Oleh: Jalidah, S.Pd (Guru di Batola)
Seorang siswa MAN 1 di Medan dianiaya dan disiksa teman dan alumni sekolahnya. Aksi ini dilatarbelakangi oleh penolakan korban yang tidak mau masuk geng motor. Di Jakarta, 12 siswa kelas X SMAN 26 Jakarta menjadi korban bullying kakak kelasnya. Salah satu korban dalam kasus ini, yaitu siswa berinisial AF (16), tubuhnya lebam hingga kemaluannya terluka akibat dianiaya belasan kakak kelas.Di Sukabumi, seorang siswa SD diduga di-bully teman sekolahnya. Di Bekasi, siswa SD korban bullying bahkan berakhir meregang nyawa.
Berbagai kasus bullying di kalangan pelajar kita, tidaklah muncul begitu saja. Ada faktor yang memengaruhinya, salah satunya sistem kehidupan sekuler. Dalam sistem sekuler, kurikulum yang dibangun tidak menempatkan penanaman akidah Islam sebagai basis membentuk kepribadian anak. Akibatnya, lahirlah generasi yang miskin akidah, adab, dan jauh dari aturan agama. Sekularisme ini telah menyemai setidaknya dalam tiga ruang hidup tempat generasi tumbuh.
Pertama, keluarga sebagai pendidikan pertama bagi anak-anak. Banyak orang tua yang lalai menanamkan keimanan dan ketaatan kepada Allah Taala. Akibatnya, anak tidak memiliki contoh dan keteladanan sikap yang baik kepada sesama dan orang lain. Lihat saja kondisi generasi kita yang sangat jauh dari adab mulia. Sekularisme juga telah menjauhkan mereka dari fondasi dan aturan Islam. Generasi tumbuh dengan nilai-nilai sekuler yang hanya mementingkan materi. Kehidupan liberal dan hedonistik menjadi kiblat mereka dalam berperilaku.
Kedua, lingkungan menjadi tempat paling mudah memengaruhi generasi. Lingkungan hari ini juga terbentuk dari nilai sekuler. Yang baik bisa menjadi buruk lantaran terpengaruh lingkungan sekitar. Budaya amar makruf nahi mungkar hampir tidak terlihat dalam masyarakat sekuler. Individualis, egois, dan apatis, beginilah masyarakat yang terbentuk dalam sistem sekuler kapitalistik.
Ketiga, nihilnya peran negara menjaga generasi dari kerusakan yang dapat kita lihat dari tiga indikator.
Pertama, mandulnya perangkat hukum. Sudah banyak produk hukum yang diregulasi dalam rangka mencegah dan menangani kasus bullying, seperti UU Perlindungan Anak. Namun, perangkat hukum ini seperti tidak mempan mencegah bullying yang terus berulang.
Kedua, kurikulum yang selama ini diterapkan telah gagal mewujudkan generasi saleh dan salihah. Kurikulum hari ini sarat dengan nilai-nilai sekuler. Sekolah hanya dianggap sebagai tempat meraih prestasi akademik, tetapi kering dengan prestasi spiritual. Meski banyak berdiri sekolah agama, faktanya tidak mampu membendung gempuran sistem sekuler yang telah mengakar lama. Akhirnya, perilaku generasi rusak dan mereka kehilangan jati dirinya.
Ketiga, kegagalan negara dalam membendung segala tontonan yang merusak generasi. Betapa banyak tontonan tidak layak yang bertebaran di media sosial maupun visual, bahkan diproduksi massal lewat film-film remaja bertemakan cinta, persaingan, permusuhan, dan sebagainya. Alhasil, tontonan mereka berubah menjadi tuntunan. Dari sinilah pengawasan orang tua bisa saja longgar. Pengguna gawai yang kebablasan akhirnya membuat generasi mendapat informasi yang mungkin tidak seharusnya mereka terima pada usia yang masih labil.
Ketiga komponen tersebut harus saling bersinergi dan sinergisitas ini hanya akan terwujud tatkala negara melakukan perannya dengan baik. Sebagaimana dahulu saat Islam diterapkan, tatanan kehidupan masyarakat benar-benar teratur dan berhasil mewujudkan individu dan masyarakat berbudi luhur.