
JAKARTA – Dalam dunia kebijakan publik, mencabut atau mengganti sebuah regulasi bisa jadi perkara mudah. Namun, membangun regulasi yang kokoh, berkelanjutan, dan mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat adalah tantangan yang jauh lebih kompleks.
Dibutuhkan kematangan berpikir, empati sosial, dan konsistensi hukum dari para penyusun kebijakan.
Sebab, regulasi bukan sekadar tumpukan bab, pasal, dan ayat tetapi merupakan cermin dari niat dan kemampuan negara dalam menyelesaikan persoalan rakyat.
Dalam literatur tata kelola pemerintahan, regulasi didefinisikan sebagai perangkat hukum yang disusun untuk mengatur aktivitas tertentu, baik dalam ruang ekonomi, sosial, maupun politik.
Regulasi dibentuk bukan hanya untuk menata, tetapi juga melindungi. Di sektor pangan, regulasi bisa menyangkut hajat hidup petani, pengusaha, konsumen, hingga stabilitas negara. Oleh karena itu, kehadirannya tak boleh sembrono atau bersifat eksperimental.
Dalam beberapa waktu terakhir ini, perhatian publik tertuju pada dinamika perubahan regulasi harga pembelian gabah dan beras oleh pemerintah.
Tepatnya, kisruh terkait Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Perkabadan) Nomor 2 Tahun 2025 yang ditetapkan pada awal Januari, namun kemudian direvisi lewat Keputusan Kepala Bapanas Nomor 14 Tahun 2025 kurang dari sebulan setelahnya.
Ini menimbulkan kegaduhan dan tanda tanya di kalangan petani, pelaku pasar, serta pemerhati kebijakan publik.
Mengapa sebuah peraturan penting yang menyangkut kesejahteraan petani bisa dicabut begitu cepat? Apakah ada kekeliruan dalam penyusunannya? Atau memang ada ketidaksiapan dalam memprediksi dampaknya di lapangan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut menggiring pada isu yang lebih besar terkait kualitas proses legislasi teknis di tingkat kementerian atau badan.
Dalam banyak kasus, kajian akademik dan partisipasi publik dalam proses perumusan membuat regulasi menjadi hal yang sudah saatnya diperkuat di negeri ini.
Dalam hal ini, lampiran Perkabadan Nomor 2/2025 yang mencantumkan syarat kadar air dan kadar hampa gabah, serta berpotensi menurunkan harga beli, jelas menimbulkan kegelisahan.
Petani khawatir, hasil panen mereka akan dibeli di bawah harga Rp6.500 per kilogram hanya karena kadar air tak sesuai spesifikasi. Padahal, kondisi cuaca dan infrastruktur pengeringan di desa tidak selalu memadai.
Beruntung, respons cepat muncul melalui Keputusan Kepala Bapanas Nomor 14/2025. Pemerintah menghapus Lampiran I huruf A dan Lampiran II dari aturan sebelumnya, sekaligus menetapkan kebijakan “satu harga gabah” di tingkat petani sebesar Rp6.500 per kilogram, tanpa membedakan kadar air maupun kadar hampa.
Dari sisi teknokrasi, kebijakan ini memberi kepastian harga dan perlindungan kepada petani saat panen raya berlangsung. Petani tidak lagi dibebani risiko penurunan harga karena syarat teknis yang seringkali tak sepenuhnya mereka kuasai atau mampu penuhi. ant/mb06