
Sejak awal permohonan uji materil Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diajukan ke MK telah menjadi sorotan publik, dan menimbulkan tafsir yang sangat liar dikalangan masyarakat. Banyak yang menilai bahwa dalam permohonan a quo adalah bentuk ambisi Presiden Indonesia yang ingin meloloskan anak kandungnya untuk mengikuti pertarungan di kancah nasional sebagai calon Wakil Presiden RI. Kemudian Yang Mulia Ketua MK yang statusnya sebagai suami dari adik kandung Presiden Jokowi, dianggap akan menghadapi situasi benturan kepentingan dan dapat mempengaruhi pertimbangan dalam memutus perkara a quo. Isu ini menjadi bola liar yang terus bergulir ditengah masyarakat.
Senin (16/10/2023) putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan secara tidak bulat telah mengabulkan sebagian permohonan mengenai Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, hal ini terkait batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden dengan menambahkan klausul pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah. Dalam putusan tersebut, Hakim Konstitusi memliki pandangan yang berbeda-beda, sebanyak lima Hakim Konstitusi menyetujui putusan mengabulkan permohonan syarat pendaftaran capres-cawapres, dua hakim konstitusi diantaranya memiliki alasan berbeda (concurring opinion), dan empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Putusan ini dinilai oleh banyak kalangan mengandung sejumlah kejanggalan dan sarat akan kepentingan politik. Bahkan pemohon dalam permohonannya menyebutkan terinspirasi oleh salah seorang tokoh yang disebutkan langsung namanya yaitu Gibran Rakbuming Raka yang saat ini menjabat sebagai Walikota Solo. Putusan ini juga membuka peluang bagi idolanya tersebut menjadi cawapres di 2024, karena putusan MK itu yang bersifat final and binding. Artinya sejak ketokan palu hakim yang mengabulkan permohonan tersebut, maka ketentuan tersebut langsung berlaku pada saat itu.
Putusan Mahkamah Konstitusi ini juga telah mempermainkan perasaan publik, mengubah subtansi putusan dengan materi pengujian pasal yang sama secara drastis. Dimana Mahkamah Konstitusi telah membacakan tujuh permohonan uji materil Pasal 169 Huruf q UU Pemilu. Enam permohonan ditolak, namun Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan oleh seorang mahasiswa asal Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru. Padahal pasal yang dipersoalkan dan permohonan yang disoalkan relatif sama dari ketujuh permohanan tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi ini sangat dramatis, seolah-olah menolak namun ujungnya mengabulkan.
Mahkamah Konstitusi tidak konsisten dalam memutus permohonan ini, yang awalnya memposisikan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy). Hal ini semestinya menutup ruang terhadap tindakan lain, selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Namun tiba-tiba konsistensi hakim goyah, terhadap permohonan lain dengan persoalan yang sama, hakim berubah pandangan dengan mengabulkan sebagian permohonan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Kemudian Mahkamah Konstitusi juga telah bertindak terlampau jauh dalam mengabulkan putusan tersebut. Menambahkan norma baru pada Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, padahal dalam petitium yang diajukan pemohon tidak ada frasa “pernah/sedang”. Hakim konstitusi menambahkan sendiri melebihi permohonan, padahal tidak ada argumentasi yang sangat kuat apabila ditemukan fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat.
Benarkah MK masih bersih? Permohonan ini berhubungan dengan independensi MK di hadapan politik. Jika membaca disennting opinion hakim konstitusi lebih banyak meluapkan kekecewaan dan kemarahannya. Dan jika dicermati dissenting opinion tersebut, terdapat dua gelombang putusan MK. Dimana pada gelombang pertama hakim konstitusi sepakat menolak permohonan. Putusan ini diambil oleh delapan orang hakim konstitusi, tanpa dihadari Ketua MK Anwar Usman dengan alasan ingin menjaga dirinya dari politik kepentingan.
Namun tiba-tiba Ketua MK yang awalnya konsisten tidak terlibat dalam memutus perkara, seketika berubah pada putusan permohonan terakhir yang dalam permohonannya menyebutkann nama Gibran Rakabuming Raka itulah Anwar Usman masuk. Dan permohonan inilah yang merubah pandangan hakim yang semulanya berteguh hati menganggap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang (open legal policy) secara tiba-tiba berubah.
Saya menilai bahwa putusan MK telah merusak wajahnya sendiri sebagai lembaga negara pengawal demokrasi. Seharusnya mereka bebas dari segala bentuk intervensi dan konflik kepentingan. Bahkan dalam dissenting opinion Prof. Saldi Isra, ia menyatakan “Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat, sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak berbagai political questions yang pada akhirnya akan meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah Konstitusi?” tandasnya. Jika seorang Wakil Ketua MK saja risau dan mempertanyakan quo vadis lembaga yang ia pimpin, maka menjadi wajar jika publik mempertanyakan putusan ini.
Putusan yang aneh bin ajaib ini merupakan peruntuhan lembaga yudikatif Mahkamah Konstitusi. Kewarasan logika negara hukum diubah menjadi cacat logika hukum. Apa yang dimuat didalam putusan sangat telanjang, kita dapat melihat itu sebagai suatu akal-akalan yang menyesatkan. Prasa 40 tahun dengan menambahkan klausul pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah, itu secara jelas ditujukan kepada seseorang. Mahkamah Konstitusi telah merobohkan temboknya sebagai benteng konstitusi. Membuat putusan manipulatif untuk mengakali konstitusi yang ada, sehingga dapat kita maknai sebagai sebuah putusan dari permintaan-permintaan yang berkembang sebagai isu selama ini. Sehingga tak heran banyak masyarakat yang memplesetkan bahwa MK adalah akronim dari Mahkamah Keluarga.