Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) didefinisikan sebagai penyelenggaraan pemerintahan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam memberikan pelayanan kepada pengguna SPBE, hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik. Jika dilihat dari definisi tersebut terdapat 3 (tiga) kunci penting dalam memahami SPBE yakni: penyelenggaraan pemerintahan, teknologi informasi & komunikasi, dan layanan. Penyelenggaraan pemerintahan digambarkan sebagai suatu proses kerjasama yang melibatkan seluruh perangkat pemerintahan baik pusat ataupun daerah untuk saling bersinergi agar SPBE dapat berjalan dengan maksimal. Teknologi Informasi dan Komunikasi diartikan sebagai sebuah “piranti” atau alat yang digunakan untuk dapat mempercepat akses atau jangkauan masyarakat, serta layanan yang tidak hanya terbatas pada sisi administrasi pemerintahan namun juga layanan publik berbasis elektronik secara keseluruhan.
Menghadapi era 4.0 dimana semua serba digital, menjadikan SPBE sebagai suatu sistem yang sangat tepat untuk menjawab kebutuhan zaman. Menilik salah satu tujuan SPBE yang termaktub dalam Perpres RI Nomor 95 Tahun 2018 yakni mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan terpercaya. Sejalan dengan tujuan tersebut, nyatanya penerapan SPBE dalam peningkatan kualitas pelayanan publik memiliki banyak manfaat, diantaranya mampu menghemat biaya, dirasa lebih efisen karena pengguna layanan tidak harus datang ke kantor penyelenggara layanan, lebih transparan dikarenakan memanfaatkan teknologi dan informasi sehingga masyarakat mengetahui syarat dan proses yang harus dilalui guna memperoleh pelayanan publik yang diinginkan.
Pentingnya penerapan SPBE dalam layanan publik semakin jelas terlihat pada saat pandemi covid-19, dimana pada saat itu layanan publik yang tetap bisa berjalan adalah pelayanan berbasis elektronik, hampir seluruh instansi pemerintah di Indonesia berbondong-bondong untuk menciptakan inovasi layanan publik berbasis elektronik agar tetap bisa memberikan layanan kepada masyarakat. Lebih lanjut, hasil penelitian McKinsey tentang Digital Publik Service menjelaskan bahwa digitalisasi pelayanan publik tidak hanya memberikan manfaat bagi masyarakat, namun juga bagi internal penyelenggara layanan publik. Penerapan digitalisasi pelayanan publik dapat menghemat 50 persen waktu pelayanan, 50 persen dalam penghematan anggaran serta 60 persen efisiensi penyelenggara layanan dalam bekerja.
Implementasi layanan publik berbasis elektronik harus digalakkan, menginggat begitu besar manfaat yang didapatkan masyarakat dan pemerintah. Disisi lain penerapan layanan publik berbasis elektronik menciptakan tantangan tersendiri baik bagi pemerintah sebagai penyelenggara layanan dan masyarakat sebagai pengguna layanan. Menurut (Husein, 2019) terdapat 4 (empat) tantangan digitalisasi pelayanan publik. 1). Tangible (nyata) tantangan nyata dalam digitalisasi pelayanan publik adalah keterbatasan sarana dan prasarana serta jaringan telekomunikasi, 2). Intangible (tidak nyata) berkaitan erat dengan keterbatasan sumber daya manusia yang “melek teknologi”, 3).
Masalah keamanan data, penggunaan teknologi dalam setiap lini kehidupan faktanya juga dapat menimbulkan sisi negatif, kaitanya dengan hal ini penerapan layanan publik berbasis digital nyatanya dapat memperluas oknum-oknum tertentu untuk melakukan cyber crime seperti pembobolan situs atau pencurian data, 4). Integritas dan pengambilan keputusan berdasarkan data, Pada penerapan digitalisasi pelayanan publik seringkali menuai reaksi dari berbagai pihak, reaksi tersebut dinilai sebagai suatu masalah. Dalam hal ini data digunakan dijadikan sebagai bukti kuat/senjata apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Tantangan lain yang jelas terlihat dari penerapan layanan publik berbasis elektronik adalah “kesenjangan” akses. Luasnya geografis Indonesia dan padatnya populasi tentu menjadi Pekerjaan Rumah (PR) tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Kita ketahui bahwa Teknologi informasi & komunikasi merupakan kata kunci penting dalam penerapan SPBE, tanpa TIK SPBE hanya layanan konvensional yang cenderung mempersulit masyarakat, oleh karenanya dibutuhkan akses berupa jaringan internet.
Namun, nyatanya akses jaringan internet di Indonesia masih terbatas, sehingga hal ini menjadi hambatan besar dalam penerapan SPBE bagi pemerintah Indonesia. Data Bank Dunia menyebutkan bahwa masih terdapat kesenjangan signifikan akses internet masyarakat pedesaan dan perkotaan, lebih lanjut dijelaskan bahwa kesenjangan tersebut bahkan melebihi 50 persen, data diperkuat dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI menyebutkan jika pada tahun 2023 masih terdapat 2881 Desa yang belum memiliki akses internet. Belum meratanya akses internet masyarakat Indonesia tentunya disebabkan oleh beberapa hal, mulai dari sarana prasarana yang kurang mendukung serta keterbatasan sumber daya manusia dalam beradaptasi dengan teknologi.
Tantangan-tantangan tersebut tentu dapat dilalui oleh pemerintah apabila memiliki komitmen yang kuat dalam mewujudkan reformasi birokrasi dalam pelayanan berwujud SPBE. Memang membutuhkan waktu yang cukup lama, akan tetapi bukan suatu keniscahyaan untuk dapat diwujudkan. Diperlukan kerjasama antarpemerintah baik pusat maupun daerah serta sinergitas dengan swasta untuk dapat mewujudkan SPBE, seperti contoh pembangunan jaringan internet tingkat desa melalui Dinas Komunikasi dan Informatika Kabupaten/Kota. Selain itu, peningkatan kualitas SDM yang “melek” teknologi juga harus diperhatikan dengan melaksanakan program pendampingan khususnya bagi masyarakat desa atau masyarakat dengan akses internet rendah. Dari segi regulasi, pemerintah harus memperkuat regulasi yang mengatur security data masyarakat Indonesia, agar peristiwa cyber crime dapat ditekan. Pada akhirnya, apabila tantangan-tantangan tersebut dapat dilalui, perwujudan pelayanan publik berbasis SPBE bukanlah suatu angan-angan belaka. (LS)