Oleh: Nor Aniyah, S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Karhutla di Tanah Air seringkali terjadi setiap tahun saat musim kemarau. Menurut data lembaga nirlaba Madani Berkelanjutan, jika diakumulasikan selama periode Januari-Agustus 2023 total luas area indikatif karhutla nasional sudah melampaui 25.000 hektare. Angka ini lebih tinggi dari tahun lalu yang menurut data KLHK total luas karhutla nasional sepanjang 2022 hanya 204.894 hektare (katadata.co.id).
Malaysia pun menuding kebakaran hutan di Indonesia yang kembali meningkat dalam beberapa waktu terakhir telah menyebabkan kabut asap yang memperburuk kualitas udara di beberapa wilayah negeri Jiran (cnnindonesia.com). Tak hanya Malaysia, kekhawatiran soal kabut asap juga dirasakan tetangga Indonesia lainnya, yakni Singapura. Singapura mewanti-wanti warganya kemungkinan menghadapi polusi udara yang memburuk menyusul peningkatan titik api kebakaran hutan dan lahan yang terdeteksi di Sumatera dalam beberapa hari terakhir (cnnindonesia.com). Pusat Khusus Meteorologi ASEAN (ASMC) yang berbasis di Singapura melacak kabut asap di Asia Tenggara, melaporkan bahwa citra satelit menunjukkan 52 titik api kebakaran hutan di Sumatera dan 264 di Kalimantan (kumparan.com).
Melihat dampak karhutla yang begitu luas dan merugikan masyarakat, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi terhadap upaya penanganan yang selama ini telah berjalan. Sebab, kasus karhutla yang berulang menunjukkan minimnya penanganan yang dilakukan. Permasalahan karhutla sejatinya bukan persoalan teknis semata, tetapi persoalan sistemis. Pasalnya, upaya yang sudah dilakukan pemerintah nyatanya belum berhasil mencegah terjadinya karhutla hingga kini.
Sementara pada saat yang sama, pembukaan lahan gambut termasuk deforestasi untuk kepentingan bisnis masih terus berjalan. Undang-undang yang berlaku pun membolehkan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan dengan beberapa ketentuan. Alhasil, kebakaran hutan terus mendegradasi lahan meski upaya restorasi terus dilakukan pemerintah.
Izin konsesi kawasan hutan yang diberikan kepada korporasi telah menyebabkan persoalan karhutla terjadi. Pemberian konsesi ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Dengan kata lain, negara melegalkan pemberian hingga pengelolaan sumber daya alam, termasuk hutan kepada swasta.
Selain itu, sistem kapitalisme juga melahirkan pemerintah yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Pemerintah dibatasi perannya sebagai regulator dan fasilitator, yaitu pembuat regulasi atau undang-undang. Padahal merekalah yang seharusnya menjadi penanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya, termasuk menjauhkan dari bahaya kebakaran hutan.
Di sisi lain, kekayaan alam lebih banyak dinikmati segelintir orang, yakni para pengusaha dan korporasi asing dan aseng. Merekalah yang selama ini menguasai sebagian besar sumber daya alam (SDA) seperti barang tambang (emas, perak, nikel, tembaga, bijih besi), energi (seperti batubara) dan migas (minyak dan gas). Para oligarki pun menguasai sebagian besar lahan, termasuk hutan. Total luas area lahan yang mereka kuasai ratusan ribu bahkan jutaan hektar.
Oleh karena itu, selama sistem pengelolaan hutan menggunakan konsep kapitalisme yang mengedepankan keuntungan ekonomi dan setiap manusia diberi kebebasan untuk menguasai aset-aset ekonomi tanpa batas, maka mustahil pengrusakan hutan bisa dihentikan. Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan persoalan karhutla adalah dengan menerapkan konsep Islam kaffah di dalam naungan Khilafah. Sebab, Khilafah memilikk landasan kehidupan Islam yang berasal dari Al-Khaliq sebagai Dzat yang sangat memahami manusia dan alam semesta.
Keseriusan mitigasi adalah satu keniscayaan dalam negara Islam, mengingat larangan untuk membawa kemadharatan bagi setiap insan. Islam mewajibkan negara menjadi pelindung bagi rakyat terhadap berbagai bahaya yang mengancam di antaranya melalui kebijakan yang komprehensif dan solutif serta efektif.
Dalam menjalankan pemerintahan Khilafah hanya menggunakan syariat Islam. Konsep dan kebijakan-kebijakan yang diambil sangat bertolak belakang dengan kapitalisme neoliberal hari ini. Dalam Islam, tidak ada kebebasan yang bersifat mutlak, tetapi seluruh manusia wajib terikat dengan seluruh aturan syariat. Oleh karena itu, pemanfaatan berbagai harta kepemilikan yang ada harus mengikuti status kepemilikannya. Dalam Islam, hutan adalah milik umum dan tidak diperbolehkan memberikan izin pengelolaan kepada swasta.
Hutan boleh dimanfaatkan secara langsung dan bersama-sama oleh seluruh masyarakat. Namun, apabila dinilai berpotensi menimbulkan kerusakan atau konflik di tengah masyarakat maka pengelolaan ini wajib diambil alih negara. Hanya saja pengelolaan yang dilakukan negara bukan dengan tujuan bisnis, akan tetapi hasil pengelolaanya wajib dikembalikan kepada rakyat baik secara langsung ataupun dalam bentuk fasilitas publik.
Agar pengelolaan ini bisa berjalan dengan benar dan memberikan manfaat yang besar kepada rakyat, maka negara yang mengelolanya pun adalah negara yang menggunakan paradigma Islam. Di mana Islam menetapkan bahwa negara berfungsi sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (pelindung). Oleh karena itu, pengaturan dan pengelolaan yang dilakukan negara sampai kebijakan-kebijakan teknis yang dikeluarkannya semata-mata untuk mengurusi kehidupan rakyatnya dan menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok rakyatnya, bukan untuk mengambil keuntungan.
Dalam mengelola dan memanfaatkan hutan, Khilafah juga wajib memperhatikan aspek keamanan dan kemudharatan yang ditimbulkannya. Sebab, Rasulullah Saw bersabda, “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.” (HR. Al-Baihaqi).
Sebagaimana dipahami, hutan memiliki banyak fungsi ekologis. Oleh karena itu, Khilafah akan mengkaji jika pemanfaatan hutan di sebuah wilayah akan menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat, maka Islam diperbolehkan untuk menetapkannya sebagai kawasan Hima dalam rangka konservasi. Kawasan Hima ini pun secara otomatis tidak boleh dieksplorasi untuk memberikan kemanfaatan lebih luas dalam jangka panjang bagi kehidupan masyarakat. Dengan model pengelolaan hutan sesuai tuntunan Islam inilah terjadinya karhutla dapat dicegah agar tidak terulang kembali.
Allah SWT berfirman: “Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu. Karena itu Kami menyiksa mereka disebabkan perbuatan mereka itu.” (TQS. al-A’raf [7]: 96).
Islam diturunkan bukan hanya untuk umat Islam tapi sebagai rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh alam. Islam bisa menjadi rahmat bagi semesta alam jika diterapkan secara kaffah. Sudah semestinya, manusia berjalan di muka bumi berdasarkan aturan Allah sebagai wujud penghambaan kepada Allah semata. Hal ini akan terwujud hanya dengan aturan Islam.[]