
Sudah jamak bahwa sejak 1945 hingga sekitar 1959, Indonesia telah mengalami tiga bentuk negara dan kerangka konstitusi yang berbeda. Dari 1945-1949, Indonesia adalah sebuah negara kesatuan nasional di bawah UUD 1945. Menyusul pemindahan kedaulatan dari Belanda pada 1949, Indonesia menjadi sebuah negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) di bawah undang-undang dasar tahun 1949.
Langkah penyatuan nasional pada 1950 menjadikan Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan nasional di bawah undang-undang dasar tahun 1950. Memang betul, sejak 1950 hingga sekitar 1959, dekade yang dikenal sebagai periode demokrasi konstitusional, Indonesia beroperasi di bawah UUD 1950.
Terlepas dari kenyataan bahwa negara telah mengalami beberapa kali perubahan konstitusi, UUD 1950 itu masih dianggap sementara. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa tugas utama Majelis Konstituante adalah menyusun sebuah rancangan konstitusi yang permanen.
Perlu diketauhi, dalam kerangka legal-konstitusional inilah para anggota Majelis Konstituante terlibat dalam perdebatan-perdebatan ideologis-politis yang sengit dan panas. Meski bukan tanpa kesulitan, Majelis Konstituante akhirnya dapat menyelesaikan sebagian besar tugasnya.
Selama dua setengah tahun keberadaannya (November 1956-Juni 1959), Majelis Konstituante berhasil menyelesaikan 90% tugas-tugasnya, termasuk membuat berbagai ketetapan seputar masalah hak-hak asasi manusia, prinsip-prinsip kebijakan negara, dan bentuk pemerintahan. Seluruh persoalan tersebut dianggap unsur-unsur substantif konstitusi.
Sayangnya, perdebatan tentang dasar negara tidak berlangsung semulus perdebatan sekitar masalah-masalah lain di atas. Bahkan, perdebatan-perdebatan tersebut amat berperan dalam membawa Majelis Konstituante ke jalan buntu. Corak perdebatan-perdebatannya yang tak kenal kompromi dan panas memperparah perpecahan di antara partai-partai yang terlibat.
Seperti yang dicatat Adnan Buyung Nasution, “perdebatan-perdebatannya bersifat ideologis, mutlak-mutlakan dan antagonistik, sehingga partai-partai, terutama kelompok Islam dan kelompok nasionalis, tidak saling mendekati satu sama lain, melainkan bahkan makin jauh terpecah.”
Dalam perdebatan tentang dasar ideologi negara, tiga aliran ideologis tampil menonjol: Islam, Pancasila, dan Sosial-Ekonomi. Akan tetapi, mengingat perdebatan-perdebatan tentang dasar ideologi negara yang berlangsung sebelumnya, pertentangan paling sengit berlangsung antara para pendukung aliran ideologi Islam dan Pancasila.
Rupanya, dalam diskursus ini, kelompok Islam pada intinya menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi-politik yang sudah mereka kemukakan pada masa prakemerdekaan, yakni mendirikan negara yang jelas-jelas berdasarkan Islam.
Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara berdasarkan argumen-argumen mengenai watak holistik Islam, keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain, dan kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara Indonesia.
Saat itu, seluruh partai politik Islam, seperti Masyumi, NU, PSII, dan Perti, menyuarakan gagasan negara Islam yang ditandai oleh penerimaan Islam sebagai dasar ideologi negara. Terlepas dari itu, mereka berbeda satu sama lain dalam hal tingkat dan intensitasnya. Ketika membandingkan sikap politik Masyumi dan NU, beberapa pengamat menyatakan bahwa yang pertama lebih intens dibandingkan yang kedua.
Mempertahankan watak Islam holistik
Dipimpin Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Zaenal Abidin, Isa Anshari, K.H. Masjkur, mereka kokoh mempertahankan watak Islam yang holistik. Mereka percaya bahwa Islam mengatur setiap aspek kehidupan. Menurut mereka, negara, yang pada dasarnya merupakan sebuah organisasi yang meliputi seluruh masyarakat dan lembaga, yang memiliki kekuasaan untuk membuat dan menerapkan aturan-aturan yang mengikat, tidak bisa lain kecuali mendasarkan diri kepada prinsip-prinsip ilahiah.
Dari pandangan-pandangan teologis-ideologis itu, mereka memandang bahwa Pancasila pada dasarnya adalah ideologi sekular, tanpa sumber keagamaan yang pasti. Walaupun sila pertamanya mengakui pentingnya kepercayaan kepada satu Tuhan, perumusannya pada dasarnya lebih didasarkan kepada keharusan sosiologis dan bukan keilahiahan Tuhan.
Dengan kata lain, hal itu merupakan konsepsi mengenai Tuhan yang dibuat oleh manusia dan dapat berubah sewaktu-waktu tergantung situasi. Pendeknya, dalam pandangan mereka, Pancasila itu netral dan tanpa warna, dan kelima silanya tidak saling berkaitan. Karenanya, mereka menolak gagasan Pancasila sebagai dasar negara.
Untuk menyuarakan penolakan tersebut, Mohammad Natsir menyatakan: “Bagi kami, Pancasila sebagai dasar filsafat negara itu tidak jelas dan tidak menyatakan apa-apa kepada jiwa masyarakat Muslim yang sudah memiliki ideologi yang pasti, jelas dan lengkap, sesuatu yang terpancar dalam lubuk hati rakyat Indonesia sebagai ilham yang hidup dan sumber kekuatan, yakni Islam. Bagi kaum Muslim, mengganti Islam dengan Pancasila sama saja artinya dengan lompat dari bumi yang kokoh ini ke ruang hampa, ke dalam suatu kekosongan.”
