
Oleh: Nor Faizah Rahmi, S.PdI (Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Remaja)
Krisis pangan dunia sepertinya kian nyata. Jika dahulu impor beras sangat mudah, kini susah untuk dicari. Semua negara pun sibuk mengamankan keselamatan negaranya sendiri. Sebagaimana pengakuan bapak nomor satu di negeri ini. Saat ini, hanya ada satu negara (Kamboja) yang mau mengekspor beras, sedangkan 19 negara pengekspor lainnya sudah membatasi diri. Meskipun saat ini Indonesia memiliki 2 juta ton stok beras dan 400 ribu ton masih perjalanan, jumlah ini dinilai masih kurang untuk menghadapi krisis pangan mendatang. Akhirnya, impor beras sebanyak 250 ribu ton pun akan dilakukan. (Tempo, 15-9-2023).
Menurut Laporan Global Krisis Pangan 2023, negara Asia yang mengalami kerawanan pangan adalah Afghanistan, Bangladesh (Cox’s Bazaar), Myanmar, Pakistan (Baluchistan, Khyber Pakhtunkhwa, dan Sindh), dan Sri Lanka. Dari data tersebut, tampak jelas krisis pangan ada di depan mata. Namun, di bumi belahan lain, bagi yang tanahnya luas dan subur, serta teknologinya bagus, kelangkaan pangan masih belum terasa. Beberapa negara yang memiliki produksi lebih, seperti Cina, India, Bangladesh, Vietnam, Thailand, Myanmar, dan sebagainya, biasa menjual hasil panennya ke negara lain.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengumumkan sejumlah komoditas pangan yang akan diimpor. Ironisnya, sejumlah komoditas yang akan diimpor tersebut merupakan komoditas yang bisa diproduksi sendiri, seperti beras dan gula. Jika dicermati, asas pertanian adalah pada lahan agar produktivitasnya tinggi. Sementara saat ini, telah terjadi kapitalisasi lahan. Lahan tersebut banyak dimiliki oleh swasta atau korporasi, tetapi lahan tersebut tidak dimanfaatkan untuk pertanian.
Padahal, lahan tersebut memiliki potensi yang sangat besar untuk pertanian. Hal ini berpengaruh pada jumlah produksi pertanian. Terjadinya alih fungsi lahan berdampak besar terhadap penurunan produksi pertanian. Mengutip data dari Kementerian Pertanian, setidaknya terdapat alih fungsi lahan sebanyak 90—100ribu hektare per tahun dan berjalan sangat masif.
Oleh karena itu, pemerintah membuat kebijakan dengan menciptakan lahan baru untuk menggantikan alih fungsi lahan yang terjadi. Namun, lahan-lahan tersebut tidak mampu menggantikan produktivitas lahan pertanian yang sudah beralih fungsi. Alhasil, hasil pertanian tidak bisa memenuhi kebutuhan yang makin meningkat.
Pangan merupakan kebutuhan penting bagi suatu bangsa yang perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu upaya pemerintah memenuhi kebutuhan pangan adalah menerbitkan Peraturan Badan Pangan Nasional No. 11/2023 tentang Pola Pangan Harapan. Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi menyatakan aturan itu untuk memperkuat ketahanan pangan nasional dengan mengedepankan keberagaman konsumsi pangan dan keterpenuhan gizi.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu juga mengungkapkan bahwa Menkeu menganggarkan dana Rp104,3 triliun—Rp124,3 triliun untuk meningkatkan produksi pangan domestik 2024. Menurutnya, anggaran tersebut dipakai untuk ketersediaan, akses, dan konsumsi pangan berkualitas. Namun, Arief justru mengungkapkan bahwa negara hanya mengucurkan 0,6% dari total anggaran negara untuk bidang pangan. Selain anggaran, persediaan lahan juga tidak cukup luas karena hanya sebagian yang bisa dipakai untuk keperluan pertanian. (Katadata, 2-6-2023).
