Sila kelima pancasila berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.” Tetapi pada kenyataannya di dunia pendidikan saat ini masih belum terealisasikan kata keadilan tersebut bagi masyarakat khususnya para pelajar di Indonesia. Buktinya, bisa kita lihat pada tidak meratanya fasilitas dan infrastruktur sekolah yang terbatas, serta terdapat kesenjangan antara sekolah di desa dan juga sekolah kota.
Sudah banyak kemajuan yang dilakukan oleh pemerintah, seperti program pendidikan gratis, program indonesia pintar dan bahkan program bantuan infrastruktur sekolah, namun hal ini tetap menjadi hal yang krusial, karena masih banyak sekolah-sekolah yang tidak merasakan dampak dari bantuan tersebut khususnya bagi sekolah di desa yang sering kali terabaikan atau terpinggirkan dengan sekolah di kota.
Keterbatasan fasilitas dan infrastruktur di desa sangat terlihat jelas perbedaannya. Sekolah-sekolah di kota sudah dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang memadai, seperti adanya laboratorium, perpustakaan modern, akses internet yang tidak terbatas, serta ruang kelas yang nyaman dan sarana lainnya yang mendukung pembelajaran. Berbeda dengan kondisi sekolah di desa yang memprihatinkan. Banyak sekolah di desa yang masih menggunakan bangunan sederhana yang bahkan tidak jarang atapnya bocor saat musim hujan.
Keterbatasan sarana juga menjadi hal yang sering terjadi seperti kurangnya kursi dan juga meja, bahkan banyak beberapa yang kursinya sudah usang dan hampir rusak, yang jika dibiarkan dapat membahayakan anak saat belajar. Bahkan keterbatasan fasilitas seperti tidak adanya bangunan laboratorium ataupun bangunan-bangunan lainnya dapat membuat anak sulit untuk berkreatifitas serta sulit mengembangkan bakat dan juga minatnya. Hal ini jelas dapat mempengaruhi kualitas pendidikan yang diterima siswa karena terhalang dengan adanya keterbatasan yang membuat siswa sulit untuk berkembang dan bersaing dengan sekolah-sekolah di perkotaan.
Kualitas pembelajaran yang tidak merata juga menjadi perbedaan besar antara sekolah di desa dan juga kota. Di kota sudah banyak guru-guru yang terlatih serta dapat membuat metode pembelajaran yang kreatif dan juga efektif bagi anak. Mereka juga bisa mengevaluasi anak sebagai bahan pembelajaran mereka untuk meningkatkan kualitas mengajar pada anak. Berbeda halnya dengan sekolah di desa, banyak guru yang kurang melakukan pelatihan serta kesulitan untuk beradaptasi dengan sumber daya pembelajaran. Guru-guru di desa seringkali memiliki beban yang lebih besar, karena keterbatasan tenaga kerja dan juga hal yang lainnya, bahkan tidak jarang kita menemui seorang guru yang harus mengajar beberapa mata pelajaran sekaligus, meskipun tidak memiliki latar belakang pendidikan dalam mata pelajaran atau dalam bidang tersebut.
Kesenjangan kualitas pembelajaran juga dapat mencerminkan tingkat motivasi siswa dalam belajar. Banyak siswa di desa yang merasa terpaksa untuk berangkat ke sekolah dibawah tekanan sosial dan juga ekonomi, serta tidak memiliki semangat dari dirinya sendiri untuk belajar. Mereka bahkan tidak melihat pendidikan sebagai peluang untuk mengubah hidup masa depan mereka, tetapi mereka hanya menganggap bahwa pendidikan adalh kewajiban yang harus dijalani saja. Hal ini berbeda dengan anak di kota yang menganggap penting pendidikan dan memiliki semangat untuk belajar dan mengembangkan minat serta bakat mereka.
