Oleh: Agustina, M.Pd (Praktisi Pendidikan)
Perilaku anak-anak dari generasi saat ini semakin menjauhi nilai-nilai agama. Indonesia, yang kaya akan warisan budaya Timur, tampaknya telah melupakan akar budaya timur yang memiliki kekhususan dalam etika dan perilaku yang terhormat, yang merupakan cerminan dari keyakinannya. Generasi saat ini dengan mudah terpancing emosi dan terlibat dalam tindakan anarkis yang dapat membahayakan orang lain, bahkan beberapa di antaranya telah menjadi pelaku kejahatan yang kejam. Seperti seorang anak yang tega menusuk berkali-kali pada ibu kandungnya sendiri dan melukai sang ayah hanya karena rasa kesal dan jengkel terhadap ucapan sang ibu padanya. Sebagaimana dilansir dari liputan6.com (12/8/2023)
Belum lagi perilaku generasi dalam hal pergaulan, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat bahwa sekitar 20 persen remaja Indonesia dalam rentang usia 14 hingga 15 tahun seringkali terlibat dalam hubungan seksual di luar pernikahan. Kemudian, sebanyak 60 persen dalam rentang usia 16 hingga 17 tahun juga demikian. Sementara itu, sekitar 20 persen dalam usia 19 hingga 20 tahun turut terlibat dalam aktivitas serupa.
Masih ada daftar kerusakan lainnya yang membelit generasi. Sehingga harus menjadi perhatian serius untuk menyelamatkan generasi dari kehancuran. Melihat permasalahan ini semakin meningkat padahal di satu sisi sudah banyak Upaya yang dilakukan namun sepertinya tidak menyelesaikan malah memperparah, karena angka kerusakan senantiasa meninggi. Apa yang terjadi?
Pertama, generasi menghadapi krisis identitas. Sudah umum diketahui bahwa generasi tampaknya kehilangan arah dan esensi mereka sebagai individu beragama. Sistem sekuler telah berperan dalam merusak identitas tersebut, menjadi pribadi yang hanya mengikuti tren dan budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai agama. Sebagian besar dari mereka mungkin kurang memahami agama mereka sendiri, yang mengakibatkan pandangan mereka terhadap kehidupan hanya terfokus pada kesenangan, mengadopsi gaya hidup hedonis liberal, dan sering kali melanggar prinsip halal-haram demi mencapai kepuasan materi.
Setiap manusia, termasuk generasi muda pasti menginginkan untuk mengaktualisasikan diri mereka dalam masyarakat agar dapat diakui. Namun, jika eksistensi diri mereka tidak dipandu oleh pemikiran yang benar, maka hakikat identitas mereka sebagai generasi Islam dan hamba Allah yang berkewajiban untuk taat dan mengikuti aturan Islam dapat terkikis.
Kedua, kontrol diri yang lemah. Pengaruh sistem sekuler sangat berdampak pada keimanan dan ketakwaan. Akidah sekuler telah menghilangkan peran generasi sebagai pelaku perubahan. Mereka justru menjadi pelaku maksiat dan kriminal. Jiwa mereka tereduksi pemikiran sekuler liberal. Batinnya kering dan kosong dari keimanan dan nilai-nilai Islam. Jadilah mereka generasi yang mudah frustrasi, galau, bingung, emosi labil, cenderung meledak-ledak, merasa insecure, dan nirempati. Saat masalah menghinggapi, solusi sumbu pendek dilakukan, seperti tawuran, pengeroyokan, bunuh diri, bahkan pembunuhan.
Pendidikan dalam Islam merupakan upaya sadar dan terstruktur, serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi. Itulah tujuan pendidikan Islam. Asasnya adalah akidah Islam. Asas ini berpengaruh dalam penyusunan kurikulum pendidikan, sistem belajar mengajar, kualifikasi guru, pengembangan budaya, dan interaksi di antara semua komponen penyelenggara pendidikan. Pendidikan berbasis sistem Islam memadukan tiga peran sentral yang berpengaruh pada proses perkembangan generasi.
