Oleh : Fikril Musthofa, SE, M.Pd.I (Dosen Agama Islam Poltekkes Kemenkes Semarang)
Dewasa ini, upaya menemukan keadilan begitu sangat sulit, seperti halnya mencari makanan ketika di hutan berantara, tidak ada makanan yang enak untuk dimakan. Justru yang ada, kita malah akan dimakan oleh sifat keserakahan yang itu merupakan kebalikan dari keadilan. Nilai keadilan seperti itu tentu berpangkal dari hulu masalah, keadilan hanyalah sebuah rekayasa pemaknaan yang dikonstruksi oleh para pemegang kekuasaan untuk seolah-olah bersikap bijaksana dalam menyelesaikan sebuah persoalan.
Oleh sebab itu, apa sebetulnya keadilan? Apakah keadilan hanya sebuah kebohongan belaka pembohong? Apakah keadilan merupakan cerminan arogansi diri seseorang, sehingga apa pun yang kemudian diputuskan dalam menuntaskan sebuah perkara akan pasti menindas yang lemah?
Berbicara persoalan keadilan, sebetulnya dalam perspektif Islam, keadilan adalah kemaslahatan untuk umat yang bersifat komprehensif. Kemashlahatan berarti bahwa Islam diperuntukkan bagi seluruh umat manusia di muka bumi, dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.
Apalagi ketika berbicara keadilan berkiblat pada Alquran dan hadis yang notabene sebagai pedoman memiliki daya jangkauan yang luas. Keadilan dalam Islam meliputi semua aspek kehidupan manusia, baik pada masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang.
Esensi ajaran Islam terhadap aspek keadilan sosial dan ekonomi adalah sebuah keharusan yang harus dijalankan oleh umat manusia. Karena keadilan dalam pandangan Islam merupakan kewajiban dan keharusan dalam menata kehidupan setiap manusia. Selain sebagai sebuah dari kewajiban dan keharusan. Sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa keadilan sosial dan ekonomi juga memiliki nilai transedental terhadap Allah (ibadah) sebagaimana firman Allah Swt:
Prinsip Keadilan
Setidaknya, ada prinsip utama keadilan dalam Islam, yakni: Pertama, tidak boleh ada saling mengeksploitasi sesama manusia, dan; Kedua, tidak boleh memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di kalangan mereka saja (monopoli). Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga besar yang tidak boleh ada yang memisahkan apalagi membenci satu sama lainnya.
Manusia ditakdirkan Allah sebagai makhluk sosial yang membutuhkan hubungan dan interaksi sosial dengan sesama manusia. Sebagai makhluk sosial, manusia memerlukan kerja sama dengan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan material maupun spiritual. Ajaran Islam menganjurkan manusia untuk bekerja sama dan tolong menolong dengan sesama manusia dalam hal kebaikan. Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan umat Islam dapat berhubungan dengan siapa saja tanpa batasan ras, bangsa, dan agama.
Demikian juga, Islam membentuk suatu tatanan atas dasar pandangan hidup dan mengangkatnya sebagai modal dasar masyarakat sejahtera. Apabila masyarakat yang mempunyai cita-cita keadilan sosial ingin mendapatkan hasil nyata, maka mereka harus mengorganisasikan diri untuk berusaha mencapai cita-cita tersebut. Jadi, hanya dalam organisasi masyarakatlah diharapkan keadilan sosial itu dapat direalisasikan.
Dalam aspek keadilan ekonomi dalam ajaran Islam bisa dilihat dengan adanya aturan main tentang hubungan ekonomi yang dilandaskan pada etika dan prinsip ekonomi yang bersumber pada Tuhan dan fatwa manusia. Etika dan keadilan ekonomi memiliki keterkaitanya yang tidak dapat dipisahkan. Etika sebagai pondasi dalam membangun sebuah keadilan. Tanpa etika yang kuat, maka implimentasi ekonomi akan terjadi ketimpangan. Islam sangat fokus pada persaudaraan dalam melahirkan keadilan ekonomi. Karena keadilan ekonomi akan membuka ruang dan kesempatan bagi semua manusia di muka bumi untuk mendapatkan kesempatan yang sama. Tanpa ada saling melakukan eksploitasi.
Harus Merata
Di dalam ajaran Islam kehidupan masyarakat harus merata. Orang kaya punya kewajiban untuk membantu yang miskin dan yang miskin harus menerimanya. Maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa memandang kontribusinya kepada masyarakat.
Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, karena setiap orang tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat. Firman Allah Swt: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah.” (Qs. An-Nahl: 71)
Oleh karena itu, keadilan sosial dan ekonomi dalam konteks implimentatif sangat tergantung pada political will pada pemangku kebijakan. Kalau pemangku kebijakan membangun berbasis pada kepentingan golongan, maka mustahil keadilan sosial dan ekonomi terwujud. Ini berarti, keadilan sosial dalam pembangunan harus berbasis pemberdayaan sumber daya manusia seluruh masyarakat Indonesia. Dan, sebagai sebuah pesan dari tulisan mengenai ajaran Islam tentang keadilan terutama pada bidang sosial dan ekonomi setidaknya harus dapat mereduksi kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Semoga