atau iman yang kukuh kepada anak adalah tugas utama orang tua. Orang tualah yang akan sangat memengaruhi tumbuh dan berkembangnya sendi-sendi agama pada diri anak. Rasulullah saw. bersabda, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu dan bapaknyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR Al-Bukhari).
Tujuan penanaman akidah pada anak adalah agar anak mengenal betul siapa Allah Swt., Penciptanya Yang Maha Pengatur, juga mengenal Muhamad saw. sebagai utusan-Nya, serta mencintai Al-Qur’an dan meyakini seluruh isinya.
Sejak bayi dalam kandungan, seorang ibu bisa mulai dengan sering membacakan ayat-ayat Al-Qur’an, berzikir, dan bersenandung mengagungkan asma Allah. Begitu sudah lahir, ibu membiasakan bayi mendengarkan ayat-ayat Al-Qur’an. Pada usia dini anak harus diajak untuk belajar menalar bahwa dirinya, orang tuanya, seluruh keluarganya, manusia, dunia, dan seluruh isinya diciptakan oleh Allah. Itu sebabnya mengapa manusia harus beribadah dan taat kepada Allah.
Lalu anak dikenalkan dengan asma dan sifat-sifat Allah. Ketika anak memahami dengan benar bahwa Allah Maha Melihat dan Mendengar—tentu dengan bahasa yang makruf, sesuai dengan usia anak-anak kita—bi idznillah kelak anak-anak kita paham bahwa segala apa yang dia perbuat selalu dalam pantauan Allah sehingga mereka berhati-hati dalam berbuat.
2. Kenalkan syariat Islam.
Anak harus dikenalkan dengan syariat Islam sejak dini. Ini sebagaimana hadis Rasulullah saw., “Perintahlah anak-anakmu agar mendirikan salat tatkala mereka telah berumur tujuh tahun. Pukullah dia (saat tidak mau salat) tatkala mereka telah berumur sepuluh tahun.”
Orang tua bisa mulai dengan membiasakan anak-anak menjalankan salat dan ibadah-badah lainnya, menjelaskan tentang ahkam al-khamsah, diiringi dengan mengenalkan hukum syariat yang lain seperti larangan mencuri, mengambil hak orang lain, cara berpakaian, dan sebagainya.
Demikian halnya berkaitan dengan akhlak, seperti berbakti kepada ibu bapak, santun dan sayang kepada orang lain, bersikap jujur, berani karena benar, tidak berbohong, bersabar, tekun bekerja, bersahaja, sederhana, dan sebagainya.
Dibarengi pula dengan mengajari anak tentang berbagai adab dalam Islam seperti makan dengan tangan kanan, berdoa sebelum dan sesudah makan, menjaga kebersihan, mengucapkan salam, tidak menyakiti hewan dan sebagainya.
3. Menjelaskan hukum syariat tentang pengaulan sosial.
Ketika anak telah mumayyiz, orang tua sudah mulai menyampaikan hukum-hukum syariat dengan lebih detail, terutama berkaitan dengan sistem pergaulan dalam Islam dengan rinci. Dengan begitu, ketika mereka balig, mereka telah siap menanggung beban hukum. Ketika anak-anak kita paham tentang aturan ini, bi idznillah hal itu akan mencegah mereka terjerumus dalam pergaulan bebas.
Kita jelaskan kepada anak-anak kita bahwa Islam memiliki aturan laki-laki dan perempuan diperintahkan untuk menundukkan pandangan (QS An-Nur [24]: 30-31). Islam mewajibkan kita untuk menjaga sifat ’iffah (menjaga kesucian diri) (QS An-Nur [24]: 33). Islam mewajibkan kita menutup aurat dan memakai pakaian yang sempurna (QS An-Nur [24]: 31 dan QS Al-Ahzab [33]; 59). Islam melarang laki-laki dan perempuan untuk berkhalwat, tabaruj bagi perempuan, dan sebagainya.
