Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja outstanding pembiayaan fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman online pada Mei 2023 mencapai Rp 51,46 triliun, tumbuh sebesar 28,11% secara tahunan (year on year/yoy). 38,39% merupakan pembiayaan kepada pelaku usaha UMKM, dengan jumlah penyaluran kepada UMKM perseorangan dan badan usaha masing-masing seberas Rp 15,63 triliun dan Rp 4,13 triliun.
Data outstanding pembiayaan tersebut adalah nilai pokok pinjaman masyarakat yang masih beredar melalui pinjaman online di mana jumlahnya masih bisa naik ataupun turun serta bukan angka pinjaman yang bermasalah. Untuk angka pinjaman yang bermasalah di industri P2P lending atau pinjaman online disebut Tingkat Wanprestasi 90 hari atau TWP90 (cnbcindonesia.com).
Anggota Dewan Komisioner OJK yang membidangi Edukasi dan Perlindungan Konsumen mengatakan individu yang cenderung menggunakan pinjol untuk memenuhi kebutuhan konsumtif gaya hidup, lebih mudah terjebak kredit macet. Ia menyebutkan kebutuhan gaya hidup itu antara lain pembelian gawai baru karena mengikuti tren, belanja pakaian terkini, rekreasi ke tempat-tempat terpopuler hingga membeli tiket konser musik (katada.co.id).
Tren pinjol yang makin meningkat oleh individu masyarakat maupun UMKM sejatinya disebabkan banyak hal. Di antaranya adalah kesempitan hidup yang menimpa sebagian masyarakat negeri ini. Pasalnya, lebih dari 26 juta rakyat Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Pinjol pun menjadi jalan mudah yang dipilih untuk bisa memenuhi kebutuhan pangannya. Di antara mereka ada yang mencoba peruntungan di UMKM yang tentu membutuhkan modal. Alhasil, pinjol menjadi pilihan.
Kesempitan hidup yang dialami masyarakat tidak lepas dari penerapan sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Sistem ini telah melegalkan liberalisasi ekonomi, alhasil segala komoditas dikapitalisasi atau dibisniskan. Mulai dari pendidikan, perdagangan, hingga kesehatan. Rakyat pun menjadi kesulitan mengakses kebutuhan-kebutuhan asasiyahnya, karena harganya mahal.
Selain itu, cara pandang sekuler kapitalis yang diadopsi masyarakat juga telah menjerat mereka pada pinjol yang tidak berkesudahan. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah mewarnai kehidupan masyarakat dengan gaya hidup hedonis dan materialis. Masyarakat memandang sumber kebahagiaan ada pada materi dan kesenanga jasadiyah semata. Padahal, mengejar kesenangan materi membutuhkan cuan yang tidak sedikit.
Gaya hidup materialis masyarakat diperkuat dengan gempuran media yang secara terus-menerus mempersuasif masyarakat untuk hidup hedon. Masyarakat yang jauh dari pemahaman Islam tidak lagi memedulikan apakah harta yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan asasiah dan gaya hidup diperoleh melalui jalan halal ataukah bertentangan dengan aturan Allah, sebagaimana pinjol yang disertai riba. Negara pun cenderung abai terhadap persoalan ketakwaan rakyatnya termasuk kesejahteraannya. Celakanya negara juga melegalkan praktik pinjol dengan perizinan lembaga pinjol.
Bila kita telaah lebih jauh, sistem kapitalisme hanya akan menjadikan pemimpin sebagai regulator (pengatur) bukan riayah atau pelayan yang memiliki tanggung jawab penuh atas nasib rakyatnya. Pemimpin dalam sistem kapitalisme demokrasi sangat rentan menjadikam kinerjanya berkiblat pada kepentingan korporasi. Sedangkan rakyat dibiarkan mengurusi kebutuhannya sendiri.
Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam menjadikan pemimpin sebagai pelayan sejati rakyatnya. Paradigma inilah yang dibangun dalam Islam. Karena itu, kesejahteraan rakyat menjadi prioritas negara dalam menjalankan tugasnya sebagai periayah.
Mewujudkan masyarakat bersih dari riba membutuhkan peran sentral negara dalam menjauhi riba dengan segala bentuknya. Khilafah sebagai sistem pemerintahan berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah tidak akan membiarkan praktik riba berlangsung. Penerapan syariat Islam secara kaffah sejatinya akan menghapuskan praktik riba.
Khilafah akan berupaya memenuhi kebutuhan asasiyah setiap individu rakyatnya melalui penerapan sistem ekonomi Islam dengan mekanisme langsung maupun tidak langsung. Dalam mekanisme tidak langsung, kepala keluarga yang menjadi pihak pencari nafkah akan dipermudah dan difasilitasi untuk bekerja, baik akses terhadap modal tanpa riba, pelatihan, hingga penyediaan lapangan kerja seluas-luasnya. Lapangan kerja dalam Khilafah akan terbuka lebar sebab seluruh kepemilikan rakyat hanya boleh dikelola negara. Pengelolaan sumber daya alam dalam jumlah besar akan mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar pula.
Jika kepala keluarga tidak mampu, yang wajib membantu adalah kerabatnya. Pendataan yang baik disertai aparat pemerintah yang amanah, meniscayakan adanya data kekerabatan yang menunjang mekanisme ini. Jika seluruh kerabatnya tidak mampu memenuhinya, kewajiban memberi nafkah jatuh pada kas negara (Baitul Maal). Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu akan diambil dari pos zakat.
Adapun mekanisme langsung akan dilakukan negara pada pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Di mana negara akan menggratiskan pelayanan-pelayanan tersebut kepada masyarakat. Sehingga harta yang dimiliki masyarakat benar-benar fokus dipergunakan memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan ditambah kebutuhan sekunder maupun tersiernya.
Bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan keuangan, misalnya modal, mahar, dan lain-lain maka negara melalui lembaga Baitul Maal akan memberikan pinjaman tanpa riba. Sebab Islam mengharamkan riba secara mutlak. Negara akan melarang pendirian lembaga pinjol dengan riba atau aktivitas sejenis.
Di sisi lain, sistem pendidikan Islam akan mencetak masyarakat yang memiliki akidah Islam yang kuat dan berorientasi akhirat. Sehingga amal-amalnya tidak berputar pada bagaimana memenuhi kesenangan duniawi, tetapi dihiasi dengan amal shalih. Demikianlah sistem Islam mewujudkan masyarakat tanpa riba sehingga kehidupan menjadi berkah karena diliputi ridha Allah. Inilah indahnya hidup di bawah sistem Islam, Khilafah.
Islam mengatur kebutuhan manusia dan skala prioritasnya, dan cara negara memenuhi kebutuhan asasi. Negara akan menjamin terpenuhinya hak-hak dasar individu per individu, pendidikan, kesehatan, keamanan gratis dan berkualitas. Jadi, beban perorangan tidak seberat saat ini karena hanya fokus mencukupi kebutuhan asasi, sandang, pangan dan papan. Alhasil, jika negara mengambil Islam sebagai sistem, maka keselamatan dan kesejahteraan akan rakyat dapatkan.[]