Jika melihat ke belakang, Indonesia merupakan negara kaya, baik dari sisi SDA ataupun SDM. Dengan kekayaan ini, logikanya akan mencukupi kebutuhan masyarakat. Hanya saja, kondisi masyarakat yang sebagian besar berada pada garis menengah ke bawah membuat mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat sulit membeli kebutuhan sehari-hari karena keuangan mereka terbatas, harga kebutuhan pokok melonjak, atau ketersediaan kebutuhan pokok langka.
Kesulitan keuangan itu terjadi karena gaji mereka kecil, usaha mereka gulung tikar, ataupun mengalami PHK. Semua itu mempersulit masyarakat memenuhi kebutuhannya. Ketahanan pangan juga berhubungan dengan ketersediaan bahan pokok. Pada kenyataannya, petani negeri ini mengalami kesulitan dalam bertani. Mereka susah mencari pupuk, kalaupun ada, harganya mahal. Mereka dihadapkan dengan hama tanaman yang merusak pertanian atau teknologi pertanian yang masih tradisional.
Di sisi lain, produktivitas lahan pertanian yang tersedia juga menurun akibat menurunnya kualitas tanah, dampak iklim, irigasi, kesulitan mendapatkan bibit terbaik, dan teknologi terbaik. — Tidak hanya itu, berbagai regulasi yang digulirkan pemerintah yang bergantung kepada kebijakan nasional menyebabkan keran impor tidak bisa ditutup. Ditambah lagi kebijakan pasar bebas. Masyarakat menjadi ketergantungan kepada produk impor yang rata-rata bisa didapatkan dengan harga murah, sehingga kedaulatan pangan hanya sekadar ilusi.
Alhasil, negara terus menyandarkan kebutuhan pangannya dari impor, padahal impor terus-terusan justru memperlihatkan kelemahan negara dalam mencukupi kebutuhan rakyat. Juga menunjukkan kalau kebijakan politik pertanian yang ada tidak mendukung kebutuhan rakyat, tetapi justru mendukung para konglomerat. Namun, selama kebijakan yang diambil berlandaskan materi (keuntungan) sebagaimana pandangan kapitalisme, negara tidak akan mampu menyelesaikan masalah secara tuntas.
Meski berbagai regulasi tertulis adalah untuk mewujudkan kedaulatan pangan, tetapi hal tersebut tidak sesuai dengan implementasai. Begitu pula dalam kebijakan hal lain. Hal ini wajar terjadi dalam negara yang memiliki prinsip dan pilar-pilar kapitalisme neoliberal. Negara dengan sistem kapitalisme liberal tidaklah memiliki konsep yang jelas serta peran negara juga sangat minim. Negara memosisikan diri sebagai regulator dan fasilitator, sedangkan pengurusan pangan diserahkan kepada perusahaan.
Padahal, negara memiliki tanggung jawab terhadap kemaslahatan rakyat, dalam hal ini menguatkan para petani dengan tidak memberi ruang kepada para pihak korporasi atau kepentingan tertentu di balik kebijakan impor. Pemerintah juga semestinya memberikan dukungan penuh terhadap para petani guna terwujudnya swasembada pangan dan menutup celah impor yang akan menyebabkan produk dalam negeri sulit bersaing.
Negara memastikan dan menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan setiap individu. Negara tidak boleh bergantung kepada pihak asing sehingga tercipta kemandirian dalam setiap kebijakan yang notabene untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Butuh negara yang memiliki visi misi jelas dalam menyelesaikan krisis dengan tidak menimbulkan masalah baru. Negara seperti ini hanya ada pada negara yang berlandaskan Islam, bukan kapitalisme.
Dalam sistem Islam, tingkat produksi dan konsumsi akan dijaga agar kebutuhan seluruh masyarakat bisa terpenuhi secara layak. Negara juga akan membangun ketangguhan dengan swasembada atau kemandirian bangsa. Kelebihan produksinya bisa diekspor atau dijual ke wilayah lain untuk mendapatkan keuntungan yang dimanfaatkan untuk mengurusi warga negaranya. Keuntungan tersebut juga untuk biaya operasional dalam mendukung visi negara, yakni menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia.
