
Di sadari atau tidak, setelah Nabi Muhammad Saw. wafat, kalangan umat Islam banyak yang telah melupakan ajaran Islam. Akibatnya, kejahatan dan kemaksiatan merajalela. Perbudakan, pencurian, serta diskriminasi terhadap perempuan yang pada zaman Rasulullah Saw. dihapuskan, sekarang kerap dan marak terjadi kembali.
Umat Islam pada saat itu sudah tidak memiliki semangat keislaman seperti pada zaman Rasulullah Saw. Apalagi, saat itu umat Islam sedang mengalami kelelahan dalam Perang Salib yang berkepanjangan. Dengan adanya perpecahan-perpecahan seperti itulah yang menyebabkan kedudukan umat Islam semakin hari menjadi lemah. Pun, akibat dari kelemahan-kelemahan itu pula, maka sebagian wilayah Islam dikuasai oleh negara adikuasa yang mayoritas dari Barat.
Dengan keadaan seperti itu, akhirnya bangkitlah Sultan Shalahudin Al-Ayyubi, yang tekenal dengan julukan, “Singa padang pasir”. Al-Ayyubi bangkit dengan tujuan agar umat Islam tidak berlarut-larut melupakan dan meninggalkan ajaran dan perjuangan Rasulullah Saw. Maka, dianjurkanlah orang-orang untuk menulis kembali riwayat kehidupan Nabi dan perjuangannya, serta dipentaskan pada acara seremonial untuk membacakan kembali sejarah Nabi Muhammad Saw.
Rupa-rupanya, penulisan riwayat Nabi tersebut dikarang beberapa ulama pada saat itu. Akhirnya, setelah selesai ditulis, lalu kaum muslimin diundang untuk mendengarkan pembacaan riwayat kehidupan Nabi yang diselingi oleh jamuan-jamuan yang telah disiapkan oleh Al-Ayyubi. Namun demikian, kali ini, penulis tidak akan panjang lebar mengulas soal sejarang, melainkan akan fokus membahas tentang “bagaimana jika maulid Nabi di isi dengan ceramah-ceramah kampanye politik”, dan “akhlak-akhlak Nabi Muhammad Saw”.
Jika maulid Nabi dibumbuhi ceramah politik
Sudah tak bisa dipungkiri, terkadang maulid Nabi oleh sebagian oknum justru dijadikan ajang mengumpulkan massa kemudian menjadi ruang untuk menyampaikan tujuan dan kepentingan pihak tertentu. Itu sebabnya, kadang di beberapa tempat, ceramah maulid bukan lagi membahas akhlak Nabi Muhammad Saw., melainkan membahas pasangan calon presiden tertentu dan menjelek-jelekkan calon presiden yang lain.
Sering kali pembicaraan di forum maulid justru melenceng dari bahasan tentang bagaimana cara kita meneladani akhlak Rasulullah Saw., mempelajari sunnah dan lain sebagainya. Bahkan, tak sedikit orang berlindung di balik dogma menjalankan sunnah rasul. Padahal, esensi utamanya adalah untuk mengenal dan menghormati sosok Nabi Muhammad Saw.
Syahdan, kita tahu bahwa Nabi Muhammad di utus untuk menyempurnakan akhlak, untuk kasih sayang, untuk memberikan pemahaman kepada lawan-lawannya, tak terkecuali di utus untuk mencegah perpecahan. Inilah yang harusnya patut diteladani. Itu artinya, menurut Prof. Quraish Shihab, jangan sampai perayaan maulid yang kita lakukan justru menimbulkan perpecahan.
Quraish Shihab mengatakan, bahwa yang menyebabkan perpecahan adalah ketika kita melibatkan persoalan politik praktis dalam uraian-urain maulid Nabi. Misalnya, dengan cara mereka mendukung antar satu calon dengan yang lain. Jika hal ini dilakukan, setidaknya kalau bukan perpecahan, maka yang terjadi adalah kesalahpahaman.
Apakah semua sunnah harus di ikuti?
Tentu saja dalam hal ini kita harus berhati-hati. Sebab, sebagian orang menganggap bahwa sunnah Nabi antara lain mencakup terhadap “apa yang diucapkan”, “diamalkan”, dan yang “dibenarkan oleh Nabi”. Jika demikian, apakah berpoligami patut untuk diteladani? Yang jelas jawabannya adalah tidak perlu dan wajib untuk diteladani.
Misalnya ketika Nabi menikahi Siti Aisyah yang masih belia (Aisyah adalah satu-satunya istri Rasulullah yang masih perawan karena dinikahi ketika usianya masih kanak-kanak. Ini tidak patut diteladani karena bersifat situasional. Dengan demikian, jika mau meneladani Nabi, maka teladanilah dengan cerdas. Sebab, pada masa-masa itu kadang ucapan Nabi keluar karena berkenaan dengan kondisi masyarakatnya, pun juga amal-amal Nabi yang lahir dari budayanya, seperti rambut Nabi yang gondrong.
Kemesraan Nabi Muhammad Saw.
Yang tak kalah pentingnya untuk diteladani dari Nabi adalah kemesraannya. Misalnyaa ketika Nabi menempelkan mulut pada bekas makan dan minum sang istri. Sebagaimana diriwayatkan oleh Sayyidah Artinya: “Terkadang Rasulullah Saw disuguhkan sebuah wadah (air) kepadanya, kemudian aku minum dari wadah itu sedangkan aku dalam keadaan haid. Lantas Rasulullah Saw mengambil wadah tersebut dan meletakkan mulutnya di bekas tempat minumku. Terkadang aku mengambil tulang (yang ada sedikit dagingnya) kemudian memakan bagian darinya, lantas Rasulullah Saw mengambilnya dan meletakkan mulutnya di bekas mulutku.” (HR. Ahmad. Nomor 24373).
Dalam hadits lain diceritakan bahwa Nabi tiduran di pangkuan istri. Ini juga riwayat Sayyidah Aisyar RA:
Artinya: “Dahulu Rasulullah Saw meletakkan kepalanya di pangkuanku kemudian membaca (Al-Quran) sedangkan aku dalam keadaan haid.” (HR. Abu Dawud. Nomor 227), (Bukhari. Nomor 288), (Muslim. Nomor 454), (Ahmad. Nomor 24442), dan (Ibnu Majah. Nomor 626).
Berangkat dari hal ini, secara tidak langsung, Nabi ingin menampakkan wajah Islam yang senyum dan ramah, bukan Islam yang sangar-kasar. Misalnya, ketika Fathu Makkah, orang-orang yang dulunya pernah memaki dan menyiksa Nabi, sekarang mereka merasa takut jika Nabi membalas perbuatan mereka. Alih-alih membalas, justru Nabi mengatakan “Pergilah! Kalian semuanya bebas.” Inilah yang jarang diteladani oleh generasi Z.
Kita terkadang selalu ingin tegas sehingga menggambarkan Islam sebagai agama yang keras. Bahkan, ketika membaca firman Allah Swt., sering kali kita lupa bahwa umat Islam mempunyai tugas untuk saling kasih-mengasihi. Nabi mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang disertai dengan kelemah-lembutan, kecuali itu memperindahnya. Dan, tidak ada sesuatu yang menyertai kekerasan, melainkan itu memperburuknya.” Begitulah ajaran yang sebenar-benarnya. Wallahu a’lam bisshawab.