
Birokrasi di Indonesia memiliki akar yang panjang, sejak masa kerajaan-kerajaan tradisional hingga era penjajahan Belanda. Pada masa kolonial, pemerintah Belanda menerapkan sistem birokrasi yang cukup ketat, dan administrasi negara dikelola oleh pejabat-pejabat kolonial.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah berdirinya Republik Indonesia memberikan dampak yang sangat signifikan di berbagai aspek termasuk eksistensi birokrasi. Meskipun Indonesia berusaha mengembangkan birokrasi modern, sisa-sisa budaya feodal masih mempengaruhi sikap dan pola kerja dalam birokrasi. Misalnya, dalam hubungan atasan-bawahan, sering kali bawahan lebih cenderung loyal pada atasan daripada pada aturan atau prosedur resmi.
Itu mengapa stigma birokrat atau yang kita kenal dengan istilah ‘aparatur negara’ menjadi profesi yang sangat didamba-dambakan, bahkan menjadi impian banyak orang. Tentu menjadi pertanyaan, sebenarnya apa yang membuat banyak orang ingin menjadi ‘aparatur negara’? apakah karena kekuasaanya (power), apakah karena seragam dan fasilitasnya, karena hasrat untuk melayani, karena sekadar mengincar jaminan hari tua, atau alasan lainnya.
Proses panjang modernisasi birokrasi Indonesia tidak lepas dari prinsip-prinsip yang digagas oleh Max Weber, seorang sosiolog Jerman, bahwa birokrasi harus memiliki pembagian kerja yang jelas, hierarki yang tegas, aturan dan prosedur yang formal, serta pengisian jabatan berdasarkan kompetensi (meritokrasi).
Menuju negara modern, seharusnya terdapat rasio yang ideal antara jumlah aparatur negara dan jumlah penduduknya. Hal tersebut dimaksudkan agar terdapat keseimbangan antara beban kerja dengan kualitas dan kualitas aparat yang bertanggung jawab melaksanakannya.
Warisan Permasalahan Birokrasi
Saat ini yang menjadi sorotan adalah membludaknya jumlah analis kebijakan atau istilahnya Anjak. Sebuah sapaan terhadap salah satu jabatan fungsional di kalangan birokrat. Berdasarkan data yang dirilis oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) pada tahun 2022, telah terdaftar sebanyak 7.465 pejabat fungsional analis kebijakan. Di mana jumlah ini mengalami kenaikan 1.400% sejak tahun 2019 di mana sebelumnya hanya terdapat 480 orang.
Bahkan, Kemendagri juga memproyeksi akan terdapat 90.000 jabatan fungsional baru hasil dari penyetaraan eselon III dan IV dari seluruh daerah di Indonesia. Dari angka tersebut, 70% atau setara 50.000 orang akan beralih menjadi analis kebijakan baru di berbagai daerah di Indonesia.
Dampak dari hasil penyetaraan ini tentu menjadi pertanyaan, apakah mereka yang beralih ke fungsional analis kebijakan adalah didasarkan pada kompetensi dan kemampuan mereka, sekadar mencari tempat dirasa memiliki prestise, atau justru adalah pilihan terakhir yang dianggap ‘tidak menyulitkan’.
KemenPANRB dan Kemendagri harus tegas mengatasi persoalan ini, jangan sampai akhirnya Analis Kebijakan menjadi jabatan yang bubble resources, bahwa kelihatannya banyak, namun basis kompetensinya diragukan.
Kita juga harus melihat realita birokrasi di Indonesia, bahwa di tengah eksistensi otonomi daerah, pemerintah pusat memiliki pengaruh yang sangat dominan, di mana regulasi dan kebijakan yang sudah ditetapkan di pusat, harus dijalankan di daerah. Itu artinya peran daerah berinovasi membentuk kebijakan baru sebenarnya semakin kecil karena tidak boleh bertentangan dengan political will pemerintah pusat.
Contohnya, ketika pemerintah pusat membuat kebijakan baru, Kemendagri memiliki peran strategis yang bisa menundukkan seluruh pemerintah daerah untuk taat dan mengikuti instruksi tersebut. Bahkan pemerintah daerah juga dibatasi membentuk peraturan daerah/peraturan kepala daerah yang hanya sekadar ‘mencopy paste’ peraturan yang telah diterbitkan oleh pemerintah pusat.
Beberapa pernyataan ini sebenarnya ingin memberikan penegasan bahwa apakah sebenarnya membludaknya analis kebijakan disertai dengan alasan yang logis? Tentu, permasalahan ini ini menjadi tantangan bagi pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden, Prabowo-Gibran untuk mewujudkan Asta Cita poin ketujuh yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba.
