JAKARTA – Industri penerbangan di Indonesia disebut dimonopoli oleh satu grup maskapai yang menguasai sekitar 60 persen pasar dalam negeri.
Pengamat menilai, alih-alih mengatur, pemerintah justru seakan memberikan dukungannya.
Pengamat Penerbangan dan Analis Independen Bisnis Penerbangan Nasional Gatot Rahardjo menilai pasar penerbangan Indonesia sudah masuk pada fase monopoli. Sementara, pemerintah memberikan jalan cukup mulus bagi maskapai ini.
“Alih-alih mengendalikan agar tidak terjadi monopoli di penerbangan, pemerintah justru seperti merestuinya,” kata dia dalam keterangannya, Senin.
Gatot mengamini ada satu group maskapai yang mempunyai kekuatan armada, jumlah rute dan jaringan serta pangsa pasar dan jumlah penumpang yang sudah lebih dari 60 persen pangsa pasar nasional. Bahkan Kemenhub masih memberikan izin untuk adanya penambagan maskapai baru lagi.
“Apakah maskapai tersebut salah? Tidak. Karena tidak ada aturan yang dilanggarnya. Bahkan ketika group tersebut mengajukan proposal untuk membuat maskapai baru lagi, tetap diizinkan oleh Kementerian Perhubungan, sehingga kekuatannya menjadi lebih besar,” terangnya. “Ibaratnya, saat ini secara de facto terjadi monopoli, tetapi secara de jure tidak,” tambah Gatot.
Ia menjelaskan dalam kondisi monopoli, pasar tentu akan diatur oleh kelompok perusahaan yany dominan. Jika yang memonopoli perusahaan pemerintah atau BUMN, masih bisa dimengerti karena kebijakan perusahaan akan tetap bisa dievaluasi oleh pemerintah.
“Tapi kalau yang monopoli swasta, tentu pemerintah tidak bisa mengendalikannya. Jika pemerintah memaksa, bisa saja maskapai tersebut menghentikan operasinya. Kalau ini terjadi, barulah akan benar-benar terjadi kiamat di penerbangan nasional karena lebih dari 60 persen suplai penerbangan akan hilang,” tuturnya.
Ia menuturkan aturan yang dimaksud melanggengkan praktik monopoli di industri penerbangan tadi. Yakni, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perhubungan no. PM 35 tahun 2021 menggantikan Keputusan Menteri Perhubungan no. KM 25 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara.
Pada KM 25/ 2008, dalam hal penambahan kapasitas dan frekuensi penerbangan di satu rute, baru bisa dilakukan jika LF (keterisian) rata-rata maskapai sudah tinggi dan penambahan kapasitas atau frekuensi tidak boleh menyebabkan LF turun.
Misalnya, untuk rute utama dengan tingkat kepadatan sangat padat dan dilayani oleh lebih dari satu maskapai seperti Jakarta-Medan, penambahan kapasitas dan frekuensi penerbangan baru dapat dilakukan bila LF rata-rata sudah mencapai 80 persem selama 6 bulan. Penambahan kapasitas dan frekuensi itu juga tidak boleh menyebabkan LF menjadi lebih rendah dari 70 persen.
“Pada PM 35/ 2021, aturan tersebut dihapus. Dengan demikian setiap maskapai boleh saja menambah kapasitas dan frekuensi penerbangan ke satu rute, tanpa memperhatikan kondisi pasar dan kondisi maskapai lain,” katanya. lp6/mb06