Oleh : Tomy Michael (Dosen FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
Cukup mengagetkan atas ucapan Presiden Prabowo Subianto “ciri khas negara yang gagal adalah tentara dan polisi yang gagal…”. Kegagalan yang dialami kebanyakan negara biasanya terkait keamanan atau perpecahan dalam pemerintahan. Namun apabila dicermati lebih lanjut, maksud negara gagal karena kekuasaan yang dialienasikan dari rakyat menjadi tidak selaras. Dalam konteks ilmu negara, negara menjadi gagal karena tidak mampu mempertahankan penduduk yang tetap, wilayah, pemerintahan dan relasi dengan negara lain (Konvensi Montevideo 1933). Langkah berikutnya yaitu mencegah agar fiksi negara gagal tidak terjadi.
Ilmu negara memberikan paradigma bahwa negara memiliki keterbatasan sehingga wajib melakukan hubungan dengan negara lain. Kegagalan pertama ini membuat negara secara otomatis patuh pada kebiasaan internasional. Kegagalan kedua terkait penerimaan masyarakat akan penguasa yang mewakili dirinya untuk bertindak. Ketika penguasa melakukan kehendak rakyatnya maka rakyat akan bahagia tetapi tidak seluruh kehendak memiliki implikasi hukum yang baik. Adakalanya, negara harus bertindak sesuai kehendak hatinya demi menyelamatkan negara. Contoh yang telah kita lalui pada era Covid-19. Indonesia patuh pada WHO dimana saat itu juga terjadi kekosongan norma ketika terjadi penyebaran virus, hasilnya virus bisa dihentikan secara total. Kegagalan ketiga terkait bagaimana negara mematuhi konstitusi yang telah disepakati sebelumnya. Konstitusi adalah kesepakatan yang harus ditegakkan bersama dalam keadaan apapun.
Apakah ketika tentara dan polisi yang gagal akan membuat negara gagal? Pendapat Immanuel Kant malah menolak keberadaan tentara karena akan menjadikan negara memperoleh banyak musuh. Ia trauma dengan peperangan sehingga perdamaian abadi adalah kemutlakan. Secara frontal, negara juga tidak boleh melakukan kerjasama dengan negara lain tanpa memperoleh keuntungan. Beda halnya dengan Thomas Hobbes yang menginginkan negara sangat kuat. Pemimpin harus bertindak seperti Leviathan sehingga hal yang merugikan negara bisa terselesaikan. Ada dilema ketika bertindak seperti Leviathan yaitu masyarakat bisa hidup nyaman tetapi masyarakat lainnya mengalami kesulitan.
Cara menjadikan Indonesia agar tidak gagal sebagai negara yang besar maka harus ada penegakan hukum yang berkepastian hukum. Artinya kepastian hukum yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan adalah kepastian yang harus ditaati. Kepastian hukum bukanlah kepastian teks melainkan bagaimana bunyi pasal per pasal bisa terlaksana. Kehendak peraturan perundang-undangan harus dijamin oleh kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif dan kekuasaan yudisial terlaksana dengan baik. Masing-masing kekuasaan saling melengkapi sehingga pembagian yang diawali pemisahan menghasilkan kebijakan yang baik. Sementara bagi yang menolaknya melalui uji materiil adalah wujud kepedulian masyarakat pada negara. Penolakan harus dipandang sebagai kritik yang memberikan dampak positif. Hanya saja fakta empirisnya, uji materiil langsung diajukan ketika suatu peraturan perundang-undangan diundangkan.
Saya meyakini, dengan mengkolaborasikan pemikiran Immanual Kant dan Thomas Hobbes maka negara gagal tidak akan ada di Indonesia. Selain kuatnya musyawarah di Indonesia, Pancasila pun sudah mendunia dan kita harus menjaganya.