Di era globalisasi ini, teknologi juga memiliki peranan penting dalam pembelajaran. Siswa di kota memiliki akses tidak terbatas mulai dari akses internet ataupun penggunaan komputer dan teknologi lainnya yang dapat mendukung pembelajaran jauh lebih mudah. Berbeda dengan siswa di desa, yang lagi-lagi memiliki keterbatasan dalam akses dan juga penggunaan terhadap teknologi. Pandemi COVID-19 juga makin memperparah keadaan ini, karena banyak siswa di daerah terpencil yang kesulitan untuk mengikuti pembelajaran daring karena tidak adanya perangkat yang memadai ataupun karena koneksi internetnya yang tidak stabil. Akibatnya mereka tertinggal dengan persaingan global yang semakin mengandalkan kecakapan pada teknologi.
Adanya faktor sosial-ekonomi juga makin memperburuk kesenjangan pendidikan antara desa dan juga kota. Rata-rata latar belakang orang tua siswa yang bersekolah di desa, memiliki kondisi ekonomi yang kurang mampu. Selain itu, biaya pendidikan tinggi seperti biaya masuk universitas atau les tambahan sering kali tidak terjangkau oleh mereka. Hal ini membuat anak lebih memilih untuk membantu orang tua menghasilkan uang dari pada harus belajar melanjutkan pendidikannya, dan itu menjadi penyebab utama beberapa anak lebih memilih langsung bekerja setelah lulus sekolah dari pada harus melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi atau tingkat lainnya. Berbeda dengan di kota, yang mana keluarganya dapat mendukung penuh anak-anak mereka untuk melanjutkan ke universitas pilihan dan bahkan menerima beasiswa atau pembiayaan lainnya.
Namun kesenjangan itu tidak berakhir sampai di sini saja karena faktor-faktor tadi saling berkaitan dengan isu penerimaan mahasiswa baru di PTN saat ini. Pada saat penerimaan calon mahasiswa baru, Perguruan Tinggi Negeri (PTN) bahkan lebih mendahulukan siswa yang bersekolah di kota daripada di desa. Ini menjadi isu yang sangat memprihatinkan dan perlu mendapat perhatian lebih. Kenyataanya siswa di kota lebih diuntungkan dan memiliki kesempatan lebih tinggi terutama sekolah-sekolah favorit yang memang pada dasarnya, siswa disana mendapatkan pendidikan yang memadai dan juga sarana prasarana yang mendukung minat serta bakat mereka.
Hal itu tidak seharusnya menjadikan perbedaan, karena seharusnya PTN dapat memberikan kesempatan yang setara dan bersikap adil pada calon mahasiswa dari sekolah di desa. Siswa di kota memiliki akses yang lebih luas untuk menggali informasi pendidikan seperti ujian masuk PTN, program beasiswa, dan tips-tips lolos seleksi. Di kota juga terdapat banyak bimbingan belajar yang dapat membantu siswa mempersiapkan ujian. Sebaliknya di desa, Untuk mengakses informasi dan sumber daya pendidikan lainnya saja siswa terkadang sering kali mengalami kesulitan.
Sistem seleksi PTN yang sangat kompetitif juga menambah kesulitan bagi siswa di desa, karena mereka harus bertarung atau bersaing dengan siswa dari kota yang sudah lebih siap dan memiliki banyak dukungan, entah itu dari kondisi keuangan keluarga ataupun dari sekolah yang membimbing siswa agar bisa lolos di PTN impiannya. Meskipun terkadang ada kuota tertentu untuk daerah di pedesaan, namun implementasinya terasa masih belum sepenuhnya efektif dalam mengurangi kesenjangan ini.
Untuk mengatasi kesenjangan pendidikan ini, pemerintah perlu lebih fokus pada pemerataan pendidikan yang ada di desa dan juga di kota. Mulai dari membangun ataupun memperbaiki bangunan di sekolah, serta mendapatkan fasilitas dan sarana seperti menyediakan akses internet yang memadai agar dapat meningkatkan pengembangan pembelajaran siswa, meningkatkan kualitas guru di daerah-daerah pedesaan melalui pelatihan-pelatihan intensif yang membuat guru dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan bisa membuat metode pembelajaran yang menarik bagi siswa. Diperlukan juga langkah-langkah yang lebih konkret dan terarah untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, dimana semua siswa, baik dari kota maupun desa memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk belajar sebagai seorang siswa.