oleh :Zahra Kamila (HST)
Hak Asasi Manusia ( HAM) yang merupakan anak kandung dari ideologi sekuler -kapitalisme terus dipuja-puja sebagai gagasan sempurna tanpa cela. Di mana-mana HAM dikumandangkan oleh para pemujanya sebagai ide brilian yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah HAM telah meninggalkan jejak-jejak kotor, penuh noda dan berlumur darah. Empat ide dasar HAM: (1) kebebasan beragama, (2) kebebasan berpendapat, (3) kebebasan kepemilikan dan (4) kebebasan berekpresi atau bertingkah laku nyatanya hanya fatamorgana, tidak realistis, baik teori maupun tataran praktis, tidak memberikan jaminan kebebasan hakiki, kesejahteraan dan keadilan sebagaimana digembar-gemborkan.
1. Kebebasan beragama
Setiap manusia memang membutuhkan agama karena mereka dengan kelemahannya selalu mencari siapapun yang layak diagungkan dan disucikan sebagai Tuhannya. Namun, setiap negara selalu memiliki batasan atas agama apa saja yang diakui. Bahkan di negara liberal sekalipun. Sekte-sekte sesat diharamkan dan diberangus. Senyatanya beragama itu tetap ada dalam batasan, tidak bebas sama sekali.
Ironisnya, ketika agama itu mengacak -ngacak Islam, barulah para pembela HAM segera membela. Itu sebagai wujud kebebasan beragama. Contohnya dalam kasus mencuatnya berbagai aliran sesat di Tanah Air seperti Ahmadiyah, Al-Qiyadah al- Islamiyah, dll.
Lantas, jika kebebasan beragama dimaknai sebagai “pemeluk agama bebas menjalankan ajaran agamanya” , maka di manakah letak kebebasan itu bagi umat Islam? Sekalipun agama resmi diakui suatu negara dan dianut mayoritas, jika agama itu adalah Islam, maka agama itu akan dikungkung hanya dalam wilayah ibadah ritual. Perintah -perintah agama Islam yang lain dikebiri, seperti penerapan hukum Islam, ekonomi Islam, dan lain-lain. Bahkan berjilbab ke sekolah saja dilarang di berbagai negara. Dengan demikian, ide kebebasan agama adalah tipuan semata.
2. Kebebasan berpendapat.
Di negara yang katanya menerapkan sistem demokrasi, terbukti orang tidak bebas berpendapat, kecuali sejalan dengan ide penguasa yang notabene pelaksana ideologi sekuler -kapitalisme. Jika pendapat yang keluar bertentangan dengan pendapat penguasa, serta -merta pengusungnya akan dituduh subversif. Apalagi jika pendapat yang terlontar itu adalah pendapat Islam.
Ironisnya, jika pendapat itu keluar untuk menyakiti Islam, para pendekar HAM segera berteriak lantang: itu adalah wujud kebebasan berpendapat. Gagasan -gagasan yang diusung jaringan Islam Liberal ( JIL) yang jelas -jelas menjungkirbalikkan ajaran Islam, misalnya, dianggap sebagai wujud kebebasan berpendapat. Sungguh absurd!
3. Kebebasan kepemilikan.
Dalam konsepnya, setiap individu harus dijamin kebutuhannya, terutama kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan. Nah, untuk memenuhi itu, setiap individu dibebaskan memiliki apapun sekehendak hatinya. Hanya dengan cara itu kesejahteraan seluruh rakyat akan terwujud. Benarkah?
Jelas tidak benar. Ide kebebasan kepemilikan yang melahirkan konsep ekonomi kapitalis justru menyengsarakan rakyat. Akibat konsep ekonomi yang mengukur kesejahteraan dari pendapatan perkapita ( GNP), pemerintah hanya mengejar tingginya GNP tanpa diikuti penyebaran pendapatan tersebut.
Penerapan sistem perbankan ribawi menyebabkan pertumbuhan sektor real terhambat sehingga lapangan kerja sempit dan rakyat kesulitan mendapatkan sumber nafkah. Lalu adanya pasar modal/saham/valas sangat berpotensi terjadi spekulasi, orang -orang tertentu ( para kapital) mampu mempermainkan sistem seenak perutnya sehingga berdampak pada roda perekonomian. Inilah yang menyebabkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.
4. Kebebasan berekspresi dan bertingkah laku.
Gagasan ini telah meracuni umat manusia menuju proses dehumanisasi, seperti merebaknya pornografi dan pornoaksi, homoseksualisme/lesbianisme, seks bebas, perselingkuhan, aborsi, dan lain-lain. Dampak semua itu adalah kerusakan moral dan rusaknya tatanan kehidupan sosial. Lagipula, kebebasan berekpresi dan bertingkah laku itu hanya berlaku bagi pengusung liberalisme, tidak bagi Islam. Ketika seorang kafir menghina Rasulullah SAW, melalui karikatur, film, artikel dan lain-lain, serta merta dikatakan itu kebebasan berekpresi. Namun, ketika mayoritas masyarakat menghendaki pemberantasan pornografi yang jelas -jelas merusak generasi, sontak ditentang habis-habisan karena dianggap mengebiri hak berekspresi. Ketika seorang kiai berpoligami, langsung ‘ dihabisi ‘ sebagai melanggar hak asasi perempuan. Namun , perselingkuhan yang menelikung seorang perempuan dianggap kebebasan bertingkah laku. Sungguh paradoks yang tidak ada ujung pangkalnya.
Demikianlah, telah nyata bahwa prinsip -prinsip HAM merupakan ide khayali yang mustahil terwujud di muka bumi. Kalau idenya saja tidak realistis, sungguh naif jika HAM masih diyakini sebagai mukjizat yang akan menghantarkan manusia pada kebahagiaan.