
JAKARTA – Center of Economic and Law Studies (Celios) menyoroti stok Cadangan Beras Pemerintah (CBP) per akhir Mei 2025 yang tembus hingga 4 juta ton, tertinggi dalam statistik nasional. Namun, catatan tersebut belum mampu membuat harga beras merata di tingkat nasional, dan jadi penyumbang inflasi terbesar.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2025 mengumumkan, beras menjadi komoditas dominan penyumbang inflasi (0,04 persen). Adapun inflasi tahunan Juni 2025 mencapai 1,87 persen, dengan Indeks HargaKonsumen (IHK) sebesar 108,27.
“Surplus beras tertinggi, bersamaan dengan andil besarnya komoditas ini terhadap inflasi merupakan sebuah anomali. Terlebih lagi, inflasi yoy tertinggi sebesar 3,00 persen berada di Papua Selatan, tempat di mana proyek food estate tengah dikembangkan,” kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira, dikutip Selasa.
Bhima menyampaikan, rata-rata harga beras berbagai kualitas di Indonesia Timur (Zona 3, yang meliputi Maluku dan Papua) sebesar Rp 19.634 per kg pada pekan pertama Juni. Harga ini jauh melebihi harga eceran tertinggi (HET) Zona 3 yang sudah ditetapkan sebesar Rp 13.500-15.800 per kg.
Harga tertinggi di zona ini adalah Kabupaten Intan Jaya Rp 54.772 pr kg, Kabupaten Puncak Rp 45.000 per kg, dan Kabupaten Pegunungan Bintang Rp 40.000 per kg pada medio Juni 2025.
Bhima menilai, ketimpangan pasokan dengan lonjakan harga di zona tertentu menunjukkan proses kebijakan distribusi yang tidak merata dan rantai pasok yang tidak efisien. Hal ini salah satunya ditengarai oleh tercecernya gabah kering atau beras selama proses distribusi yang panjang.
Neraca Bahan Makanan (NBM) BPS tahun 2018-2020 menunjukkan penyusutan kuantitas gabah karena tercecer sebesar 4,92 persen dari total produksi.
Selain masalah rantai logistik, Direktur Studi Sosio-Bioekonomi Celios Fiorentina Refani mengungkapkan, ketimpangan harga beras di daerah timur terkait dengan kebijakan yang seolah menciptakan ketergantungan pangan masyarakat timur terhadap beras.
Ditambah dengan faktor konversi lahan masif untuk industri ekstraktif, ini akan semakin mengekspos masyarakat di Maluku-Papua terhadap potensi kerentanan pangan.
“Soal ketimpangan pangan ini coba kita lihat saja Maluku Utara yang akhi-akhir ini jadi spotlight publik karena ekspansi tambang dan smelter nikel. Di 2022 total ada 108 izin usaha pertambangan (IUP) dengan cakupan wilayah mencapai 637.370 hektar atau seperlima luas wilayah provinsi tersebut. Belum lagi menghitung konsesi yang dikeluarkan dari 2022-2025 kan,” bebernya. lp6/mb06