Hal penting juga kita harus sampaikan bahwa Allah telah menetapkan hubungan seksual (shilah jinsiyah) diharamkan untuk dilakukan sebelum pernikahan dan terkategori ke dalam zina (QS Al-Isra [17]: 32; QS An-Nur [24]: 2).
Aturan-aturan inilah yang akan membentengi anak-anak kita dari melakukan kemaksiatan, termasuk pergaulan bebas. Dengan bekal ketakwaan yang mereka miliki, mereka akan mampu mencegah diri mereka dari melakukan perbuatan yang melanggar syariat.
4. Membiasakan anak berpikir yang benar.
Tantangan arus globalisasi budaya, informasi, dan teknologi saat ini memiliki andil besar dalam mewarnai sikap dan perilaku anak-anak. Kerap anak memiliki argumentasi sendiri terkait yang ia lakukan. Pandainya seorang anak berargumentasi belum tentu bermakna bahwa anak membangkang. Bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat dia bertanya.
Dalam persoalan ini, orang tua haruslah memberikan informasi yang benar, yang bersumber dari ajaran Islam, Al-Qur’an dan Sunah. Pada akhirnya informasi ini dijadikan pijakan dalam menilai berbagai informasi yang ia dapatkan. Tentu cara memberikan informasi tersebut bertahap dan sesuai dengan kemampuan nalar anak. Yang penting adalah merangsang anak menggunakan akalnya untuk berpikir dengan benar. Pada tahap ini orang tua dituntut untuk sabar dan penuh kasih sayang. Penyebabnya, tidak sekali diajarkan, anak langsung mengerti dan menurut seperti keinginan kita.
5. Menanamkan sikap tanggung jawab.
Ketika anak sudah tamyiz, kita sudah bisa menumbuhkan kesadaran pada anak-anak kita bahwa segala perbuatan yang dikerjakannya akan ada pertanggungjawabannya. Amal baik akan dibalas kebaikan dan amal buruk akan dibalas keburukan. Dengan begitu anak-anak akan berhati-hati dalam bertindak dan berucap. Mereka tidak akan mudah jatuh dalam suatu keburukan. Jika melakukan suatu kekhilafan, ia akan segera menyadari lalu bertobat kepada Allah dan memperbaiki dirinya agar menjadi lebih baik.
Termasuk dalam hal mendidik tanggung jawab pada anak adalah menegur dirinya dari kesalahan yang telah dia lakukan. Hal ini sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw., Abdullah bin Busr ash-Shahabi ra. berkata, “Ibu saya pernah mengutus saya ke tempat Rasulullah saw. untuk memberikan setandan buah anggur. Akan tetapi, sebelum saya sampai kepada beliau, saya makan (buah itu) sebagian. Ketika saya tiba di rumah Rasulullah, beliau menjewer telinga saya seraya bersabda, ‘Wahai anak yang tidak amanah.’.” (HR Ibnu Sunni).
Rasulullah saw. memperlakukan anak sesuai dengan kadar kesalahan dan kondisi seorang anak. Sikap tanggung jawab membuat anak-anak cerdas dalam mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri.
6. Memberikan teladan.
Bagaimanapun anak-anak membutuhkan qudwah dan teladan yang baik, bahkan hingga ia dewasa. Oleh karena itu, sudah seharusnya orang tua selalu memberikan contoh yang baik kepada anak. Tentu agar tertanam dalam jiwa mereka benih-benih kebaikan yang akan menghunjam dalam sanubari mereka, terbawa dalam setiap sikap dan perilaku mereka. Rasulullah saw. mencontohkan adab yang baik kepada Fatimah dan terus diamalkan hingga dewasa.
7. Senantiasa mendoakan keluarga dan anak-anak.
Doa orang tua untuk keluarga dan anak-anaknya, terutama pada waktu-waktu mustajab, merupakan senjata utama, terutama seorang ibu. Oleh karena itu, perbanyaklah meminta kepada Allah agar menjadikan anak-anak kita menjadi anak-anak yang saleh, dijauhkan dari hal-hal yang bisa melanggar hukum syariat, dan agar Allah membimbing mereka ke jalan yang lurus.
Wallahualam Bi’sawab