Tanggapan para pendukung Pancasila tidak kurang antagonisnya. Sejalan dengan cara penalaran mereka yang lebih awal, tokoh-tokoh seperti Roeslan Abdulgani, seorang Muslim dengan orientasi ideologis-politis nasionalis, menolak pandangan bahwa Pancasila merupakan konsep yang netral, apalagi ideologi sekular.
Kenyataan bahwa Pancasila mengandung sila seperti “Ketuhanan Yang Maha Esa,” dan bahwa negara terdiri dari badan-badan yang mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan agama (yakni Departemen Agama) merupakan indikasi kuat bahwa Indonesia tidak didasarkan kepada ideologi sekular. Yang lebih penting lagi, ia percaya bahwa Pancasila mengandung unsur-unsur Islam (meski memang tidak hanya mengandung unsur-unsur itu).
Dalam konteks Pancasila sebagai ideologi negara, mengingat bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang heterogen secara keagamaan, beberapa tokoh kelompok nasionalis memandang Pancasila sebagai suatu kesepakatan bersama. Bagi para politisi PNI dan aktivis Kristen seperti Arnold Mononutu, Pancasila merupakan sebuah sintesis yang memadai bagi berbagai kelompok agama yang berbeda. Jika Islam harus dijadikan dasar negara, yang terutama ia khawatirkan adalah tempat kelompok-kelompok agama lain di kepulauan Nusantara. Bagaimana pun, hal itu mengandung citra diskriminasi konstitusional.
Sementara itu, beberapa kalangan lain tidak menerima gagasan mengenai Islam sebagai dasar negara berdasarkan pertimbangan kemungkinannya untuk dapat diterapkan. Mengingat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia heterogen secara sosial-keagamaan, mereka meragukan bahwa Islam dapat berperan sebagai pandangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat.
Pancasila, betapa pun tidak sempurnanya, telah terbukti dapat menjadi dasar ideologi bersama seluruh masyarakat Indonesia. Kalangan lainnya lagi menolak Islam sebagai dasar negara dengan alasan bahwa mereka khawatir kalau-kalau hukum-hukum Islam akan diterapkan kepada seluruh warga negara Indonesia.
Karena alasan-alasan tersebut, ketika menanggapi pernyataan Mohammad Natsir mengenai posisi Islam vis-a-vis Pancasila, Arnold Mononutu menyatakan: “Dari ideologi Pancasila ke Negara Indonesia berdasar agama Islam, bagi umat Kristen adalah ibarat: melompat dari bumi, yang tenang dan sentosa untuk menjalankan agamanya sebagai manusia Indonesia yang volwaardig, ke ruang kosong vacum, tak bernyawa.
Dengan pendirian yang mutlak-mutlakan tersebut, masuk akal jika kompromi sulit ditemukan. Bahkan ketika kelompok Islam mundur dari tuntutan mereka yang awal untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan hanya menuntut penegasan kembali Piagam Jakarta, konflik tersebut telah terlanjur menyebabkan macetnya sidang-sidang Majelis Konstituante.
Jika dilihat dari perolehan suara mereka dalam pemilih umum, tidak satu pun partai yang memiliki suara yang diperlukan (yakni mayoritas 2/3 suara) untuk menggolkan preferensi-preferensi ideologis mereka. Sementara itu, usul pemerintah untuk kembali ke UUD 1945 tidak mendapat dukungan yang diperlukan.
Semua perkembangan di atas mengakibatkan Presiden Soekarno, dengan dukungan tentara, mengeluarkan dekrit untuk kembali ke UUD 1945. Langkah ini, sebuah strategi yang rupanya telah dicanangkannya sejak lama, memberinya kekuatan eksekutif yang kuat untuk mengontrol negara.
Sekali lagi, kelompok Islam secara simbolik berhasil dikalahkan. Dan di balik kekalahan simbolik tersebut, selama masa Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno, artikulasi legalistik/formalistik gagasan dan praktik politik Islam, terutama gagasan Islam sebagai dasar ideologi negara, mulai menunjukkan implikasi-implikasi bawaannya yang lebih negatif.
Kecuali NU, yang segera menata kembali orientasi politiknya dan menerima Manipol Usdek-nya Soekarno (Ini merupakan manifesto politik yang terdiri dari (1) kembali ke UUD 1945; (2) sosialisme Indonesia; (3) demokrasi terpimpin; (4) ekonomi terpimpin; dan (5) kepribadian Indonesia (Baca B.J. Boland, The Struggle of Islam in Modern Indonesia, hh. 101-102.), kekuatan politik Islam menurun drastis.
Para pemimpin Masyumi khususnya, yang sejak awal diskursus ideologis di Indonesia dipandang sebagai pendukung-pendukung sejati gagasan negara Islam, dijebloskan ke dalam penjara karena oposisi mereka terhadap rezim yang terus berkelanjutan. Dan akhirnya, dengan alasan bahwa beberapa pemimpin utamanya (seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara) ikut terlibat dalam pemberontakan PRRI, Soekarno membubarkan Masyumi pada 1960. Wallahu a’lam bisshawaab.