Oleh : Diana Safari (Pemerhati Kemasyarakatan)
Setiap tahunnya Indonesia menghadapi tantangan yang sama yaitu sebagai negara endemik dengue. Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) hingga minggu ke-52 tahun 2023 mencatat 98.071 kasus dengan 764 kematian. Demam berdarah dengue atau DBD adalah penyakit yang sangat urgent karena dapat menyebabkan kematian tanpa adanya pengobatan khusus. Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof dr Dante Saksono Harbuwono SpPD PhD menjelaskan Oleh sebab itu, lanjut Dante, Indonesia menjadi salah satu dari 30 negara endemik dengan kasus tertinggi.
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kalimantan Selatan sudah mencapai puluhan kasus. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan mencatat, ada 74 kasus DBD se-Kalsel, dengan kabupaten Banjar mencatatkan kasus paling banyak, yakni 13. Disusul Tabalong dan kota Banjarbaru dengan masing – masing 12 kasus. Data ini disampaikan Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Kalsel, dr. Diauddin, ggi. Sebagian besar kabupaten/kota mempunyai incidence rate > 10/100.000, tapi ada 26 kabupaten/kota yang sudah mencapai incidence rate > 10/100.000.
Total angka kasus DBD di Indonesia meningkat dari 73.518 orang pada 2021 menjadi 131.265 kasus pada 2022. Sementara untuk jumlah kematian juga meningkat dari 705 orang pada 2021 menjadi 1.183 orang pada 2022.
Jumlah kasus baru ataupun kematian tertinggi terjadi di Provinsi Jawa Barat. Kasus infeksi DBD di Jawa Barat sebesar 33.400 orang dengan kematian mencapai 285 orang, disusul Jawa Timur sebesar 12.123 orang dengan kematian 132 orang. Sementara angka kasus DBD di Jawa Tengah Karena itu, berbagai inovasi sebagai upaya pencegahan penularan diperlukan untuk menekan angka infeksi penyakit tersebut.
Mengapa DBD Kian Naik?
Saat ini Indonesia sedang mengalami pergantian musim. Yaitu musim kemarau ke musim penghujan. Pergantian musim itu ditandai dengan peningkatan demam berdarah. Banyak barang bekas di lingkungan berpotensi menampung air hujan seperti wadah minuman dan makanan yang berhamburan di jalan dan perumahan. Hal tersebut memudahkan nyamuk untuk berkembang biak. Anak-anak rentan sekali terkena sakit demam berdarah. Ketua dan Pendiri FNM Society, Prof Dr dr Nila Djuwita F A Moeloek SpM(K) mengatakan bahwa sinergi dan peran aktif masyarakat diperlukan untuk menanggulangi DBD, yang dimulai dari tingkat keluarga sebelum langkah nasional yang lebih besar. Pasien yang terlambat ditangani dapat berakibat fatal, bahkan menyebabkan kematian dan hal ini berisiko lebih tinggi pada anak-anak.
Puncak infeksi DBD terjadi saat fenomena El Nino—anomali iklim kering—yang membuat suhu lebih panas sehingga nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus lebih aktif. Hal ini terlihat dari kasus tahunan DBD pada 2016 dan 2019. Sementara untuk siklus bulanan cenderung meningkat saat musim hujan yang rawan terjadi genangan air, berkisar November hingga April.
Menurut Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Hartono Gunardi, ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang rentan terserang DBD. Saat anak yang pernah menderita DBD terinfeksi kembali, maka tubuhnya akan semakin rentan. Selain itu, obesitas dan komorbid bawaan cenderung memperparah kondisi DBD.
Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari penyuluhan pentingnya PSN 3M, hingga fogging (pengasapan dengan bahan insektisida untuk membunuh nyamuk dewasa dengan skala yang luas). Namun, mengapa wabah DBD trennya malah kian naik? Setidaknya ada tiga alasan.
Pertama, ruang hidup rakyat yang amat memprihatinkan. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), mayoritas masyarakat Indonesia tidak bisa mengakses rumah layak huni. Jangankan untuk bisa menjaga lingkungannya untuk tetap bersih dan sehat, tinggal di rumah layak huni saja masih sulit. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak memiliki rumah dan terpaksa menggelandang.
