Oleh: Hayatun Izati Annisa (Aktivis Muslimah))
Tahun ini peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) dilaksanakan pada tanggal 12-13 Desember 2023. Peringatan Hakordia 2023 mengusung tema Sinergi Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju. Faktanya, Korupsi di Indonesia agaknya telah menjadi persoalan yang amat kronis. Masalah korupsi di negeri ini tiada hentinya, bahkan semakin bertambah.
Dilansir bbc news Indonesia, Ketua KPK nonaktif, Firli Bahuri, menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka atas tuduhan pemerasan mantan menteri pertanian, Syahrul Yasin Limpo – yang saat ini mendekam di penjara karena sangkaan menerima suap. Pada saat hampir bersamaan, Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi sebesar Rp15 miliar. Kemudian, Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej juga menyandang status tersangka karena dugaan menerima suap dan gratifikasi.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Diky Anandya, menilai kasus-kasus elite ini menurunkan citra penegakan hukum di bidang korupsi. Diky Anandya, mengatakan banyaknya kasus yang menjerat petinggi negara pada era pemerintahan sekarang, merupakan bentuk kegagalan pemerintahan saat ini untuk menghadirkan kultur pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi. Sementara itu, seorang praktisi hukum menengarai rentetan penangkapan terhadap petinggi negara belakangan ini bukan murni penegakan hukum, tapi ada kepentingan politis.
Diky juga menyinggung Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia yang mengalami kemunduran sejak mencapai puncaknya pada 2019, dengan skor 40 poin. Ini merupakan skor tertinggi sejak dua dekade. Skala IPK membentang antara 0-100. Semakin mendekati nol, semakin banyak pula korupsi negara tersebut. Begitu pun sebaliknya. Ia memperkirakan IPK Indonesia 2023 akan kembali merosot, salah satunya karena rangkaian kasus elite yang tersandung kasus korupsi. “Ini akan memalukan Indonesia di mata global, terutama dalam upaya penegakan hukum, pemberantasan korupsi mengecewakan,” tutur Diky. (bbc.com,2/12/2023)
Maka, Tak heran bahwa korupsi tumbuh subur di negeri ini. Korupsi bukan lah permasalahan individu tetapi permasalahan sistemik. Inilah potret buram demokrasi. sistem pemerintahan demokrasi memang melahirkan pejabat korup di semua sisi, diakui maupun tidak. Dari korupsi kelas teri seperti pungli, hingga kelas kakap seperti suap miliaran. Di sisi lain, sistem sekularisme tidak membentuk ketakwaan individu yang menjadikan tiap individu mampu menjaga diri dari godaan harta dunia dan saling menasihati antarindividu jika ada yang berbuat curang atau menipu rakyat. Yang terjadi, justru melakukan korupsi berjamaah tanpa malu dengan perbuatan maksiatnya.
Selain itu, praktik oligarki berkembang luas yaitu ketika kekuasaan negara ada di tangan elit minoritas untuk memonopoli kekayaan. Terbukti dalam praktik demokrasi, kekuasaan selalu dipangku oleh kaum elit, yaitu para kapitalis, elit partai dan kelas politik. Undang-undang dibuat oleh manusia dengan mengedepankan nafsunya. Penguasa dan pengusaha memiliki kewenangan khusus untuk seenaknya membuat dan mengubah undang-undang yang akan meloloskan mereka dari jerat hukum. Selama kedaulatan di tangan penguasa dengan mengatasnamakan rakyat, kasus korupsi akan langgeng dan pelakunya akan melenggang mulus tanpa hambatan.
Suburnya korupsi tak bisa dilepaskan dari sistem politik yang digunakan. Negara yang menerapkan sistem politik demokrasi dipastikan menjadi lahan subur tumbuhnya korupsi. Mengapa bisa demikian? Sebagaimana diketahui, dalam sistem politik demokrasi rakyat diberikan kedaulatan penuh membuat undang-undang. Kalau manusia diberikan hak untuk membuat sebuah peraturan, maka produk hukum yang dihasilkan berpeluang memiliki kecenderungan kepentingan. Walhasil, politik yang dilakukan bukanlah politik pelayanan kepada masyarakat melainkan kepada kepentingan individu atau kelompok. Tidak hanya itu, mahalnya politik demokrasi semakin mengukuhkan prilaku korupsi. Pemilu yang memakan dana milyaran bahkan sampai triliunan meniscayakan adanya praktik jual beli suara dan pendanaan dari kapitalis besar. Calon penguasa membutuhkan sokongan dana dari pihak lain untuk membiayai pencalonannya. Pihak lain ini para pengusaha atau cukong yang mampu menggelontorkan dana besar, yang mana dana tersebut tentu tidak diberikan secara percuma. Para kapitalis tentu menginginkan kompensasi maksimal mulai dari tender berbagai proyek hingga perubahan regulasi guna kepentingan sang donatur dana. Alhasil, negara demokrasi berubah menjadi korporatokrasi yaitu pemerintahan yang disetir oleh korporasi. Akibatnya rakyatlah menjadi korban keserakahan para kapitalis. Kekayaan alam rakyat direbut secara legal atas nama regulasi yang dilegitimasi demokrasi. Jelaslah, bahwa korupsi pasti tumbuh subur di lahan demokrasi. Maka, upaya mempertahankannya sama saja mempertahankan ketidakadilan. Oleh karena itu, sistem ini sebenarnya tidak bisa dipertahankan.