Pertama, keluarga. Dalam hal ini, orang tua adalah ujung tombak lahirnya bibit unggul generasi. Keluarga adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Setiap keluarga yang menginginkan anak-anaknya cerdas dan bertakwa wajib menjadikan akidah Islam sebagai basis dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Setiap anak harus dibekali keimanan dan kecintaan yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan bekal iman inilah akan terbentuk ketakwaan dalam diri mereka yang dapat mencegahnya dari berbuat maksiat.
Kedua, masyarakat. Dalam sistem Islam, perilaku masyarakat akan selalu kondusif. Jika masyarakatnya bertakwa, amar makruf nahi mungkar akan berjalan secara efektif. Dengan lingkungan masyarakat yang senantiasa mengajak pada ketaatan, suasana tersebut akan berdampak positif pada generasi. Tabiat dasar anak adalah meniru dan mencontoh yang mereka lihat di lingkungan masyarakat. Jika masyarakatnya baik, individu pun ikut baik.
Ketiga, negara. Tugas negara adalah menyelenggarakan pendidikan secara komprehensif. Negara wajib menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai, mulai dari kurikulum berbasis akidah Islam, sarana dan prasarana, pembiayaan pendidikan, tenaga pengajar profesional, hingga sistem gaji guru yang menyejahterakan. Negara juga melakukan kontrol sosial dengan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan sistem Islam kafah. Negara menegakkan sanksi bagi para pelanggar syariat, seperti pelaku tawuran, pezina, atau pelaku maksiat lainnya.
Negara selaku penyelenggara sistem pendidikan turut bertanggung jawab atas masa depan generasi. Bangkit dan runtuhnya sebuah peradaban bisa kita lihat dari kualitas generasi mudanya. Oleh sebab itu, Islam memberikan perhatian penting di sektor pendidikan. Ada dua aspek, yakni preventif dan kuratif. Dari aspek preventif, negara akan melakukan langkah berikut.
Pertama, menyusun dan menerapkan kurikulum pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan kurikulum ini, semua perangkat pembelajaran akan merujuk pada penguatan akidah dan pemikiran Islam pada generasi. Penanaman dan pemahaman konsep bahwa Islam mengatur kehidupan harus diberikan sejak pendidikan prabalig hingga pendidikan tinggi. Dengan begitu, generasi kita akan tergambar cara harus bersikap dan beramal sesuai tuntunan Islam.
Kedua, pembiasaan amar makruf nahi mungkar di lingkungan keluarga dan masyarakat. Masyarakat sebagai tempat generasi tumbuh dan berkembang harus menjadi kontrol sosial yang efektif. Dengan penegakan aturan sosial sesuai syariat Islam, masyarakat lebih mudah memberikan kontrol dan pengawasan terhadap perilaku maksiat dan kriminal. Angka kriminalitas dapat dicegah dan diminimalisasi dengan peran aktif masyarakat dalam berdakwah.
Ketiga, memenuhi kebutuhan pokok bagi setiap individu secara layak. Pendidikan adalah hak setiap anak. Negara akan memenuhi hak anak mendapat pendidikan dengan biaya murah bahkan gratis. Para Ibu juga bisa berfokus diri mendidik anak-anaknya karena kewajiban nafkah hanya akan dibebankan kepada laki-laki. Negara akan membuka lapangan kerja dan memberi peluang hingga modal berwirausaha bagi laki-laki agar mampu memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Tidak akan ada bias fungsi peran ayah dan ibu karena negara memberdayakan mereka sesuai tupoksi syariat Islam. Dari aspek kuratif, negara akan menegakkan sanksi berdasarkan ketentuan syariat Islam. Jika anak sudah akil balig, ia menanggung perbuatannya sendiri. Siapa pun pelakunya, usia remaja ataupun dewasa, akan diberlakukan sanksi yang sama. Dalam Islam, usia remaja sudah terkategori sebagai mukalaf, yaitu orang yang terkena taklif syarak. Artinya, perbuatan mereka terikat dengan syariat.
Dengan demikian, beberapa langkah penyelesaian di atas bisa dijalankan ketika kita mau menjalankan syariat Islam secara totalitas dalam sebuah negara Islam. Untuk itu, semua Upaya ini akan mampu mewujudkan generasi yang kuat dan Tangguh dalam kancah kehidupan.