JAKARTA – Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menilai, modal puluhan miliar rupiah yang dikeluarkan para calon kepala daerah untuk mengikuti pemilihan umum mengakibatkan proses politik menjadi sebuah transaksi bisnis.
“Kenapa banyak kepala daerah yang terjerat korupsi? Karena biaya politik kita yang sangat mahal,” katanya dalam Media Gathering Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024 di Hotel Pullman Jakarta, Senin (3/7).
Menurutnya, mahalnya biaya politik membuat banyak kepala daerah usai terpilih justru terjerat kasus korupsi.
Berdasarkan survei KPK dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), biaya yang dibutuhkan untuk mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota sebesar Rp 20 hingga 30 miliar.
Meski begitu, jumlah biaya politik itu belum tentu membuat kandidat para calon kepala daerah memenangkan kontestasi politik. Ia mengatakan, para calon pemimpin itu harus merogoh kocek sekitar Rp 50 hingga 70 miliar.
Apabila daerah yang akan dipimpinnya kaya akan sumber daya alam (SDA), maka biaya politik yang dikeluarkan lebih besar lagi.
“Kalau mau menang harus dilipatgandakan Rp 50 hingga 70 miliar. Tergantung daerah, apakah daerah kaya akan sumber daya alam, akan lebih tinggi lagi,” jelasnya.
Alexander menjelaskan, dari survei yang dilakukan KPK dan Kemendagri, tidak semua biaya berasal dari kandidat calon kepala daerah. Ia menyebutkan, biaya tersebut juga berasal dari sponsor yang rata-rata merupakan pengusaha setempat.
“Memang dari survei kami, tidak semua biaya itu dari kantong calon, tapi ada sponsor yang rata-rata adalah para vendor atau pengusaha setempat biasanya pengusaha konstruksi,” ujarnya.
Ia menyebutkan, pihaknya melakukan survei terhadap para pengusaha yang mendukung pendanaan calon kepala daerah. Hasil survei tersebut mengungkapkan bahwa biaya yang dikucurkan tidak diberikan secara cuma-cuma.
“Harapan mereka kalau calon yang didukung menang, setidaknya nanti kalau ikut lelang proyek itu dipermudah,” ucap Alexander.
Melihat realitas ini, ia mengaku tak heran apabila terjadi permasalahan dengan kegiatan pengadaan barang dan jasa, maupun pembangunan infrastruktur yang tidak sesuai harapan. Pasalnya, ada utang politik yang harus dibayar kepada sponsor yang sudah mendukung selama pilkada.
“Kalau kegiatan pengadaan barang dan jasa, pembangunan infrastruktur kita ada persoalan, salah satu akar persoalan di situ. Ada utang politik yang harus dibayar oleh kepala daerah kepada donatur pendukung para calon kepala daerah. Itu persoalannya,” pungkasnya. ant