JAKARTA – Para pelaku usaha dan industri tekstil di Jawa Barat (Jabar) terancam berhenti berproduksi. Kelangsungan usaha mereka trancam akibat praktik predatory pricing atau menjual barang di bawah harga bahan baku di platform social commerce.
Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) menyatakan, praktik predatory pricing tersebut secara nyata mulai dirasakan oleh para pelaku usaha tekstil dengan turunnya permintaan. Omzet mereka turun, produksi berkurang, bahkan bisa berdapak pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, misalnya, sejak Lebaran hingga saat ini, penurunan produksi terus terjadi hingga beberapa pabrik tidak mampu lagi bertahan untuk terus berproduksi. Padahal, di daerah yang penduduknya banyak bergerak di usaha tekstil itu aktivitas produksi biasanya ramai setiap harinya.
Dalam kunjungannya ke beberapa pabrik tekstil di Majalaya, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki menyaksikan secara langsung kondisi terkini pabrik dan menerima keluhan beberapa pelaku UKM tekstil di Kabupaten Bandung.
“Memang ada penurunan ya cukup drastis karena pelaku UMKM yang memproduksi pakaian Muslim, kerudung, pakaian jadi yang dijual di pasar grosir, seperti Tanah Abang, ITC Kebon Kelapa, Pasar Andir terpantau anjlok,” kata Teten dalam keterangan resmi.
Akibatnya, kata dia, permintaan terhadap pakaian kain, dan tekstil pun menurun drastis. Dalam kunjungannya ke beberapa pabrik tekstil, ia turut berdiskusi dengan para pelaku usaha tekstil di Majalaya.
Dalam diskusi tersebut, hadir sejumlah pelaku usaha tekstil terdiri atas Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ikatan Pengusaha Konveksi Bandu (IPKB), Paguyuban Textile Majalaya, dan KADIN Kabupaten Bandung. Teten menegaskan, produk mereka kalah bersaing bukan karena kualitas, melainkan soal harga yang tidak masuk harga pokok penjualan (HPP) pelaku UKM/IKM tekstil yang tidak mampu bersaing.
“Saya mendapat informasi ad indikasi marak impor pakaian jadi maupun produk tekstil yang tak terkendali. Harga yang murah ini adalah predatory pricing di platform online, memukul pedagang offline dan dari sektor produksi konveksi juga industri tekstil dibanjiri produk dari luar sangat murah,” kata dia.
Menurut dia, hal itu trjadi karena didorong adanya aturan safe guard yang tidak berjalan dengan semestinya. Maka, kata dia, pemerintah berupaya membenahi dan berkoordinasi dengan mensesneg untuk langkah ke depan.
“Sebab, sekali lagi, kewenangan ini ada di Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan Kementerian Keuangan (emenkeu). Presiden Jokowi pun sudah mengatakan secepatnya ada undang-undang yang mengaturnya,” ujarnya.
Teten menegaskan, Presiden Joko Widodo sudah menyampaikan akan meninjau kembali perdagangan online. Hal itu juga masuk dalam revisi aturan Permendag Nomor 50 Tahun 2020.
Menkop jug merasa perlu ada HPP khusus di produk tekstil. “Sebab di Cina sendiri, mereka menerapkan model barang masuk di sana tidak boleh di bawah HPP. Kalau diterapkan bisa melindungi industri dalam negeri.”
Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan, saat ini perdagangan obal memang sedang tidak baik-baik saja. Cina yang merupakan produsen atau manufaktur besar dunia, banyak barangnya yang tak terserap di negara-negara besar, seperti di Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa, sehingga mereka berusaha mencari pasar baru yang hambatan perdagangannya lemah.
“Jangan sampai Indonesia hanya dijadikan pasar, karena Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar nomor empat dunia. PDB kita masih lebih baik dan inflasi Indonesia cukup terkontrol dibanding negara lain,” kata dia.
Menurut dia, tidak heran Indonesia dibidik menjadi salah satu pangsa pasar. Jika tidk pintar-pintar memasang trade barrier, kata dia, ekosistem ini akan hancur dan berimbas ke hulu.
Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Indonesia Nandi Herdiaman menambahkan, adanya serangan impor yang harganya di bawah pasar, mendorong rendahnya permintaan termasuk yang terjadi di Tanah Aang, Jakarta Pusat. “Imbasnya terjadi penurunan produksi bukan hanya pada satu atau dua pabrik, bahkan ribuan. Ditambah dampak pengangguran bahkan hingga jutaan,” katanya. rep/mb06