
Postrukturalisme adalah suatu gagasan yang dihadirkan untuk mengkritik paham strukturalisme, dimana paham strukturalisme berpendapat, bahwa setiap masyarakat memiliki struktur yang sama dan tetap, sedangkan Postrukturalisme memandang itu sebagai struktur yang berubah, semisal nya si A sangat mengenal si B dengan cara mendalam, akan tetapi besok bisa berubah dengan makna yang berbeda pula, sehingga dapat dipahami kebenaran yang dibangun oleh paham postrukturalisme ini bersifat bias dan berubah-ubah.
Ibarat nya seorang pahlawan hari ini, bisa jadi besok menjadi penjahat tingkat dewa, begitu sebalik nya. Contoh yang lain nya, serangan 7 Oktober dilakukan oleh hamas, dengan alasan Israel melakukan penjajahan selama berpuluh-puluh tahun di Palestina, melihat akan hal itu, ada orang yang berpandangan hamas sebagai pahlawan, Teroris, dan antek nya israel, ketika israel menyerang balik timbul nya teks yang berbeda pula yaitu muncul kata “perlindungan diri” (Self-defence)” menjadi landasan berpikir Israel, begitulah cara memandang struktur sosial yang sering disematkan oleh postrukturalisme yaitu Dekonstruksi.
Pemilu 2024 dan Be Yourself
Indonesia terkenal dengan negara demokrasi yang selalu menyematkan pemilu sebagai ajang pengujian calon presiden dan ujian bagi pemilih nya, dimana gagasan yang dipertontonkan oleh paslon merupakan wujud representasi diri nya, berkemungkinan sudah menjadi senyawa dengan pikiran, hati, dan kemauan nya. tentu sistem semacam ini juga menjadi ujian bagi pemilih dalam memilih pemimpin yang tercerahkan untuk lima tahun ke depan. Pemimpin tercerahkan adalah pemimpin yang mapan di dalam pengetahuan dan mengetahui bahwa dia adalah mandat rakyat dan memberikan daulat kepada rakyat, bahkan bisa juga dipahami sebagai pemimpin yang mampu berkeadilan sosial.
Melihat pemilu 2024 dapat kita rasakan bahwa banyak pemilih yang belum tercerahkan, dimana belum bisa melihat secara rasional, namun kecendrungan emosional yang terus dihadirkan. Melihat hingar-bingar dari kasus politik uang, menerobos konstitusi, tidak beretika, dan sejarah kelam di masa lalu yang melekat di salah satu paslon bahkan kasus bansos yang telah menjadi buah bibir public untuk kepentingan salah satu pihak yang didukung, maka itu dapat dipahami sebagai arogansi kekuasaan dalam menyalahgunakan kekuasaan, Namun, ketika kita melihat pemilih belum bisa merasakan pemimpin tercerahkan itu sendiri, dikarenakan keangkuhan dibalik kata Be Yourself (jadilah dirimu sendiri), dapat diibaratkan sebagai seorang pelacur yang dapat menyebarkan HIV, tapi dia bangga dengan perilakunya dengan kata jadilah dirimu sendiri. Memang bagus adanya narasi semacam ini, agar tidak mengalami kemiskinan identitas, tapi terkadang tidaklah di setiap situasi dapat diterapkan, perlu nya tingkat kecerdasan yang mapan untuk menggunakan kata misterius ini dan diperlukan pandangan orang lain sebagai pembanding.
Melihat realitas diatas mayoritas pemilih belum mampu melihat kejadian, kelakuan dan politik yang kelam di masa lampau, bagaimana catatan hitam bermetamorfosis menjadi ketertarikan positif yang diperhatikan oleh publik, sungguh sangat menarik jika kita kaji lebih dalam lagi perubahan perilaku semacam ini, se akan-akan tingkah hari ini meniadakan sejarah kelam secara masif, halus dan tersusun rapi. Sama hal nya dengan kasus hamas dan Israel yang telah penulis jabarkan diatas, dimana penyerangan hamas ke israel adalah salah satu bentuk perlawanan atas ketertindasan dan penjajahan, meski demikian israel bermetamorfosis menjadi pihak yang self defense, padahal israel lah yang menjadi biang dari alasan hamas menyerang.
Pengkhianatan Intelektual
Kaum intelektual merupakan kaum yang mengetahui, kaum cinta kebenaran, dan kaum cinta kebijaksanaan, berbicara kaum intelektual maka kita berbicara tentang peradaban, berbicara tentang intelektual maka yang tampak adalah pengetahuan.
Menghiglight kembali pemilu dibelakang, tentu hal ini sudah tidak asing lagi ketika tiba nya pemilu, melihat para petanding hanya berlandaskan kepada hasrat menang, tanpa melihat ketersingungan yang mengakibatkan pencideraan mufakat bersama dan unik nya adalah banyak juga kaum intelektual yang terkena kecanduan Postrukturalisme, dengan melanggengkan, membiarkan dan membenarkan tindakan yang dapat menyebabkan rusak nya demokrasi, padahal ia mengetahui bahwa itu adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dan mencederai kesepakatan. Meskipun Dekonstruksi menyuruh mengkonstruksi ulang gagasan dan itu hal yang positif, namun itu tidak lah dapat diterapkan secara serampangan, dengan kata lain “ Letakanlah sesuatu pada tempat nya”
Melihat realitas diatas bahwa masih ada kaum intelektual mengkhianati Kutukan nya sendiri, dengan kepentingan jabatan strategis, jilat atas dan injak bawah, sehingga tidak ada perlawanan, jika ia melawan, tentu nya jabatan itu menjadi hilang ditangan. Bisa dipahami kaum intelektual kini bersifat penadah dan arogansi kekuasaan sebagai penjarah, ketika penjarah dan penadah bekerja sama maka kebohongan itu akan terus melanggengkan diri nya, Pembiaran-pembiaran yang disengaja dilakukan oleh kaum intelektual, maka itu dapat dipahami sebagai menghina peradaban dan mencederai pengetahuan.
Maka bersyukurlah masih ada kaum intelektual yang mampu etis sejak pikiran untuk menyelamatkan bangsa dari kebohongan, dengan adanya gerakan kampus seperti diawali dengan kampus UGM, kemudian UNAND dengan Manifesto nya, sehingga terpantik nya kampus yang lain untuk melakukan perlawanan yang sama, akibat kekuasaan sudah keluar dari jalur edar nya, meskipun masih ada yang berpresepsi gerakan kampus adalah gerakan berkepentingan,
Perlu kita kaji ulang apa itu kepentingan? kepentingan itu adalah gerakan yang kita lakukan untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri atau kelompok, sehingga penulis melihat banyak orang menggunakan kata kepentingan ini dengan cara serampangan, namun ingat lah dan harus dipahami kampus tidak berperan untuk kepentingan salah satu paslon dan dirinya, tapi, gerakan kampus harus dipandang hadir sebagai pengembalian demokrasi agar berada dijalur edar nya kembali. Kalo kampus berdiam diri, maka disitulah pengkhianatan intelektual. Kampus itu akan tetap hadir semenjak ia mengenal kebenaran, karena kebenaran itu tetaplah kebenaran tidak bisa diukur dan tidak bisa ditawar, ketika kebohongan itu merajalela.