
Penulis : Nura Insyirah, S. Sos
Polemik Tapera kembali ramai diperbincangkan setelah pemerintah mengubah PP No. 25/2020 menjadi PP No. 21/2024. Banyak pihak yang menolak kebijakan tersebut baik dari kalangan pekerja maupun pengusaha. Pasalnya mereka dikenakan potongan sebesar 3% dengan 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% dari pengusaha. Kewajiban iuran Tapera diyakini bakal menambah beban kelas menengah di Indonesia, lantaran daftar potongan gaji yang diterima karyawan semakin panjang – selain potongan lainnya seperti BPJS Ketenagakerjaan, Pajak Penghasilan (PPH), jaminan hari tua, dan lainnya.
Tapera atau Tabungan Perumahan Rakyat adalah program yang diluncurkan pemerintah sebagai solusi penyediaan rumah. Ada 9,9 juta orang Indonesia yang belum memiliki rumah. Ada 14 juta warga berpenghasilan rendah yang tinggal di rumah yang tidak layak huni dan 81 juta penduduk usia milenial (usia 25—40 tahun) kesulitan memiliki hunian. Tapera hanya bisa dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan kepada para peserta pokok simpanan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Artinya rakyat tidak mendapat kepastian hunian dalam waktu segera. Bahkan Tapera berpeluang menjadi lahan korupsi baru bagi pihak-pihak terkait.
Kebijakan tersebut jelas jauh dari kata sejahtera melainkan derita untuk rakyat. Adanya Tapera meyakinkan kita bahwa negara melepaskan diri dari perannya mengurus rakyat, justru membuat enak penguasa. Masyarakat juga di-setting lupa pada hak-hak mereka yang semestinya dijamin pemerintah sehingga program bantuan yang melibatkan iuran rakyat serta saling menanggung antar sesama dipandang maklum dan patut disyukuri. Sejatinya tidak sama sekali, sebab negara memungut paksa uang rakyat demi hak mereka sendiri baik kaya atau miskin. Kondisi seperti ini umum terjadi oleh pengaruh sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Dalam kapitalisme, tugas negara bukanlah mengurus rakyat melainkan mengeruk keuntungan dari rakyat.
Berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam sebagai aturan hidupnya. Penguasa (Khalifah) dalam Islam adalah raa’in (pengurus) dan mas’ul (penanggung jawab) terhadap urusan rakyat. Apapun kebutuhan rakyat, negaraakan bertanggung jawab untuk memenuhinya dengan mekanisme sesuai syariat. Sabda Rasulullah SAW. :
“Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Diantara kebutuhan primer (sandang, pangan, papan) yang wajib dijamin negara adalah rumah. Negara harus memastikan rakyat memiliki hunian yang layak salah satu caranya dengan menyediakan perumahan dengan harga terjangkau atau murah, tanpa kompensasi dan tanpa iuran wajib. Negara juga memberikan akses pembelian tanah dan bangunan dengan mudah. Selain itu, negara juga menjamin setiap pencari nafkah dalam setiap keluarga mudah mencari pekerjaan sebab negara menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Tentu tidak mustahil bagi negara sebab sumber pendapatan utama negara berasal dari pengelolaan kekayaan alam sepenuhnya sehingga memerlukan banyak SDM dalam mekanisme kelolanya.
Begitu pula dengan praktik jual beli. Negara bersistem Islam melarang praktik ribawi dalam transaksi apapun termasuk membeli rumah. Dalam sistem kapitalisme, banyak orang kesulitan memiliki rumah pribadi karena terhalang bunga/riba dalam kredit jual beli rumah. Sebagian lagi terlilit utang cicilan rumah yang mengandung riba.
Adapun rakyat, jika ingin menabung untuk membeli rumah, hal itu sifatnya pilihan dan individual. Tidak ada paksaan. Sementara itu, bagi rakyat miskin, negara akan memberikan rumah secara cuma-cuma tanpa biaya sama sekali. Oleh karena itu, tidak akan ada tunawisma yang tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit. Khalifah akan patroli setiap hari untuk memastikan tiap-tiap rakyatnya bisa tinggal di rumah yang nyaman.
Dengan demikian, sudah semestinya kita menolak Tapera yang memeras rakyat dan menawarkan solusi penerapan Islam secara kaffah demi terpenuhinya kebutuhan rumah bagi rakyat. Rumah yang layak merupakan salah satu kebahagiaan berdasarkan hadits Rasulullah SAW., “Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan, [yaitu] istri salihah, tempat tinggal yang lapang, teman atau tetangga yang baik, dan kendaraan yang nyaman.” (HR Ibnu Hibban).