Siapakah yang dimaksud “Raja Jawa” oleh BalilLahadalia? Sebagaimana menjadi sorotan di berbagai media, Ketua Umum Partai Golkar BahlilLahadalia, saat baru saja terpilih secara aklamasi di Munas Golkar XI (21/8), dalam pidatonya sempat bicara soal Raja Jawa.
“Soalnya, Raja Jawa ini, kalau kita main-main, celaka kita. Saya mau kasih tahu aja, jangan coba-coba main-main barang ini. Waduh, ini ngeri-ngeri sedap barang ini, saya kasih tahu,” kata Bahlil yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral itu.
Bahlil tidak menyebut siapa sosok Raja Jawa yang ia maksud. Bahkan dalam sesi wawancara door stop, kata Bahlil, ia hanya melemparkan guyonan. Sayangnya, teka-teki soal Raja Jawa terlanjur menjadi gunjingan politik dan polemik di kalangan publik. Pernyataan itu memicu kontroversi hingga memunculkan spanduk kecaman di beberapa daerah. Pernyataan tersebut juga dilontarkan di saat nalar publik sedang kritis menyoal politik dinasti dan dinasti politik, sehingga membuatnya semakin disorot.
Pernyataan Bahlil di atas seolah menyiratkan pesan, bahwa Raja Jawa tersebut memiliki kekuasaan yang sangat besar dan karenanya harus patuh kepadanya. Termasuk pula, asumsi publik bahwa skenario terpilihnya Bahlil sebagai Ketua Umum Partai Golkar yang berlangsung begitu mudah dan begitu cepat adalah skenario dari sang raja yang membuat Bahlil harus patuh. Demikian pula, dinamika politik dalam beberapa waktu belakangan seolah tidak lepas dari kemauan sang raja yang memiliki kekuasaan dominan. Sekali lagi, siapakah Raja Jawa yang dimaksud oleh Bahlil?
Menyoal “Raja Jawa”
Di era demokrasi moderndan keterbukaan informasi saat ini, di mana kesetaraan dan keadilan menjadi fondasi utama bernegara, pernyataan semacam ini bukan hanya mengundang pertanyaan, tetapi juga berpotensi merusak semangat kebersamaan dan persatuan yang seharusnya menjadi landasan utama kehidupan berbangsa. Apalagi tidak bisa diingkari, Indonesia adalah negara yang plural, multikultur, dan multietnis. Keragaman ini seharusnya dirayakan, bukan digunakan untuk memecah belah.
Istilah “Raja Jawa” merujuk pada kekuasaan historis yang pernah ada di pulau Jawa. Pulau Jawa memang memiliki sejarah kerajaan yang kaya, seperti Majapahit, Mataram, Demak, dan lainnya. Namun, era kerajaan telah lama berlalu, sekalipun memang pada beberapa daerah masih mempertahankan sistem kerajaan tersebut.
Tetapi, sebagai negara berdaulat yang baru saja memperingati 79 tahun kemerdekaan, Indonesia berdiri sebagai sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik. Republik merupakan warisan Romawi Kuno, berasal dari res(urusan) dan publicius atau publica(umum atau publik). Maknanya, dalam sistem republik kekuasaan bukan milik segelintir orang atau kelompok, tetapi milik seluruh rakyat. Berbeda dengan konsep kerajaan atau monarki.
Maka menghidupkan kembali konsep-konsep semacam yang disampaikan Bahlil, terutama dalam konteks politik modern, bukan hanya tidak relevan, tetapi juga berbahaya. Sebab, hal ini berpotensi memicu sentimen primordial. Adapun sentimen primordial berpotensi memecah belah dan memantik konflik horizontal di antara masyarakat multikultur Indonesia.
Ketika seorang tokoh publik mengangkat isu-isu primordial seperti ini, ada bahaya besar bahwa hal tersebut akan memicu sentimen serupa di kalangan masyarakat. Sentimen primordial yang mengutamakan satu kelompok atas yang lain hanya akan memperdalam jurang perbedaan dan mengikis rasa persatuan yang seharusnya terus kita perkuat.
Istilah “Raja Jawa” seperti yang dikatakan Bahlilsecara nyata mencederai semangat persatuan dan kebersamaan yang selama ini kita jaga.Di negara ini, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Bukan pada satu individu atau kelompok tertentu. Pemimpin di semua level dipilih melalui proses pemilihan yang demokratis, di mana semua suara rakyat memiliki nilai dan kedudukan yang sama. Ini adalah wujud nyata dari prinsip bahwa Indonesia adalah milik semua, bukan milik segelintir orang.
Karenanya, dalam negara yang menganut demokrasi, tidak ada tempat bagi “raja-raja” atau kelompok tertentu yang merasa memiliki kekuasaan lebih dari yang lain. Setiap individu memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, dan setiap wilayah, terlepas dari latar belakang sejarah atau budayanya, memiliki peran yang sama pentingnya dalam membangun bangsa.
Indonesia Milik Semua
Bukan Raja Jawa, tetapi Indonesia adalah milik semua anak bangsa. Indonesia adalah tanah tumpah darah yang harus kita jaga bersama tanpa lagi membedakan antara Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan pulau-pulau lainnya.Kita semua menginginkan Indonesia yang damai, sejahtera, dan adil bagi semua. Oleh karenanya, narasi-narasi yang berpotensi memecah keutuhan bangsa harus dilawan.
Sebagai tokoh publik, Bahlil dan termasuk juga semua pejabat lainnya harus sadar bahwa pernyataan apapun yang terlontar dengan segera menjadi konsumsi media dan menjadi sorotan. Apalagi di tengah perubahan revolusioner dalam teknologi komunikasi dan informasi, arus informasi begitu cepat menyebar dan tidak dapat dibendung. Karena itu, apapun yang dikatakan seyogyanya tidak berpotensi menjadi polemik di kalangan publik.
“Raja Jawa” telah menyadarkan kita bahwa narasi-narasi primordial begitu sensitif di telinga publik. Karenanya, hal semacam itu harus dihentikan. Bahlil harus memberi klarifikasi tentang apa dan siapa Raja Jawa yang dimaksud. Sebab, sekali lagi, Indonesia adalah milik semua dan pemimpinnya menjadi pemimpin untuk semua pula.