
Ketua Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Surat Edaran (SEMA) No. 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-umat Berbeda Agama dan Kepercayaan. Sejumlah kalangan menyambut positif terbitnya SEMA itu guna mengakhiri polemik pengesahan pencatatan perkawinan berbeda agama dan kepercayaan melalui pengadilan.
Sebagai negara plural yang terbangun dari keragaman suku, budaya, ras, dan agama. Salah satu sisi pluralisme bangsa Indonesia yang paling mendasar adalah adanya kemajemukan agama yang dianut oleh penduduknya. Agama maupun aliran kepercayaan yang hidup dan berkembang di Indonesia tidaklah tunggal namun beragam. Pemerintah Indonesia telah mengakui enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Selain itu diakui pula aliran kepercayaan atau animisme yang masih hidup dan berkembang di masyarakat.
Jaminan eksistensi agama dan kepercayaan telah diatur Negara dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa :
1.Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Beragam agama dan aliran kepercayaan di Indonesia tidak menutup kemungkinan implikasi terjadinya perkawinan antar pemeluk agama dan aliran kepercayaan. Perkawinan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru dan telah berlangsung sejak lama bagi masyarakat Indonesia yang multikultural. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa kasus perkawinan beda agama tidak menimbulkan permasalahan, bahkan cenderung selalu menuai kontroversi di kalangan masyarakat.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Indonesian Conference On Religion and Peace (ICRP), sejak 2005 hingga awal Maret 2022 sudah ada 1.425 pasangan beda agama menikah di Indonesia.
Bila didefinisikan, Perkawinan beda agama merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang berbeda agama maupun Negara menyebabkan bersatunya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan sesuai hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan yang Maha Esa.
Sejatinya, Indonesia belum memiliki payung hukum yang eksplisit mengatur persoalan perkawinan beda agama yang sangat kompleks. Sehingga selama ini pasangan perkawinan beda agama harus berjuang lebih, baik melalui upaya legal maupun ilegal agar perkawinannya mendapat legalitas di Indonesia.
Beragam upaya yang kerap ditempuh pasangan perkawinan beda agama adalah dengan melakukan perkawinan dua kali dengan ketentuan agama masing-masing pihak, misal di pagi hari melangsungkan akad menurut hukum Islam yang dianut salah satu mempelai, kemudian di hari yang sama juga melangsungkan pemberkatan nikah di gereja menurut hukum agama Kristen yang dianut mempelai yang lain. Namun demikian, upaya ini juga menimbulkan pertanyaan perihal perkawinan manakah yang dikatakan sah. Cara lainnya adalah dalam sementara waktu salah satu pihak berpura-pura pindah agama, namun hal ini sebenarnya juga dilarang oleh Agama mana pun karena dianggap mempermainkan agama. Upaya terakhir yang juga banyak ditempuh adalah dengan melaksanakan pernikahan di luar negeri seperti yang banyak dilakukan oleh publik figur di Indonesia. Namun upaya ini pun juga menimbulkan kontroversi karena dianggap melakukan penyelundupan hukum.
Regulasi Perkawinan Sudah Ada, namun…
Hukum positif di Indonesia telah memberikan payung hukum mengenai perkawinan yang terwujud dalam eksistensi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang telah jelas mengatur bahwa :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
Hal ini berarti suatu perkawinan dapat dikategorikan perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan pasangan yang melangsungkan perkawinan tersebut. Dengan demikian, penentuan boleh tidaknya perkawinan tergantung pada ketentuan agama, karena landasan hukum agama dalam melaksanakan perkawinan merupakan hal yang sangat penting dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974. Apabila hukum agama menyatakan suatu perkawinan tidak sah, begitu pula menurut hukum negara perkawinan tersebut juga tidak sah.
Hanya saja, sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, regulasi terkait perkawinan beda agama telah terjadi suatu konflik hukum. Eksistensi Pasal 35 huruf a Undang-Undang Administrasi Kependudukan telah membuka peluang penetapan perkawinan beda agama yang jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan yang secara implisit mengatur bahwa perkawinan beda agama adalah tidak sah di mata agama dan negara.
