Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Beberapa bulan yang lalu Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) menuntut kenaikan alokasi dana desa menjadi sekurangnya 10 persen dari APBN. Harapannya untuk meningkatkan kualitas pembangunan di wilayah perdesaan (www.kompas.tv). Mirisnya, di tengah tuntutan kenaikan dana desa, korupsi dana desa justru banyak terjadi. Mengutip laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2022 ada 155 kasus rasuah yang terjadi di sektor ini dengan 252 tersangka sepanjang tahun lalu. Jumlah itu cukup membuat miris, karena angka korupsi dana desa setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022 (www.sekitarbandung.com).
Meski demikian, Badan Legislasi DPR telah menetapkan alokasi dana desa sebesar Rp2 miliar masuk ke dalam Draf Revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, yang sebelumnya hanya Rp1 miliar. Ia beralasan banyak desa yang tentunya membutuhkan anggaran lebih dari Rp2 miliar untuk pembangunannya. Dengan persentase dana desa sebesar 15 persen tentu akan membuat banyak desa mendapatkan anggaran yang lebih dari angka tersebut (republika.co.id).
Tak hanya tuntutan kenaikan anggaran dana desa, revisi Undang-Undang Desa juga menetapkan masa jabatan kepala desa yang pada awalnya satu periode hanya enam tahun, kemudian dinaikkan menjadi sembilan tahun. Aturan ini dipastikan berlaku bagi kepala desa yang sedang menjabat setelah revisi Undang-Undang Desa tersebut disahkan (www.kompas.id).
Padahal masa jabatan yang pajang tentu akan berisiko terhadap meningkatnya korupsi. Sebagaimana diketahui bahwa kebijakan otonomi daerah yang memberi kewenangan kepada daerah hingga tingkat desa untuk melakukan pembangunan ditujukan untuk pemerataan pembangunan infrastruktur dan pendidikan. Selain itu, dana desa yang besar diharapkan mempercepat laju perputaran ekonomi di akar rumput karena sektor riil akan berputar di pedesaan sehingga kesejahteraan masyarakat desa diharapkan mengalami peningkatan.
Sayangnya, korupsi dana desa masih banyak terjadi. Hal ini tidak lepas dari lahirnya pemimpin-pemimpin yang tidak amanah dan nilai-nilai rusak yang lahir dari sistem politik demokrasi itu sendiri. Apalagi sistem politik demokrasi adalah sistem politik berbiaya mahal, alhasil setiap individu yang berupaya meraih tampuk kekuasaan harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Sementara gaji yang akan mereka peroleh ketika berkuasa tidaklah sebanding dengan modal yang dikeluarkan saat pemilu. Maka wajar upaya balik modal harus dilakukan saat menjabat. Dan satu-satunya jalan termudah dan tercepat adalah korupsi.
Ditambah lagi cara pandang hidup yang dibangun oleh sistem kapitalisme liberal saat ini hanya berputar pada urusan materi. Sistem ini telah mengarahkan manusia untuk mengejar materi berupa harta, kedudukan, dan kenikmatan jasadiyah sebesar-besarnya. Tak heran ditemukan kepala desa yang melakukan korupsi hanya untuk bersenang-senang. Diperparah lagi dengan lemahnya sistem sanksi bagi pelaku korupsi membuat para koruptor dan calon koruptor tidak merasakan efek jera. Oleh karena itu, korupsi mustahil diberantas selama sistem yang bercokol adalah sistem demokrasi kapitalisme.
Otonomi daerah yang bertujuan menyejahterakan rakyat di daerah, ternyata telah dimanfaatkan oleh para kepala daerah untuk kepentingan kekuasaan. Meraih harta sebanyak-banyaknya. Jangan kaget jika korupsi kian menjadi. Kini korupsi telah menyebar sampai ke tingkat kepala desa. Begitu pula dengan pejabat pemerintahan maupun anggota DPR banyak terlibat korupsi.
Hanya sistem Islam yang memiliki mekanisme jitu untuk mencegah dan memberantas korupsi hingga akarnya. Ada beberapa aturan yang diterapkan negara Islam atau Khilafah untuk mencegah dan memberantas korupsi.
Pertama, ketakwaan individu. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Karenanya mereka memiliki self control yang kuat. Seorang Muslim akan menganggap bahwa jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan benar, karena akan dimintai pertanggung jawaban di dunia dan akhirat.
Kedua, Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al Amwal fi Daulah Khilafah menyebutkan untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak maka ada pengawasan yang ketat dari Badan Pengawasan/ Pemeriksa Keuangan. Karena itu calon pejabat atau pegawai negara akan dihitung harta kekayaannya sebelum menjabat, selanjutnya saat menjabat pun selalu dihitung dan dicatat harta kekayaan dan penambahannya. Jika ada penambahan yang meragukan maka akan dilakukan verifikasi apakah penambahan hartanya itu secara syar’i atau tidak. Jika terbukti dia melakukan kecurangan atau korupsi, maka harta akan disita dimasukkan ke dalam kas negara dan pejabat/pegawai tersebut akan diproses hukum.
Ketiga, gaji yang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Negara Khilafah memberikan gaji yang cukup kepada pejabat atau pegawainya. Gaji mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan asasiyah dan kamaliyahnya. Di samping itu, dalam pemerintahan Islam biaya hidup murah karena politik ekonomi Islam menjamin terpenuhinya kebutuhan seluruh rakyat. Kebutuhan kolektif akan digratiskan oleh pemerintah seperti pendidikan, keamanan, kesehatan, dan transportasi. Sedangkan kebutuhan pokok yaitu sandang, pangan, dan papan bisa diperoleh dengan harga yang murah.
Keempat, diberlakukannya seperangkat hukum pidana yang tegas. Hal ini bertujuan untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku dan pencegah bagi calon pelaku. Sistem sanksi yang berlaku bagi koruptor adalah ta’zir karena merugikan negara dan hudud karena mencuri harta negara. Inilah cara yang dilakukan oleh Khilafah Islam untuk memberantas korupsi. Semua ini tidak lepas dari penerapan aturan Islam kaffah yang membawa keberkahan.
Dalam Islam, hukum itu secara prinsip dibersihkan dari kepentingan para elite pembuatnya. Dalam sistem Islam yang berhak membuat dan menentukan hukum hanyalah Allah SWT. Lihatlah keagungan hukum syariah yang terkait ekonomi, politik, sosial, pidana, dan sebagainya. Semua hukum syariah tersebut melindungi kepentingan manusia secara adil dan menyeluruh. Karenanya, siapa pun yang berakal sehat tentu akan mengakui ketinggian hukum syariah.[]