JAKARTA – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan bakal mengevaluasi Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Dirjen Dikti Kemendikbudristek Abdul Haris mengatakan. evaluasi itu dilakukan karena banyak catatan terkait implementasi aturan tersebut dari DPR RI.
Sejauh ini, Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 dianggap sebagai penyebab melonjaknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah PTN.
“Kalau memang dirasa tadi dalam pelaksanaannya mungkin karena banyak catatan yang disampaikan oleh dewan, tentu kami akan tinjau kembali dan juga mengevaluasi masukan-masukan tadi. Bagaimana implementasi pelaksanaan dari Permendikbud ini di lapangan,” kata Abdul di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (21/5).
Abdul mengatakan, Kemendikbudristek akan berkoordinasi secara intensif dengan Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) terkait evaluasi tersebut.
“Majelis Rektor PTN pun sudah mengeluarkan statement-nya bahwa UKT tidak naik,” ujarnya.
Ia menyampaikan MRPTNI tak ingin mahasiswa dari kalangan keluarga kurang mampu tidak bisa melanjutkan pendidikan di PTN. Oleh karena itu, MRPTNI menjamin mereka tetap memiliki kesempatan untuk belajar di PTN.
“Jangan sampai ada mahasiswa yang tidak memiliki kemampuan finansial gagal masuk PTN,” ucap Abdul.
Sebelumnya, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim merevisi Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024.
“Karena itu, kita minta dalam forum yang baik ini, Pak Menteri untuk mempertimbangkan adanya revisi terkait Permen Nomor 2 Tahun 2024,” kata Huda di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (21/5).
Ia menyebut aturan itu dimaknai oleh sejumlah PTN di Indonesia sebagai pintu masuk untuk menaikkan UKT.
Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PAN, Zainuddin Maliki, juga meminta Nadiem untuk meninjau kembali pemberlakuan aturan tersebut. Menurutnya, Permendikbudristek 2/2024 itu merupakan akar dari kegaduhan yang terjadi belakangan ini.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf Macan Effendi mengusulkan Kemendikbudristek agar mengizinkan mahasiswa bisa membayar biaya kuliah dengan cara dicicil.
Menurut Dede, cara itu bisa jadi solusi jangka pendek di tengah kenaikan biaya uang kuliah tinggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN).
“Memberikan solusi orang tua untuk pembiayaan kuliah anak dengan berbagai metode, misalnya mencicil ataupun juga yang lainnya,” kata Dede dalam rapat kerja dengan Mendikbudristek Nadiem Makarim di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (21/5), seperti dikutip CNNIndonesia.com.
Selain mengatur mekanisme pembayaran dengan dicicil, Dede mengusulkan solusi jangka pendek lain, yakni mencabut atau merevisi Permendikbudristek tersebut. Terutama yang mengatur soal batas atas dan batas bawah UKT dan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) hingga penerimaan mahasiswa baru.
“Solusi jangka pendeknya adalah segera mencabut dan merevisi Permendikbud 2/2024, terutama tentang batasan atas biaya UKT dan IPI sebelum penerimaan siswa baru,” katanya.
Sementara untuk solusi jangka panjang, Dede mengusulkan menambah Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah, terutama bagi mahasiswa yang terkena dampak kenaikan UKT. Dede menyebut kenaikan UKT akan menjadi perhatian Komisi X DPR.
“Solusi jangka panjangnya adalah menambahkan KIP Kuliah skema dua untuk mahasiswa-mahasiswa yang mungkin nanti akan terkena pemberatan daripada pembiayaan,” ucap dia.
Penetapan Permendikbudristek Nomor 2/2024 tentang Standar Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SBOPT) pada PTN di Lingkungan Kemendikbudristek menuai kritik dari berbagai kalangan.
Aturan itu mengatur kelompok UKT 1 sebesar Rp500 ribu dan UKT 2 sebesar Rp1 juta menjadi standar minimal yang harus dimiliki PTN. Sementara besaran UKT di tingkatan lainnya ditentukan oleh masing-masing perguruan tinggi.
Pada Raker dengan Komisi X DPR itu, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kemendikbudristek juga mengklarifikasi soal pernyataan sekretaris mereka, Tjitjik Sri Tjahjandarie yang menyebut kuliah sebagai kebutuhan tersier alias tidak wajib saat merespons kenaikan uang kuliah UKT di sejumlah perguruan tinggi.
Dalam Rapat Kerja dengan Komisi X DPR, Mendikbukristek Nadiem Makarim bersama jajarannya termasuk Dirjen Dikti, Abdul Haris sempat dicecar karena pernyataan Tjitjik tersebut.
“Yang terus menerus disebut itu pernyataan Bu Sesdirjen, yang kebutuhan tersier pendidikan tinggi ini menjadi kebutuhan tersier,” kata Fikri.
Menjawab hal itu, Dirjen Dikti, Abdul Haris mengaku pihaknya memahami sejumlah kritik atas pernyataan tersebut. Dia berjanji pihaknya akan terus berusaha agar pendidikan tinggi menjadi hal yang utama.
“Catatan dari Pak Fikri terkait dengan tersier. Kami juga memahami bahwa, ini terus terang kita akan coba memanfaatkan bahwa pendidikan ini adalah sesuatu yang utama,” ucap Haris.
Dia memahami Indonesia ke depan memiliki kebutuhan untuk meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Terutama untuk membawa Indonesia Emas di 2045.
“Dari sisi kualitas dan relevansinya agar tentu kita bisa menghasilkan SDM unggul yang bisa membawa Indonesia maju, Indonesia Emas 2045,” katanya.
Sebelumnya merespons banyaknya protes soal UKT,Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA. Namun pernyataan itu menuai banyak protes dari sejumlah pihak, terutama dari mahasiswa.
“Dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan,” kata Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Rabu (16/5).
“Siapa yang ingin mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib,” imbuhnya. web