
JAKARTA – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengklaim angka backlog kepemilikan rumah di 2023 mengalami penurunan di 2023 yakni 9,9 juta unit.
Hal itu merujuk data Survei Sosial Ekonomi (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, angka backlog kepemilikan rumah mengalami penurunan dari 2022 sebesar 10,51 juta menjadi 9,9 juta unit.
Dalam pemaparan Kementerian PUPR dalam Rakernas Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat pada pertengahan Desember tahun lalu, angka backlog terus mengalami tren penurunan. Di 2021, angka backlog berada di level 12,72 juta unit, menurun dari tahun 2020 yang berada di level 12,75 juta hunian. Penghitungan data backlog perumahan menggunakan dua pendekatan yakni kepemilikan rumah dan kelayakan huni. Untuk diketahui, backlog adalah kesenjangan antara jumlah rumah terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Backlog dihitung berdasarkan kebutuhan satu unit rumah untuk satu rumah tangga atau kepala keluarga (KK).
Merujuk data BPS, kepemilikan rumah sendiri baik di perdesaan dan perkotaan pada 2023 mencapai 84,79%, meningkat dari tahun 2022 yang sebesar 83,99% dan di 2021 mencapai 81,08%.
Ketua Umum Real Estate Indonesia (REI) Joko Suranto mempertanyakan angka backlog hunian saat ini yang mencapai 9,9 juta hunian.
Pasalnya, setiap tahunnya kemampuan pengembang dalam membangun rumah subsidi hanya sekitar 220.000an unit ditambah rumah komersial mencapai sebanyak 200.000 unit.
Menurutnya, pendekatan, instrumen, dan anggaran dalam membangun rumah sama sehingga tak mungkin jika angka backlog mengalami penurunan yang drastis. “Jangan bingungkan diri sendiri, memperdaya pembangunan perumahan karena itu angkanya beda,” ujarnya.
Joko menilai untuk menuntaskan angka backlog ini diperlukan update pendataan yang benar. Pasalnya, selama ini kepastian data jumlah masyarakat yang belum memiliki rumah pertama beserta wilayahnya masih simpang siur.
Selain itu, Pemerintah juga akhirnya merilis aturan turunandari UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) mengenai harmonisasi kebijakan fiskal nasional.
Aturan baru yang rilis yakni Peraturan Pemerintah (PP) No.1/2024 tentang harmonisasi kebijakan fiskal nasional, yang menjadi turunan dari sejumlah ketentuan dalam UU HKPD, seperti sinergi pendanaan, pembiayaan utang daerah, dan dana abadi daerah.Salah satu sorotan yang menarik, PP ini menjelaskan kemungkinan daerah melakukan pembiayaan utang tersendiri, melalui tiga hal, yakni pinjaman daerah, obligasi daerah, dan sukuk daerah. Pemerintah pusat menegaskan pemda masih belum boleh mengambil utang dari luar negeri, tetapi utang dari APBN dan melalui penerbitan surat utang daerah dimungkinkan. bisn/mb06