JAKARTA – Badan Pangan Nasional (NFA) menunda penerbitan harga acuan baru untuk gabah dan beras. Meski diakui adanya kenaikan ongkos produksi, NFA menilai kenaikan harga yang terjadi saat ini di luar batas kewajaran.
“(Harga acuan) beras kami tahan dulu, walaupun kami sudah ada hitungannya, harga hari ini di luar kalkulasi kita semua. Kami menuggu sampai kondisi benar-benar normal,” kata Kepala NFA Arief Prasetyo Adi dalam Rapat Dengar Pendapat bersa Komisi IV DPR.
Sebelumnya, dalam sejumlah kesempatan, Arief mengungkapkan adanya keseimbangan baru ongkos produksi beras. Itu karena adanya kenaikan biaya sarana produksi, termasuk kenaikan harga BBM.
Namun, peningkatan harga saat ini dinilai kelewat tinggi. “Hari ini tidak normal karena gabah kering panen (GKP) sudah Rp 6.000 per kg. Harga beras medium, premium juga di luar kebiasaan,” ujarnya.
Ia menegaskan, kenaikan harga saat ini akibat adanya ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan. Ia pun menyebut dalam enam bulan terakhir terjadi defisit beras yang memicu kenaikan harga di dalam negeri.
Berdasarkan perhitungan NFA, kenaikan harga gabah dan beras hanya sekitar enam persen sampai delapan persen. Menurut Arief, dengan kenaikan tersebut, Perum Bulog yang membeli gabah atau beras dengan acuan pemerintah juga bisa bersaing dengan perusahaan swasta. “Jadi, dengan kenaikan itu, kalau harga (acuan) beras Rp 8.300 per kg itu jadi Rp 8.800 per kg-Rp 8.900 per kg. Di angka itu saya rasa saat panen raya Bulog bisa melakukan,” ujarnya.
Sebagai informasi, acuan harga gabah dan beras saat ini masih diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24 Tahun 2020. Harga GKP sebesar Rp 4.200 per kg di tingkat petani atau Rp 4.250 per kg di tingkat penggilingan.
Adapun harga gabah kering giling sebesar Rp 5.250 per kg di petani atau Rp 5.300 per kg di penggilingan. Sedangkan harga beras sebesar Rp 8.300 per kg.
Arief menuturkan, jika pergerakan harga beras masih lebih tinggi. Badan Pangan akan memberikan fleksibilitas harga kepada Bulog untuk bisa menyerap gabah dan beras sesuai tren harga par.
Sementara itu, pada bagian lain Arief Prasetyo Adi mengungkap stok beras Indonesia defisit selama enam bulan terakhir. “Dalam 6 bulan terakhir defisit, ketua,” jawab Arief pada Ketua Komisi I DPR RI Sudin.
Pernyataan Arief mengacu pada data Kerangka Sampel Area (KSA) milik BPS selama enam bulan terakhir pada 2022.
Pada Agustus 2022, produksi beras tercatat 2,35 juta ton dan konsumsi 2,52 juta ton alias defisit 170 ribu ton. Kemudian, pada September, produksi tercata 2,5 juta ton, konsumsi 2,52 juta ton, dan defisit 20 ribu ton.
Pada Oktober, produksi beras 2,43 juta ton, konsumsi 2,52 juta ton, dan defisit 100 ribu ton. Selanjutnya, pada November, produksi beras hanya 1,93 juta ton, sementara konsumsi mencapai 2,53 juta ton, sehingga defisit 600 ribu ton. Pada Desember 2022, produksi 1,14 juta ton dan konsumsi 2,53 juta ton. Dengan demikian, terjadi defisit 1,39 juta ton. Bulan ini, produksi beras itu mencapai 1,51 juta ton sementara konsumsi mencapai 2,51 juta ton. Akibatnya, terjadi defisit beras sebesar 1 juta ton. rep/mb06