Konsekuensi logis atas pertentangan yuridis ini adalah timbulnya peluang disparitas bagi hakim dalam menetapkan permohonan perkawinan beda agama. Terhadap fenomena ini, hakim memiliki pandangan yang berbeda-beda, ada yang menolak mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama, namun di sisi lain ada juga yang mengabulkan permohonan penetapan perkawinan beda agama. Apabila problematik multi tafsir ini terus dibiarkan maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat.
Nasib Kawin Beda Agama Pasca SEMA 2/2023
Sepintas isi dari SEMA 2/2023 hanya terdiri dari dua keterangan. Pertama, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Kedua, Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
Gejolak yang timbul ke permukaan pasca lahirnya SEMA ini seperti asumsi bahwa isinya tidak kompatibel dengan kebinekaan Indonesia dan Pancasila, bentuk kemunduran dalam menjamin hak-hak warga negara dari latar belakang yang beraneka ragam, serta mengekang kebebasan hakim dalam menafsirkan dan mengambil putusan yang seadil-adilnya sesuai dengan proses hukum yang digelar dalam persidangan.
Ada yang perlu diperhatikan oleh para pembaca, SEMA ini tidak mengakhiri atau melarang praktik perkawinan beda agama di Indonesia, akan tetapi mereduksi dan memberi implikasi hukum kepada yang melakukan praktik tersebut. Jika dilihat pada poin dua SEMA tersebut, “Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.” Kalimat yang digaris bawahi tersebut yang akan mempengaruhi implikasi hukum meskipun tanpa norma sekalipun. Karena SEMA sendiri berfungsi sebagai pedoman/petunjuk bagi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang sama. Lebih lanjut SEMA 2/2023 pun menegaskan bahwa Mahkamah agung Indonesia berpendirian kalau praktik kawin beda agama tidak sejalan dengan UU Perkawinan sehingga tidak ada penafsiran lain yang perlu dilakukan oleh Hakim.
Sebenarnya apa yang akan terjadi kepada warga negara Indonesia yang melakukan perkawinan beda agama, ada konsekuensi hukumnya? atau hanya sebatas status “perkawinan tidak tercatat” belaka seperti yang dicantumkan pada UU administrasi Kependudukan.
Penulis mencoba memberi beberapa gambaran sederhana dari kompleksnya persoalan yang akan terjadi pada perkawinan beda agama pasca SEMA 2/2023.
1.Status perkawinan hanya sebatas kawin tidak tercatat, risiko yang dihadapi adalah perkawinan yang telah berlangsung tidak diakui oleh negara.
2.Apabila terjadi kekerasan dalam rumah tangga, UU Pemberantasan Kekerasan Dalam Rumah Tangga tidak dapat menjangkau untuk memberi perlindungan kepada korban karena tidak ada status perkawinan yang sah;
3.Status anak yang lahir dari perkawinan beda agama adalah anak tidak sah atau disebut anak luar kawin. Konsekuensinya adalah anak tersebut hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu dan keluarga ibunya;
4.Apabila terjadi sengketa waris oleh ahli waris dari pasangan beda agama, misalnya pewaris seorang muslim maka prosedur yang harus ditempuh adalah membuktikan terjadinya perkawinan (isbat nikah) pasti ditolak oleh Pengadilan karena tidak terpenuhi rukun dan syarat sah perkawinannya; dan
5.Tidak ada pembenaran dari enam ajaran agama di Indonesia yang membenarkan praktik kawin beda agama sehingga syarat sah dari perkawinan di Indonesia telah gugur dengan sendirinya.
Dengan demikian, Penulis sependapat dan mendukung SEMA tahun 2 Tahun 2023 yang berupaya tanpa norma untuk melawan praktik perkawinan beda agama di Indonesia. Seperti salah satu adagium hukum yang berbunyi “droil n edone, pluis que soit demaunde yang berarti hukum tidak memberi lebih dari yang dibutuhkan.