Oleh : Helda Wati, S.Pd (Pendidik di Batola)
Perhelatan akbar, pilkada serentak setanah air segera digelar. Turut serta mewarnai kancah perpolitikan adalah munculnya para perempuan untuk turut berkompetisi memperebutkan gelar no satu di daerahnya. Termasuk di banua tercinta ini.
Di alam demokrasi memang tidak masalah kalau perempuan menjadi pemimpin. Bahkan Indonesia pernah di pimpin oleh seorang perempuan. Mengenai kemunculan figur perempuan dalam event politik 5 tahunan, akademisi FISIP ULM, Prof Bachrudin Ali Akhmad menilai ketika figur tersebut memiliki kredibilitas, apalagi tak pernah memiliki rekam jejak kriminal, maka peluangnya pun besar. “Selain itu, figur perempuan ini harus memiliki kemampuan, keahlian, dan pengalaman yang nantinya untuk dijual (radarbanjarmasin.jawapos.com).
Dalam lebih dari satu dekade ini memang kemunculan perempuan dalam kancah perpolitikan semakin meningkat. Pemenuhan kuota 30% untuk perempuan di lembaga legislatif dan eksekutif membuat perempuan dan partai politik seakan berlomba untuk memenuhinya. Ini seoleh menjadi harapan baru dalam pengentasan masalah isu perempuan seperti kemiskinan, kekerasan, kesehatan reproduksi dll.
Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kalsel, Nadaa Salsabil mengatakan kehadiran politisi perempuan dapat membawa perspektif dan pengalaman baru yang dapat memperkaya diskusi kebijakan publik. “Jika kelak kita dipimpin perempuan, saya bisa berharap untuk kebijakan yang lebih fokus pada isu-isu penting bagi perempuan. “Saya juga berharap adanya peningkatan partisipasi perempuan dalam semua aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Terwujudnya masyarakat yang lebih adil dan inklusif,” (radarbanjarmasin.jawapos.com).
Namun tentunya kita kita perlu mempertanyakan harapan tadi, apakah iya masuknya para perempuan mewarnai pemerintahan akan mampu mengentaskan permasalahan perempuan? Apakah ada korelasinya?
Karena kita melihat, setiap kontestan dalam pilkada tentu ada oligarki di belakangnya. Biaya demokrasi yang mahal memang meniscayakan ketergantungan para calon kepada pengusaha dan pemilik modal. Ketika menjabat, baik pemimpin laki-laki maupun perempuan akan terrsandera kebijakannya oleh kepentingan oligarki. Belum lagi adanya isu politik dinasti, semakin memperparah kiprah perempuan di pemerintahan.
Demikianlah, masalah perempuan hanya bisa dimengerti oleh perempuan dan hanya bisa diselesaikan oleh perempuan seolah menjadi mantra sakti menarik perempuan untuk keluar meninggalkan tugas domestiknya di rumah. Pada akhirnya nelangsa yang didapat karena menjadi korban eksploitasi politik oligarki dan politik dinasti.
Secara jernih kita akan melihat bahwa persoalan perempuan hari ini bukan karena adanya nya bias gender sehingga perempuan harus menyelesaikan persoalnnya sendiri. Persoalan ini semuanya adalah buah penerapan sistem kapitalis sekuler dimana pemerintahnya bekerja untuk kepentingan para pemilik modal bukan untuk melayani kepentingan rakyatnya termasuk perempuan.
