Tak bisa disangkal lagi bahwa mengajar memerlukan tanggung jawab moral yang besar, karena keberhasilan pendidikan peserta didik, khususnya mahasiswa, sangat bergantung pada kemampuan guru atau dosen untuk melaksanakan tanggung jawabnya sebagai penggerak utama proses pembelajaran.
Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab dosen untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan di mana mahasiswa dapat mengembangkan minat, bakat, ide, dan kreativitas mereka.
Syahdan. Mengajar bisa didefinisikan sebagai menyampaikan pengetahuan kepada peserta didik; mewariskan kebudayaan kepada generasi muda; menciptakan lingkungan belajar yang baik untuk peserta didik; memberikan instruksi dan aktivitas untuk mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik; dan membantu mereka menjalani kehidupan sehari-hari.
Selain itu, mengajar juga dapat dianggap sebagai bagian dari public speaking, yaitu keahlian untuk berbicara di depan umum. Hanya saja, public speaking lebih menekankan pada upaya mempengaruhi orang, sementara mengajar bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku siswa dan membuat mereka lebih terampil dan berpengetahuan.
Bagaimana jika dosen menganggap dirinya paling pintar?
Belajar-mengajar terlihat kaku. Mahasiswa tidak banyak berkomentar, berbagi ide, pemikiran, atau kritikan terhadap dosennya. Mereka bahkan tidak berani berbicara di depan dosennya karena khawatir dan segan (apalagi diancam dengan nilai). Hal ini terjadi karena mahasiswa selalu disalahkan oleh sebab menyuarakan pendapatnya.
Selain itu, seorang dosen tidak pernah mengapresiasi pendapat mahasiswanya. Seakan-akan, segala sesuatu yang diajarkan oleh dosen adalah kebenaran mutlak yang tidak dapat dipertikaikan; ia selalu benar dan tidak pernah merasa salah dalam aktivitas belajar. Dengan kata lain, di sini, mahasiswa hanya dianggap sebagai pendengar yang setia atau pihak pasif yang tidak tahu apa-apa.
Ini adalah ilustrasi dari dosen yang merasa paling mahir dalam kegiatan belajar-mengajar. Jika mahasiswa membantah atau menentang sesuatu yang disampaikan, mereka dianggap tidak patuh, lancang, atau tidak mengerti apa yang disampaikan.Lebih menyedihkan lagi, jika dia menolak untuk menerima pendapat dosen tersebut, dia dianggap bodoh. Mahasiswa hanyalah mesin yang dikontrol sepenuhnya oleh dosen.
Ada perbedaan usia antara dosen dan mahasiswa sehingga membuat dosen merasa paling pandai. Dosen merasa memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman karena mereka lebih tua daripada mahasiswanya. Mahasiswa dianggap sebagai “gelas kosong yang perlu untuk selalu diisi air”.
Perlu kita sadari bersama bahwa ketika dosen merasa paling cerdas, dia secara otomatis akan mengontrol mahasiswa. Namun, hal ini tidak menguntungkan karena mahasiswa seolah-olah harus menerima semua yang diberikan guru.
Tentu saja ini mirip dengan orang yang terus dipaksa makan meskipun sudah kenyang. Pada akhirnya, orang yang tidak lapar juga muntah karena kenyang atau sakit perut. Sekali lagi, karena melibatkan unsur paksaan, mahasiswa akhirnya tidak dapat memahaminya dengan baik.
Dengan kata lain, dosen yang merasa paling pintar hanya akan menyesatkan mahasiswanya. la tetap menjadi orang bodoh yang tidak bisa menerima kritik atau orang yang berbeda dengan pendapatnya.
Segala hal yang berasal dari orang lain akan selalu ditolak dengan keras, bahkan jika itu benar atau baik. Lebih dari itu, jika satu argumen berasal dari mahasiswa yang tidak memiliki pengalaman atau pengetahuan apapun.
Jika pendapat dosen tidak diterima dengan baik oleh mahasiswa, mahasiswa akan merasa dikucilkan. Jadi, ia kadang-kadang memaksakan pendapatnya. Ia adalah sumber kebenaran absolut baginya. Ia adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat diakses mahasiswa.
Sebenarnya, hal ini tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga dosen itu sendiri. Kenapa? Karena dosen secara tidak langsung membatasi dirinya untuk belajar dari orang lain, termasuk mahasiswanya sendiri.
Padahal, jika seorang dosen yang bersedia belajar dari mahasiswanya, sama sekali tidak akan pernah mengurangi martabatnya. Sebaliknya, mereka benar-benar membantu mahasiswanya untuk terus belajar dan memperluas pengetahuan mereka.
Yang tidak kalah pentingnya untuk dikatakan adalah bahwa dosen yang merasa paling pandai pasti membuat mahasiswa tidak nyaman belajar. Selain itu, keterbukaan dan kebebasan menjadi preferensi saat ini.
Jika mereka hanya mendengar dosennya, mereka pasti akan jauh lebih senang untuk melakukan penelitian, berbicara dengan temannya, dan mencari masalah atau jawaban melalui buku. Dengan melakukan hal ini, ia akan mendapatkan banyak pengetahuan baru yang dosennya mungkin tidak akan memberinya.
Tips agar tak merasa pintar
Pertama dan terpenting, dosen harus selalu melibatkan mahasiswa dalam proses belajar-mengajar secara aktif. Ini berarti bahwa dosen menganggap mahasiswa sebagai subjek belajar aktif yang dapat berkembang selama proses belajar-mengajar.
Kedua, dosen lebih banyak menjadi fasilitator, yang berarti mereka berpartisipasi secara aktif dalam membantu mahasiswanya belajar. Sebagai fasilitator, dosen memberikan kesempatan yang besar bagi mahasiswa untuk berkreatif dan berinovasi, misalnya dengan memfasilitasi diskusi atau penelitian kecil-kecilan. Hal seperti ini pasti akan sangat membantu dosen dalam menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
Ketiga, dosen harus memperkaya metode. Ini biasanya terjadi karena doseng cenderung mendominasi proses belajar-mengajar. Ini dapat terjadi karena dosen hanya menggunakan satu metode, misalnya metode ceramah, karena mereka tidak mahir dengan metode mengajar lainnya. Sudah pasti, dosen sangat dominan dalam metode ceramah, sementara mahasiswa tidak memiliki ruang yang cukup untuk berkreativitas.
Pada akhirnya, dosen yang benar-benar pandai—bukan sekadar merasa paling pandai—seharusnya dapat mengoptimalkan kondisi zaman yang terus berubah. Mereka tidak seharusnya menjadi orang tua yang tidak dapat berubah dan tidak seharusnya berhenti belajar dari siapa pun.
Dosen tidak akan pernah merasa paling pandai ketika dia terus belajar. Sebaliknya, ia akan membuatnya terlihat seperti orang yang masih memiliki banyak kekurangan. Dengan demikian, ia tidak akan pernah mengabaikan orang lain, termasuk mahasiswa. Wallahu a’lam bisshawaab.