Jika ditanya untuk apa kamu menikah? Jawaban umum yang sering saya dengar adalah “agar kita hidup bahagia”. Baginya, saat dipelaminan adalah waktu bahagia. Orang tersenyum, berfoto dan memamerkannya. Ia dilantik menjadi orang bahagia. Akan tetapi apakah pernikahan selalu membuat orang bahagia? Jawabannya tidak. Pernikahan sering menjadi dua titik ekstrim; surga dunia dan neraka dunia. Ada orang yang sangat bahagia, ada pula yang sangat menderita.
Yang pasti, tidak ada pernikahan yang 100% indah. Pasti ada konflik, pasti ada yang menyakitkan. Ada yang sanggup melampauinya dan hidup bahagia. Ada yang berpura-pura bahagia. Ada yang menganggapnya misteri. Bahkan, lebih parahnya, ada yang menderita sepanjang sisa hidupnya, tetapi terus mempertahankan pernikahannya. Apakah ini yang dinamakan pernikahan bahagia ?
Demikian pula halnya dengan urusan punya anak. Anak adalah sumber kebahagiaan. Yang belum punya anak akan mati-matian berupaya supaya dapat anak. Oleh orang disekitar, mereka akan diinterogasi kapan akan beranak-pinak. Lalu, apakah semua orang bahagia setelah punya anak? Jawabannya banyak yang bahagia, tapi juga tidak sedikit yang depresi. Saat anak masih bayi, tengah malam mesti bangun untuk menyusui atau mengganti popok. Waktu banyak tersita untuk keperluan anak.
Sama, sukses bisa membuat orang bahagia. Mendaki jenjang karir hingga ke puncak jabatan. Namun, ada banyak orang yang tidak bahagia dengan apa yang sudah dicapainya. Juatru ia mencari hal lain untuk membuat dirinya tampak lebih hebat. Harta katanya membuat bahagia. Tetapi berapa banyak orang kaya yang tidak merasa bahagia. Ia menambah harta, tapi kebahagiaannya tak kunjung meningkat.
Berada di dekat Tuhan bisa membahagiakan. Maka orang pergi ke rumah-rumah ibadah, tenggelam dalam doa dan zikir. Ada yang bahagia dengan itu dan ada yang tidak. Banyak orang yang menjadi gampang marah, bahkan buas terhadap lingkungan sekitarnya.
Di mana sebenarnya letaknya kebahagiaan itu?
Kita mengira kebahagiaan itu ada di suatu tempat, dan kita harus melalui suatu jalan untuk mencapainya. Padahal tidak. Kebahagiaan itu adalah kita. Kita tak perlu melakukan apa-apa, atau pergi ke mana-mana untuk bahagia. Kita cukup merasa bahagia. Bukankah orang-orang merasa bahagia dengan pernikahan, mempunyai anak, sukses, kaya, atau dekat dengan Tuhan?
Sama saja. Ia sebenarnya cuma merasa bahagia. Ia sendiri menetapkan jalan menuju kebahagiaan, dan ketika tiba di sana ia merasa bahagia. Ada pula yang tetap merasa tidak bahagia, meski sudah tiba di sana. Jadi, kuncinya bukan jalan yang kita tempuh atau sampai dan tidaknya kita di sana. Kuncinya adalah, kita merasa bahagia atau tidak.
Ada juga orang yang memilih untuk bahagia dengan tidak menikah (seperti yang dilakukan oleh para filosof), atau tidak punya anak. Ada yang memilih untuk tidak berkarir atau tidak kaya. Tak terkecuali, ada juga yang memilih untuk tidak bertuhan. Mereka semuanya bisa bahagia.
Dengan demikian, hemat saya, bahagia itu soal hormon-hormon yang membuat kita nyaman, seperti dopamine, oxytosin, endorphins, serotanin, dan lain-lain. Kebiasaan-kebiasaan gerak dan pikir kita memicu terbentuknya hormon-hormon itu. Ketika ia mengalir dalam darah, maka kita akan merasa nyaman. Kita bisa melatih pikiran dan mengendalikan produksi hormon-hormon itu.
