
Oleh: Jummy (Aktivis Mahasiswa)
Krisis kemanusiaan yang melanda Palestina, khususnya Jalur Gaza, telah memasuki babak tragis yang nyaris tak terkatakan. Dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir, serangan militer Israel yang bersifat destruktif-total telah menewaskan lebih dari 33.000 jiwa—angka yang tak hanya mencerminkan skala kekerasan, tetapi juga memperlihatkan kegagalan moral komunitas internasional dalam menjaga standar kemanusiaan paling dasar. Reruntuhan rumah sakit, tenda pengungsian yang tak layak, dan tubuh anak-anak tak bernyawa menjadi saksi bisu akan bagaimana nyawa manusia hari ini dikalkulasi berdasarkan keuntungan politik dan aliansi geopolitik, bukan berdasarkan prinsip keadilan universal.
Sistem Global dan Ketimpangan Narasi
Konflik Palestina bukan sekadar perseteruan dua negara atas tanah sengketa; ia adalah produk struktural dari ketimpangan sistem internasional yang dibangun atas asas sekularisme global. Dunia barat yang selama ini mengklaim diri sebagai penjaga nilai-nilai hak asasi manusia, justru tampil sebagai pelindung utama rezim penjajah. Seruan atas “hak membela diri” Israel digaungkan berulang kali, bahkan ketika dunia menyaksikan bagaimana rumah sakit dibom, anak-anak dibantai, dan infrastruktur sipil dihancurkan secara sistematis.
Media arus utama juga turut andil dalam mereproduksi narasi yang timpang—yang mengaburkan konteks kolonialisme, menghapus jejak genosida, dan mereduksi tragedi Palestina sebagai sekadar benturan antar faksi. Dalam lanskap global hari ini, keadilan tak lagi bersumber dari moralitas, tapi dari siapa yang memegang kendali atas ekonomi dan militer.
Diplomasi Simbolisme dan Ketidakberdayaan Struktural
Sejumlah negara memang telah mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, dan beberapa resolusi PBB pun telah dirilis. Namun, semua ini tak pernah cukup untuk menghentikan penjajahan yang dilakukan secara terang-terangan. Resolusi demi resolusi terus diveto oleh kekuatan hegemonik seperti Amerika Serikat, membuktikan bahwa lembaga internasional yang digadang-gadang sebagai benteng perdamaian dunia sesungguhnya adalah panggung sandiwara politik yang dikendalikan oleh aktor-aktor dominan.
Diplomasi formal yang seharusnya menjadi alat penghenti perang justru mengalami impotensi permanen. Paradoks ini memperjelas satu hal: sistem internasional tak pernah dibangun untuk mengakhiri penjajahan, melainkan untuk merawatnya dalam bentuk yang lebih tersembunyi dan bisa dinegosiasikan.
Solidaritas yang Tak Terinstitusikan
Lebih menyakitkan lagi, diamnya dunia Islam—dalam arti negara-negara berpenduduk Muslim—menambah lapisan ironi dalam tragedi ini. Dengan jumlah penduduk lebih dari 1,8 miliar, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, dan potensi militer yang menggentarkan, umat Islam di seluruh dunia justru terpecah oleh batas nasionalisme artifisial, aliansi politik yang transaksional, dan ketergantungan ekonomi pada kekuatan penjajah itu sendiri.
Normalisasi hubungan dengan Israel atas nama stabilitas ekonomi dan investasi memperlihatkan bahwa dalam sistem kapitalisme global, loyalitas tidak ditentukan oleh nilai kebenaran, tapi oleh daya tawar dan kepentingan jangka pendek. Dalam kerangka negara-bangsa sekuler yang dianut oleh mayoritas negara Muslim hari ini, tidak ada ruang bagi visi politik yang menyatukan umat dan memperjuangkan kehormatan Islam secara kolektif. Palestina pun menjadi isu yang dipolitisasi, bukan diperjuangkan.
Islam: Jalan Peradaban yang Terlupakan
Berbeda dengan semua sistem yang terbukti gagal menyelesaikan krisis ini, Islam hadir dengan paradigma yang menyeluruh dan sistemik. Islam tidak memandang Palestina hanya sebagai tanah, tetapi sebagai bagian dari tubuh umat yang wajib dibela. Dalam konsep ummah, luka di Gaza adalah luka di Jakarta, Kabul, Riyadh, dan seluruh dunia Islam. Oleh karena itu, pembebasan Palestina bukan sekadar solidaritas, melainkan kewajiban ideologis dan politis.
Negara dalam sistem Islam—Khilafah—tidak akan menjadikan diplomasi sebagai tameng ketakutan, tetapi menjadikan kekuatan politik dan militer sebagai penjaga kehormatan umat. Pembelaan terhadap Palestina tidak akan bersifat simbolis, tetapi struktural. Setiap bentuk penjajahan dianggap sebagai agresi terhadap Islam, dan pembebasannya menjadi prioritas strategis negara.
Khilafah bukan hanya institusi spiritual atau administratif. Ia adalah proyek politik yang menjamin kedaulatan umat, menjawab kebutuhan rakyat dengan sistem ekonomi yang independen dari kontrol kapitalisme global, serta membangun kekuatan militer yang dipusatkan pada pembelaan terhadap tanah air Islam di manapun berada.