Kedua, mayoritas masyarakat Indonesia berpenghasilan rendah, alias miskin. Untuk bisa memenuhi asupan bergizi pada anak saja masih kesulitan, padahal agar penanganan DBD berhasil, imunitas tubuh harus terjaga, salah satunya dengan memberikan asupan bergizi pada anak. Sayangnya, jangankan asupan bergizi, untuk bisa makan kenyang saja masih kesusahan.
Ketiga, tidak adanya jaminan kesehatan yang mumpuni. BPJS bukanlah jaminan kesehatan sebab nyatanya rakyat masih harus membayar premi. Alhasil, masih banyak rakyat yang tidak mampu mengakses kesehatan dengan layak. Terlebih, birokrasi BPJS yang rumit sering kali menghambat terpenuhinya hak sehat bagi rakyat.
Wabah DBD mengancam keselamatan generasi.
Kementerian Kesehatan melaporkan 73 persen dari 1.183 kematian akibat demam berdarah dengue pada tahun 2022 adalah anak-anak berusia 0-14 tahun. Misalnya di Kalimantan Selatan, per 27 Januari 2024, sebanyak 1.062 orang terjangkit DBD dan 8 orang di antaranya meninggal dunia. Sebagian besar pasien yang dirawat adalah anak-anak usia 5—13 tahun. Dinkes Kalsel mengatakan bahwa Kasus DBD bulan ini meningkat signifikan dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun lalu. (Kompas, 1-2-2024)
Tidak ada tempat yang aman bagi anak-anak dari ancaman terkena DBD, sebab di manapun mereka bisa digigit nyamuk ini akibat lingkungan yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk. Pada beberapa kasus, gejala DBD pada anak dapat cepat memburuk dan bahkan berakibat fatal. Kondisi ini disebut dengue berat atau sindrom syok dengue.
Kasus ini sebetulnya jarang terjadi. Hanya 1 dari 20 orang yang sakit demam berdarah mengalami syok dengue berat. Tapi anak yang pernah menderita DBD sebelumnya berisiko tinggi mengalami sindrom syok dengue. Sindrom syok dengue terjadi ketika pembuluh darah rusak dan bocor. Jumlah trombosit dalam darah mengalami penurunan, sehingga bisa menyebabkan syok, perdarahan internal, kegagalan organ, bahkan kematian.
Tuntas dengan Islam
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin telah memiliki sejumlah mekanisme yang komprehensif untuk bisa mengatasi wabah. Pertama, Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap seluruh kebutuhan rakyatnya. Semua kebutuhan pokok, dari mulai sandang, pangan, papan, termasuk kesehatan, keamanan, dan pendidikan, akan bisa diakses oleh seluruh rakyatnya.
Misalnya, pembangunan perumahan wajib dikelola negara, adapun pelibatan swasta boleh saja hanya sifatnya membantu sehingga orientasi pembangunan adalah terpenuhinya kebutuhan papan warga, bukan bisnis. Kekuatan baitulmal negara juga akan mampu membangun perumahan layak huni bagi seluruh rakyatnya.
Begitu pun kebutuhan asupan bergizi, negara akan menjamin semua laki-laki pencari nafkah mendapatkan pekerjaan. Jika ada kepala rumah tangga yang tidak bisa mencari nafkah karena sakit atau cacat dan tidak ada kerabatnya yang bisa membantu, maka negara bisa turun untuk menyantuni keluarga tersebut.
Begitu pun sistem kesehatan yang dipegang langsung oleh negara, menjadikan akses kesehatan dapat dirasakan oleh semua warga. Fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan tersebar merata di seluruh wilayah. Alhasil, penanganan pasien yang terkena DBD, misalnya, akan dengan mudah dan cepat tertangani.
Oleh karena itu, jika kebijakan berfokus pada kemaslahatan umat, kebutuhan pokok rakyat akan terpenuhi, termasuk kesehatan. Ditambah dengan edukasi bahwa menjaga kesehatan adalah bagian dari perintah Allah Taala. Atas dorongan takwa, rakyat dengan ringan menjaga lingkungannya agar tetap bersih dan sehat. Inilah jaminan Islam untuk memberantas wabah dengan tuntas.
K