
“Bayangkan jika suara rakyat bisa dibungkam oleh suara senjata ataukeputusan politik bukan lagi di tangan wakil-wakil rakyat, melainkan di tangan tentara yang seharusnya fokus pada pertahanan. Ini bukan skenario dari film distopia, tapi kenyataan yang bisa terjadi jika kita masih mempersembahkan dwifungsi TNI dalam pemerintahan Indonesia.”
Di balik kemegahan dan kehormatan sebuah tentara yang selalu siap menjaga kedaulatan negara, ada satu prinsip dasar yang tidak boleh terabaikan: militer tidak boleh mengendalikan politik. Saat ini, Indonesia menghadapi dilema terkait peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam kehidupan bernegara. Meskipun dalam beberapa aspek TNI memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga keamanan dan stabilitas, tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan dwifungsi TNI yang mau dilanggengkan sekarang seharusnya segera dihentikan. Bukan hanya karena sudah tidak relevan lagi dengan prinsip-prinsip demokrasi modern, tetapi juga karena dwifungsi TNI ini sudah basi dan berisiko merusak fondasi negara hukum yang selama ini kita impikan pasca reformasi 98 terlebih ingin direkondisi lagi.
Penting untuk menyadari bahwa salah satu pilar utama dalam sistem pemerintahan demokrasi adalah pemisahan kekuasaan yang jelas antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan ini bukan hanya sekadar formalitas, tetapi adalah mekanisme untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Ketika angkatan bersenjata terlibat dalam urusan politik atau pemerintahan dalam hal ini jabatan sipil, maka garis batas ini mulai memudar. TNI yang seharusnya berfokus pada urusan pertahanan, justru turut campur dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan negara. Hal ini dapat merusak proses demokratis yang sejatinya harus melibatkan partisipasi rakyat secara bebas dan terbuka.
Reformasi dan Masa Lalu Gelap
Penting untuk diingat bahwa dwifungsi TNI tidak muncul begitu saja, melainkan berasal dari masa Orde Baru, ketika militer memiliki kekuasaan yang sangat besar dalam semua aspek kehidupan negara. TNI bukan hanya bertugas menjaga keamanan, tetapi juga menjadi aktor utama dalam pembuatan kebijakan politik. Praktik ini bertahan selama puluhan tahun hingga akhirnya Indonesia memasuki era reformasi pada akhir 1990-an, kekuatan rakyat pun menuntut perubahan dan pemulihan hak-hak sipil.
Reformasi 1998 menjadi momentum penting yang mengubah wajah Indonesia. Salah satu hasil terbesar dari reformasi adalah mengurangi keterlibatan TNI dalam politik, melalui pembatasan ruang geraknya dalam kehidupan sipil. Meskipun begitu, hingga saat ini, TNI masih memiliki peran yang cukup besar dalam beberapa aspek kehidupan negara, termasuk dalam hal pengelolaan keamanan dan ketertiban. Namun, kita tidak boleh terjebak dalam nostalgia masa lalu yang gelap, di mana kekuasaan politik terpusat di tangan militer. Justru, kita harus terus memperkuat sistem demokrasi dengan memastikan bahwa ruang sipil dan militer tetap terpisah dengan jelas.
Risiko Penyalahgunaan Kekuasaan
Salah satu bahaya terbesar dari dwifungsi TNI adalah risiko penyalahgunaan kekuasaan. Dalam sejarah, kita telah menyaksikan bagaimana militer, dengan kekuatannya, bisa mengambil keputusan yang tidak selalu berpihak pada rakyat. Ketika TNI terlibat dalam pemerintahan, ada potensi bahwa keputusan yang diambil lebih mengedepankan stabilitas dan keamanan negara dengan cara-cara yang mungkin melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia atau bahkan prinsip dasar demokrasi.
Sejarah juga mengajarkan kita bahwa negara-negara yang membiarkan militer memiliki peran politik yang terlalu besar cenderung berakhir dengan pemerintahan otoriter. TNI yang terlalu kuat dalam struktur pemerintahan bisa mengarah pada pemerintahan yang tidak responsif terhadap tuntutan rakyat. Oleh karena itu, salah satu alasan utama saya menolak dwifungsi TNI adalah untuk menjaga agar Indonesia tetap berada dalam jalur demokrasi yang sehat dan bebas dari potensi kekuasaan yang terlalu terpusat.Tentara Negara Indonesia, dengan segala penghormatan atas tugas mulianya dalam menjaga kedaulatan negara, seharusnya fokus pada peran utamanya, yaitu pertahanan negara dari ancaman internal dan eksternal. Jangan sampai, dalam upaya menjaga kedaulatan negara, kita justru mengorbankan kedaulatan sipil dan kebebasan politik yang menjadi hak dasar warga negara.
Menuju Indonesia yang Lebih Demokratis
Membangun Indonesia yang lebih demokratis berarti juga harus menyempurnakan pengelolaan hubungan antara militer dan pemerintahan. Kita harus memperkuat pengawasan terhadap militer dan memastikan bahwa kebijakan negara sepenuhnya berada di bawah kontrol sipil. Hal ini juga berarti mengurangi peran TNI dalam politik praktis dan memberi ruang bagi rakyat untuk menentukan arah negara tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak militer.
Sebagai penutup, meskipun peran TNI amatlah penting dalam menjaga keamanan negara, dwifungsi TNI yang mengizinkan militer terlibat dalam pemerintahan dan mengisi jabatan sipil harus sepenuhnya diakhiri. Hanya saja ragam penolakan atas revisi UU TNI tersebut tak diindahkan oleh wakil rakyat kita. Revisi justru dilakukan secara tidak terbuka dengan mengabaikan asas pembentukan peraturan perundang-undangan dan prinsip partisipasi bermakna. Ini lagi-lagi menunjukkan peranan buruk DPR sebagai tukang stempel kebijakan pemerintahan saja.
Lantas, sebagai warga negara yang taat pada konstitusi tentulah mengutarakan hal seperti ini adalah suatu keniscayaan yang perlu digemakan lagi. Seperti kata pepatah “Keledai tidak akan jatuh dalam lubang yang sama”. Keledai kerap dipandang sebagai hewan yang bodoh dan lamban. Walaupun demikian, ia bisa belajar dari kesalahannya dan tidak akan jatuh di lubang yang sama.