Islam Jalan Tuntas Pemberantasan Korupsi
Islam memiliki solusi tuntas dalam memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya, yaitu adanya peran negara, masyarakat, dan individu yang memiliki integritas dalam memberangus setiap kejahatan dan kemaksiatan, termasuk korupsi. Solusinya adalah sebagai berikut.
Pertama, Islam membentengi individu dengan ketakwaan kepada Allah SWT. Ketakwaan individu bisa mencegah seseorang untuk tidak melakukan kejahatan seperti korupsi baik saat mendapat tekanan maupun karena terbuka peluang, karena sistem yang baik akan melahirkan individu yang baik. Sistem kehidupan sekuler menghasilkan pemimpin rakus, tidak takut dosa, serta berkhianat atas kepemimpinannya.
Sistem demokrasi yang berbiaya mahal juga turut andil menyuburkan korupsi, sedangkan Islam akan membina setiap individu dengan ketakwaan hakiki. Dengan keimanan tersebut, ia akan terjaga dari perbuatan maksiat dan dosa.
Kedua, Adanya lingkungan yang kondusif. Dalam Islam, pembiasaan amar makruf nahi mungkar akan senantiasa diberlakukan. Masyarakat menjadi penjaga sekaligus pengawas diterapkannya syariat. Jika ada anggota masyarakat yang berbuat kriminal atau korupsi, mereka dengan mudah bisa melaporkannya pada pihak berwenang. Kondisi saling menasihati dan berbuat amal saleh seperti ini akan tercipta seiring tegaknya hukum Islam di tengah mereka. Individu bertakwa dan adanya masyarakat yang berdakwah akan menjadi kebiasaan yang mampu menyokong negara dalam menjalankan perannya sebagai pelaksana hukum Islam.
Ketiga, negara menegakkan sistem sanksi Islam memiliki dua fungsi, yaitu sebagai penebus dosa dan efek jera. Untuk kasus korupsi, sanksi yang berlaku adalah takzir, yakni sanksi yang khalifah berwenang untuk menetapkannya. Takzir bisa berupa hukuman penjara, pengasingan, diarak dengan disaksikan seluruh rakyat, hingga hukuman mati, tergantung tingkat perbuatan korupsi serta kerugian yang ia timbulkan.
Dalam demokrasi, lembaga pemerintahan sangat rentan korupsi karena perilaku korup yang sudah membudaya. Hukum pun bisa diperjualbelikan sesuai besaran suap yang diterima. Sedangkan Islam, ada lembaga yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat, yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Untuk mengetahui apakah pejabat dalam instansi pemerintahan itu melakukan kecurangan atau tidak, maka akan ada pengawasan ketat dari Badan Pengawasan atau Pemeriksa Keuangan. Tidak akan ada jual beli hukum. Seluruh lembaga dan perangkat hukumnya hanya menggunakan hukum Islam sebagai perundang-undangan negara. Ketika hukum yang digunakan adalah aturan Allah, celah untuk mempermainkan hukum pun mustahil terjadi.
Sebagai contoh dalam hukum Islam dengan perhitungan kekayaan dan pembuktian terbalik, yakni tinggal hitung kekayaan pejabat sebelum dan setelah menjabat. Jika terdapat kelebihan harta yang tidak wajar, si pejabat harus membuktikan dari mana harta itu didapat. Jika tidak bisa membuktikan, inilah yang disebut korupsi.
Sebagaimana telah dilakukan oleh khalifah Umar bin Khaththab menjadi cara yang bagus untuk mencegah korupsi. Semasa menjadi khalifah, Umar menghitung kekayaan para pejabat di awal dan di akhir jabatannya. Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, dari yang bersangkutan, bukan jaksa atau orang lain, diminta membuktikan bahwa kekayaan yang dimilikinya itu didapat dengan cara yang halal.
Jika gagal, Umar memerintahkan pejabat itu menyerahkan kelebihan harta dari jumlah yang wajar kepada baitulmal, atau membagi dua kekayaan itu separo untuk yang bersangkutan dan sisanya untuk negara. Cara inilah yang sekarang dikenal dengan istilah pembuktian terbalik yang sebenarnya sangat efektif mencegah aparat berbuat curang.
Demikianlah, jalan Islam mampu mewujudkan sistem antikorup secara tuntas. Namun hal itu bisa terwujud jika Islam diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a’lam bish-shawwab.