JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menegaskan bahwa penetapan upah minimum akan tetap mengikuti formula yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51/2023 tentang Pengupahan.
Hal itu menanggapi Serikat buruh di Indonesia yang menuntut kenaikan Upah Minimum Tahun 2025 naik sebesar 8 – 10 persen.
“Ya, kami sudah menyampaikan bahwa kami prinsipnya mengikuti sesuai dengan aturan pemerintah yaitu PP 51. Jadi PP 51 tahun 2023 itu yang akan diikuti karena di situ sudah jelas ada formulanya,” kata Shinta saat ditemui di kator Kemenko Perekonomian, Jakarta.
Shinta menjelaskan, mengacu pada PP 51 maka formula perhitungan upah minimum provinsi (UMP) 2025 memperhitungkan beberapa variabel di tingkat provinsi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
“Berdasarkan juga kondisi perekonomian daerah maupun inflasi, pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dan ada koefisiannya. Jadi itu yang sebenarnya diikuti. Jadi, tidak bisa disamaratakan semua daerah di Indonesia. Masuk provinsi, kabupaten, kota. Itu semua sudah ada formulanya,” ujarnya.
Menurut Shinta, jika pengusaha harus menyamaratakan variabel Indeks Tertentu di suatu daerah, maka pengusaha akan kesulitan dalam menetapkan upah minimum.
“Karena kalau kita setiap kali harus mengubah rata kan jadi susah. Ini kan yang penting buat masanya, itu kan kepastian. Kenapa ada formulanya itu kan untuk kita ikuti. Jadi, kami harapkan kami bawa kita bertambah pada konsisten kepada formulanya yang sudah ditetapkan oleh pemerintah,” katanya.
Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti, menilai sangat wajar buruh menuntut kenaikan Upah Minimum Tahun 2025 naik sebesar 8 – 10 persen.
“Kalo menurut saya wajar. Kalo menurut saya permintaan kenaikan 8-10% itu make sense, karena tiap tahun memang harus ada kenaikan upah sesuai dengan kenaikan inflasi,” kata Esther.
Menurutnya, apalagi kondisi perekonomian Indonesia saat ini mengalami deflasi 5 bulan berturut turut. Hal itu menandakan bahwa ekonomi dalam negeri sedang lesu. “Artinya, ada penurunan real income sehingga daya beli masyarakat melemah,” ujarnya.
Hal ini juga ditandai dengan pengeluaran untuk konsumsi makanan dan minuman lebih banyak sekitar 50-60 persen dari total pendapatan. Sedangkan untuk pendidikan dan kesehatan dan lainnya sangat kecil.
Namun di sisi lain, hal tersebut mendorong terjadinya kenaikan biaya produksi yang mengakibatkan naiknya harga barang yang diproduksi. Oleh karena itu, perlu kontrol pemerintah untuk stabilisasi harga barang terutama bahan kebutuhan pokok.
Adapun kata Esther, formul upah minimum seharusnya mempertimbangkan besarnya inflasi? produktivitas (omset dan lain-lain), serta biaya hidup di suatu daerah dengan memberikan tunjangan kemahalan di suatu kota, karena transportasi dan logistik dan lainnya. lp6/mb06