Tujuan penguasa melalui politik ekonomi Islam berbeda dengan para kapitalis yang hanya ingin memenuhi nafsu keserakahannya. Para kapitalis menciptakan jurang kemiskinan yang dalam antara si kaya dan miskin. Terjadi ketimpangan ekonomi. Modal dan keuangan hanya beredar di kalangan para oligarki yang akan menciptakan ekonomi yang tidak sehat dan rentan menimbulkan kontraksi sosial.
Sistem ekonomi Islam akan mengatur masalah produksi pangan (ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian), distribusi (kecurangan, praktik ritel, dll.), hingga konsumsi. Sistem keuangan Islam akan mengelola penghasilan negara (kharaj, ganimah, fai, jizyah, pengelolaan SDA) untuk keperluan masyarakat, terutama ketahanan pangan. Sistem sanksi Islam juga akan memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan kecurangan. Upaya sistem Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, Islam akan mengatur masalah lahan pertanian. Negara harus menjamin ketersediaan lahan pertanian dan tidak boleh mengizinkan lahan subur mengalami alih fungsi lahan. Negara juga tidak akan membiarkan lahan pertanian mati (tidak digarap pemiliknya). Jika terjadi demikian, negara akan mengambilnya dan memberikan kepada orang yang mampu mengelolanya. Kebijakan ini diterapkan berdasar hadis Rasulullah saw., “Orang yang memagari tanah, tidak berhak lagi (atas tanah tersebut) setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.”
Kedua, negara akan membuat kebijakan industri berbasis industri berat. Politik industri mengarah pada kemandirian industri dengan membangun alat-alat produksi sehingga dapat menopang teknologi untuk pertanian secara mandiri.
Ketiga, negara perlu memiliki kemandirian riset. Riset pangan dan teknologi dilakukan untuk meningkatkan produksi pangan yang akan dimanfaatkan masyarakat, bukan untuk bisnis atau keuntungan oligarki.
Keempat, seluruh kebijakan di atas perlu anggaran. Anggaran dalam Islam berasal dari baitulmal yang telah diatur sesuai dengan syariat Islam. Kelima, negara mengatur distribusi pangan. Setidaknya ada dua cara, yaitu mekanisme harga dan nonharga. Mekanisme harga maksudnya adalah negara memastikan harga pangan di pasar stabil dan terjangkau.
Selain itu, negara dalam sistem Islam akan menciptakan sistem transaksi yang adil yang bisa menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi secara terus-menerus dan ramah lingkungan. Sedangkan dalam sistem kapitalisme, produksi terus digenjot paksa untuk memenuhi ambisi para kapitalis. Negara dalam Islam juga tidak akan memproduksi barang di luar kebutuhan konsumsi masyarakat dunia. Dengan begini, masyarakat tidak akan mengonsumsi barang/jasa di luar kebutuhan dan dapat tercegah dari budaya konsumtif.
Negara akan melakukan pengawasan pasar hingga tidak terjadi penimbunan barang, kartel, penipuan, dsb. Saat negara menemui ketidakseimbangan penawaran dan permintaan, negara mengambil langkah intervensi pasar, seperti menyuplai barang yang langka. Khusus untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, negara akan mengeluarkan kebijakan nonharga. Negara akan memenuhi seluruh kebutuhan pokok selama mereka kesulitan bekerja, semisal karena sakit atau cacat.
Apabila seluruh aturan berjalan baik, negara dapat menjamin ketahanan pangan untuk rakyatnya. Hal ini tidak bisa dilakukan, kecuali negara mengambil Islam sebagai ideologinya, bukan kapitalisme yang lebih mementingkan para kapitalis. Jadi, jika ingin ketahanan pangan tidak sekadar angan-angan, kaum muslim wajib kembali kepada sistem Islam.