Sekali lagi, kuncinya ada pada pikiran masing-masing. Kita bisa bahagia hanya dengan melihat matahari terbit, atau cukup pejamkan mata nikmati kesunyian. Jalan untuk bahagia bisa apa saja. Sederhananya, cukup kita memilih keadaan batin untuk masuk pada keadaan bahagia.
Masalahnya, kita sering kali tak sanggup mengendalikan pikiran kita sendiri. Pikiran kita dikendalikan oleh orang lain, atau dikendalikan oleh iklim di sekitar kita. Kita serahkan remo control hidup kepada pihak lain. Kita sibuk mencari-cari tombol bahagia dalam hidup, namun tak kunjung ketemu.
Padahal, tombol itu ada di tangan kita dan kita tidak menekannya. Justru sebaliknya, kita berharap orang lain untuk menekannya. Kita berharap cuaca menekannya. Atau Tuhan yang menekannya.
Ada sebuah anekdot tentang orang kaya yang berlibur ke pulau kecil yang indah. Ia menemukan seorang penghuni pulau yang duduk santai di pantai tidak bekerja. Ia miskin. Si kaya menyuruhnya bekerja. Untuk apa? Agar kamu kaya. Lantas, kalau sudah kaya kenapa? Kamu bisa berlibur dan santai. Lha, ini saya sudah santai. Akhirnya si kaya melewati jalan berliku dan rumit untuk bahagia. Sementara si miskin sudah sejak awal bahagia.
Mengapa kita ingin punya anak?
Secara alami punya anak itu membahagiakan. Bisa dikatakan ini bagian dari instinc manusia. Manusia senang ber-uhuk uhuk yang pada umumnya menjadi sarana reproduksi. Lalu manusia juga senang punya anak. Instinc ini memastikan manusia punya keturunan.
Akan tetapi, alam juga menghadirkan anomali. Ada orang-orang yang justru tidak ingin punya anak. Celakanya ia justru mendapat anak. Kita sering menyaksikan orang menolak bayi yang terlanjur dikandungnya, sampai tega membunuhnya. Jadi, apakah punya anak itu membuat bahagia?
Memang iya umumnya begitu. Tapi ingat, kebahagiaan sendiri punya hukum dasar. Hukum dasarnya adalah, bukan suatu benda, atau suatu kejadian yang membuatmu bahagia atau tidak bahagia, melainkan bagaimana kau bersikap terhadap benda atau kejadian itu.
Orang umumnya bahagia punya anak. Kalau melihat bayi kita merasa nyaman, ada dorongan untuk menyentuh dan memeluknya. Kita kemudian merasa bahagia. Tapi ada situasi tertentu yang membuat orang tidak bahagia kalau dia punya anak. Namun sekali lagi, itu pun tetap kembali pada bagaimana ia bersikap. Ada orang yang harus menghadapi masalah yang sulit karena ia punya anak, tapi itu tak membuat ia membenci anaknya.
Ada banyak hal yang bisa memicu kebahagiaan. Maka orang mengejarnya. Namun ada begitu banyak orang yang sibuk mengejar pemicu itu, sampai lupa pada hal yang hakiki dan jauh lebih sederhana, bahwa kebahagiaan itu sumbernya ada dalam diri kita, dalam pikiran kita.
Agak melenceng sedikit, mari kita lihat pemicu kebahagiaan yang ekstrem: narkotika. Mengapa banyak orang menjadi pecandu narkotika? Karena narkotika itu membuat bahagia. Narkotika adalah contoh ekstrim tentang bagaimana mekanisme kebahagiaan itu bekerja. Dalam hal ini tentu saja saya tidak menganjurkan anda semua untuk memakai narkoba.
Orang merasa bahagia kalau ada hormon tertentu mengalir dalam darahnya, misalnya endorpin, oxytosin, serotonin. Hormon itu dihasilkan dari aktivitas tertentu. Oxytosin misalnya, adalah hormon yang dihasilkan saat manusia mengalami sesuatu yang intim, bersentuhan, atau berhubungan seks. Wallahu a’lam bisshawaab.
Salman Akif Faylasuf ,