Fenomena ini seakan menjadi warisan bebannya birokrasi, yang terus berlanjut dari masa ke masa tanpa ada pembenahan yang signifikan. Sejak dulu, sektor pemerintahan cenderung menggantungkan banyak jabatan struktural dan fungsional untuk mendorong berbagai kebijakan atau perencanaan. Padahal, dengan beban anggaran yang semakin ketat, pemerintah seharusnya lebih cermat dalam menata ulang pengisian jabatan fungsional ini agar sesuai dengan kebutuhan riil masing-masing instansi.
Perlu Penataan Formasi Aparatur
Membludaknya jumlah analis kebijakan tidak hanya mengakibatkan birokrasi yang tidak gesit dan lincah, namun berpengaruh kepada meningkatnya belanja negara/daerah baik pembiayaan gaji, tunjangan kinerja, tunjangan jabatan, dan lain sebagainya. Jangan sampai APBN/APBD justru lebih banyak dihabiskan pada belanja aparatur ketimbang belanja yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat.
Di tengah anggaran negara yang saat ini sedang dalam keadaan ‘ngos-ngosan’ membiayai banyaknya mega proyek, pemerintah harus mulai memikirkan dan menata ulang pengisian jabatan fungsional. Pengisian jabatan fungsional ini harus didasarkan pada kebutuhan nyata suatu instansi. Jangan sampai jumlah analis kebijakannya membludak, padahal jumlah tenaga tenaga teknis lainnya justru kurang.
Analis kebijakan, yang bertugas merumuskan, mengevaluasi, dan memberikan rekomendasi kebijakan, seringkali dilihat sebagai salah satu pilar utama dalam penyusunan kebijakan publik yang tepat sasaran. Namun, dalam praktiknya, jumlah analis kebijakan yang berlebihan tidak selalu sejalan dengan efektivitas implementasi kebijakan tersebut. Ada kalanya kebijakan yang dihasilkan tidak mampu terintegrasi dengan baik di lapangan karena minimnya tenaga teknis yang memiliki keahlian langsung untuk merealisasikan ide-ide kebijakan.
Ditambah lagi, di tengah transformasi digital layanan publik pemerintahan, tentu membludaknya jumlah analis kebijakan menjadi tidak relevan dengan komitmen Indonesia untuk beralih ke sistem pemerintahan berbasis elektronik atau e-government, yang tujuannya adalah meningkatkan transparansi, efisiensi, dan kualitas pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi digital.
Pada umumnya, analis kebijakan biasanya berasal dari latar belakang ilmu sosial, bahkan tidak terkait langsung dengan E-Government. Sementara, transisi menuju pemerintahan berbasis digital membutuhkan keahlian dengan pengetahuan yang lebih teknis, termasuk tentang sistem teknologi informasi, pengelolaan data besar (big data), kecerdasan buatan, dan pemahaman mendalam tentang teknologi digital.
Bertransformasi menuju pemerintah digital akan menjadi sebatas capaian-capaian prosedural saja tanpa menjalankan inti utama dari transformasi digital tersebut. Akhirnya, konsep transformasi yang terpikirkan dari ‘mereka yang salah persepsi’ adalah sebatas meluncurkan beragam aplikasi, tanpa adanya urgensi bagi masyarakat, serta membuat semakin tingginya belanja pemerintah yang dipakai.
Oleh karena itu, membludaknya analis kebijakan saat ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Stigma ‘konvensional’ dari membludaknya analis kebijakan yang ada saat ini harus diperbaiki dengan siap beradaptasi dengan kebutuhan transformasi digital pemerintahan. Di tengah kurangnya kebutuhan tenaga teknis yang membidangi transformasi digital, analis kebijakan diharapkan mampu meningkatkan kompetensi untuk masuk ke jabatan fungsional lain yang mendukung keberhasilan transformasi digital pemerintahan.
Tentu, keberhasilan pemerintah menata pengisian jabatan berdampak kepada efektifnya penyelenggaraan pemerintahan. Harapannya, penataan ini dapat mengukur jabatan fungsional mana yang dibutuhkan. Sehingga tidak lagi ada jabatan fungsional yang membludak, namun ada jabatan fungsional yang kurang.
Mewujudkan pemerintahan yang modern sebagaimana yang digagas oleh Max Weber memang membutuhkan keseriusan khususnya di Indonesia. Tidak mudah menata birokrasi Indonesia yang jumlahnya sangat besar mulai dari kementerian, lembaga, hingga ratusan pemerintahan daerah.
Kalau tidak ditata sejak saat ini, tentu ini akan menjadi penyakit birokrasi yang hari demi hari akan semakin parah. Bukan hanya soal menjaga efektifnya anggaran negara, namun menjaga birokrasi Indonesia yang adaptif menjawab perkembangan zaman dan teknologi. Reformasi pengisian jabatan fungsional, dengan fokus pada kebutuhan nyata dan keseimbangan peran, adalah langkah penting yang harus segera diambil. Hanya dengan demikian, birokrasi bisa benar-benar menjadi alat untuk mempermudah pelayanan publik, bukan sebaliknya.