
Oleh: Mahrita Nazaria, S.Pd (Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah)
Belakangan ini pelecehan seksual menjadi perbincangan hangat di dunia pendidikan tepatnya ditempat anak-anak generasi bersekolah, tentu ini mengundang banyak kekhawatiran masyarakat.
Tim Opsnal Macan Resta Banjarmasin bersama Resmob Polda Kalsel Subdit 3 Dit Krimum Polda Kalimantan Selatan (Kalsel) menangkap seorang pelaku pencabulan anak di bawah umur yang terjadi di sebuah Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) Kota Banjarmasin. Terbaru, pihak kepolisian mengungkapkan ada 7 anak laki laki di bawah umur yang menjadi korban pelecehan seksual dari RMS (30) Warga Kelurahan Sungai Andai, Kecamatan Banjarmasin Utara sebagai guru pendamping ekskul di sekolah tersebut atau status guru P3K. (klikkalsel.com)
Di kota lain, kuasa hukum SMK Kalideres, Dennis Wibowo, menyebut ada 40 siswi yang mengaku mengalami dugaan pelecehan oleh oknum guru berinisial O di sekolah tersebut. Dennis mengatakan ara siswi itu mengaku dilecehkan dengan cara memegang pundak, salaman yang lama, dan mengelus pinggul. Guru berinisial O yang diduga melakukan pelecehan pun telah mengakui perbuatannya. (kompas.com)
Kasus serupa juga dilakukan oleh seorang guru Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK) di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Doreng, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), tega melakukan perbuatan keji mencabuli delapan pelajar yang menjadi anak didiknya. Aksi bejat guru olahraga ini diketahui telah berlangsung sejak korban berada di kelas 1 SD. Korban berjumlah delapan dengan usia 8-13 tahun. (tirto.id)
Jika kita telisik, ada banyak aspek yang menjadikan kasus pelecehan seksual terhadap anak makin parah.
Pertama adalah aspek sanksi yang tidak menjerakan. Berdasarkan UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak, setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul. Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar (Kompas, 6-1-2022).
Ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak tidak sampai hukuman mati, melainkan hanya dipenjara, bahkan realisasinya bisa sangat ringan. Banyak kasus menguap begitu saja jika publik tidak mengawal ketat.
Hanya dengan modus pemberian sejumlah uang terhadap keluarga untuk berdamai, kasus bisa “hilang” tanpa penyelesaian secara hukum. Hal ini menjadikan tidak adanya efek jera bagi pelaku dan selanjutnya ia maupun orang lain enteng saja melakukan kejahatan serupa karena tidak takut terhadap ancaman hukumannya.
Aspek kedua, masih terdapat perbedaan persepsi di antara para aparat terkait definisi kasus. Perbedaan definisi kasus di antara para aparat ini bisa menjadi kesalahan fatal karena terkait penentuan hukuman bagi pelaku. Lantas, kalau definisinya saja berbeda, bagaimana keadilan hukum bisa terwujud?
Ketiga, buruknya pengaturan media massa. Pornografi-pornoaksi banyak bergentayangan di internet. Siapa pun mudah saja mengakses konten porno melalui ponselnya.
Keempat adalah buruknya sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan kita begitu jauh dari agama (sekuler) sehingga output-nya adalah orang-orang yang mengabaikan agama. Mereka tidak peduli halal-haram, juga tidak takut neraka, apalagi mau merindukan surga. Mereka merasa bebas berbuat apa saja tanpa peduli terhadap syariat. Akibatnya, terwujudlah masyarakat liberal sehingga memunculkan beraneka macam tindak kejahatan.
Anak-anak pun tidak luput dari keburukan sistem ini. Mereka menjadi korban dari kerusakan sistem sekuler liberal yang diterapkan. Selama negeri ini menerapkan sistem sekuler, selama itu pula akan terus ada yang menjadi korban kejahatan atau pelecehan seksual, termasuk remaja dan anak-anak.
Kondisi ini jelas tidak boleh dibiarkan. Harus ada tindakan konkret untuk memutus rantai kejahatan, yaitu dengan menerapkan sistem Islam di seluruh aspek kehidupan. Sistem Islam berasaskan akidah Islam sehingga keimanan dan ketakwaan menjadi dasar penyelesaian setiap masalah.
Sistem pendidikan Islam akan mewujudkan pribadi bertakwa sehingga tidak akan mudah bermaksiat. Sistem pergaulan Islam memisahkan antara kehidupan laki-laki dan perempuan, kecuali ada keperluan yang dibenarkan hukum syara’. Tidak akan terjadi interaksi khusus antara laki-laki dan perempuan non-mahram selain dalam ikatan pernikahan.
Sistem media massa dalam Islam mencegah adanya konten pornografi-pornoaksi sehingga tidak ada rangsangan yang bisa mendorong terjadinya pelecehan seksual.
Pelaksanaan semua sistem tersebut akan mencegah terjadinya kejahatan atau pelecehan seksual, termasuk terhadap anak. Jika terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah.
Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari-Muslim, pada suatu waktu, ada seorang laki-laki yang mendatangi Rasulullah saw.. Laki-laki itu berseru, “Wahai Rasulullah, saya telah berzina.” Rasulullah saw. berpaling tidak mau melihat laki-laki itu hingga laki-laki itu mengulang ucapannya sebanyak empat kali. Nabi pun memanggilnya dan berkata, “Apakah kamu gila?” Laki-laki itu mengatakan tidak. “Apakah kamu sudah menikah?” Ia mengatakan iya. Kemudian Nabi saw. bersabda kepada para sahabat, “Bawalah orang ini dan rajamlah ia.”
Dalam QS An-Nur: ayat 2, Allah Taala berfirman, “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera.” Inilah hukuman bagi pelaku zina yang belum menikah.
Adapun perkosaan atau rudapaksa (ightisabh) bukanlah hanya soal zina, melainkan sampai melakukan pemaksaan atau ikrah yang perlu dijatuhi sanksi tersendiri. Imam Ibnu Abdil Barr dalam kitab Al-Istidzkar menyatakan, “Sesungguhnya, hakim atau qhadi dapat menjatuhkan hukuman kepada pemerkosa dan menetapkan takzir kepadanya dengan suatu hukuman atau sanksi yang dapat membuat jera untuknya dan orang-orang yang semisalnya.”
Hukuman takzir ini dilakukan sebelum penerapan sanksi rajam. Adapun ragam takzir dijelaskan dalam kitab Nizhamul Uqubat, yaitu bahwa ada 15 macam takzir, di antaranya adalah dera dan pengasingan.
Demikianlah, hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh dalam sebuah institusi Negara, kejahatan ataupun pelecehan seksual terhadap anak bisa tercegah dan tersolusi hingga ke akarnya.

