Sabtu, Juli 12, 2025
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper
No Result
View All Result
Mata Banua Online
No Result
View All Result

Reforma Agraria :Bagai Mimpi Siang Bolong Petani di Negeri Agraris

by matabanua
20 September 2023
in Opini
0

oleh : Farhan Pramudya (Ketua Umum Wadah Pengkajian dan Pengembangan Sosial Politk Universitas Negeri Padang/WP2SOSPOL UNP)

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Mungkin kalimat ini tak asing lagi bagi kita karena telah terlampau sering dikutip baik secara lisan maupun tulisan.Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menjadi tonggak dasar sebagai pedoman dalam mengelola perekonomian dan kekayaan negara.Pasal tersebut secara eksplisit menyiratkan dua makna yang perlu dipahami dengan baik.

Artikel Lainnya

D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\master opini.jpg

Menuju Negeri Bersih dan Berdaya

10 Juli 2025
D:\2025\Juli 2025\11 Juli 2025\8\8\Nur Alfa Rahmah.jpg

Indonesia Darurat Perundungan Anak: Mencari Solusi Sistemik

10 Juli 2025
Load More

Pertama menyiratkan makna bahwa segala kekayaan alam yang ada diwilayah Indonesia dikuasai oleh negara.Penguasaan oleh negara mencerminkan pada ideologi sosialis dimana hak individu dalam penguasaan tidak diakui.Indonesia menerapkan ideologi pancasila dengan memeras pikiran positif ideoloi sosialis maupun liberalis.Dalam pancasila sila kelima yang berbunyi “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” bermakna adanya tekad untuk mewujudkan social welfare secara adil dan merata.Memang tidak mudah menciptakan kesejahteraan secara adil dan merata,oleh karena itulah negara hadir menguasai segala sumber daya alam agar negara dapat mengontrol perekonomian yang berujung pada social welfare.

Kedua pasal tersebut menyiratkan bahwa negara menguasai segala kekayaan tersebut tak lain tak bukan hanyalah untuk kesejahteraan rakyat.Agar negara dapat memberikan kesejahteraan yang besar kepada rakyat maka negara perlu mengelola dan mengolah sumber daya alam yang telah dimiliki tersebut.Sejatinya intan berlian dan emas yang ada diperut bumi tidak akan membuahkan kesejahteraan jika kita mengadahkan tangan saja pada yang kuasa.

Segala sumber daya dan kekayaan alam tersebut perlu dikelola dengan kecerdasaan intelektual dan modal finansial.Negara memiliki keterbatasan dalam dua hal ini sehingga negara menyerahkan pada pihak swasta hak pengolahan dan investasi.Hak pegolahan ini sering kita kenal dengan hak guna usaha dimana korporasi diberi hak untuk mengelola kekayaan sumber daya alam namun bukan berarti memliki.

Kemudian juga agar semua kekayaan alam yang ada mampu menggenjot pendapatan nasional maka dibuatlah kebijakan strategis yang mendorong masuknya investasi.Logika sederhananya dengan peningkatan pendapatan nasional yang besar maka pembiyaan subsidi dan bantuan sosial lainnya untuk masyarakat semakin banyak.Kendati demikian,hingga saat ini justru angka kemiskinan dan ketimpangan tak kunjung habis.

Dalam menyongsong makna yang pertama,negara sebagai penguasa segala kekayaan yang ada maka dicetuslah reforma agraria agar kepemilikan secara administrasi dapat dikuasai dengan baik sehingga investasi berjalan sesuai dengan harapan.Reforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, kepemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui penataan aset dan di sertai dengan penataan akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018, reforma agraria memiliki tujuan sebagai berikut :

1.Mengurai ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah dalam rangka menciptakan keadilan;

2.Menangani sengketa dan konflik agraria;

3.Menciptakan sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat yang berbasis agraria melalui pengaturan penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah;

4.Menciptakan lapangan kerja untuk mengurangi kemiskinan;

5.Memperbaiki akses masyarakat kepada sumber ekonomi;

6.Meningkatkan ketahanan dan kedaulatan pangan; dan

7.Memperbaiki dan menjaga lingkungan hidup.

Jika kita hayati dengan baik tujuan dari reforma agrarian memang mengacu pada kesejahteraan sosial.Namun dalam pelaksanaan dan tahapan implementasi tujuan-tujuan yang diharapkan masih jauh dari harapan bak panggang jauh dari api.Reforma agrarian bukan semata-mata bagi-bagi sertifikat tanah.Melainkan mewujudkan keadilan dan mengahapus ketimpangan. Pada tahun 2020,Kementerian ATR/BPN memaparkan bahwa rasio gini tanah di Indonesia sudah mendekati 0,58. Artinya, satu persen dari total jumlah penduduk Indonesia menguasai 58 persen total luas tanah di Indonesia.Ketimpangan ini tentu perlu upaya redistribusi dari pemerintah.Jika tidak, bayangkan saja satu orang warga negara menguasai 58 persen,lalu beberapa pengusaha lainnya menguasai puluhan persen dan sisanya yang dikuasai oleh petani kecil.Ini tentu menjadi sebuah persoalan pelik karena tidak sesuai dengan amanat konstitusi dan pancasila yang seharusya mengacu ada social welfare.

Selain dari persoalan ketimpangan,masih banyak para petani yang menggarap lahan mereka tanpa rasa aman.Konflik lahan yang tak berkesudahan antara masyarakat lokal dengan korporasi ataupun akibat proyek pemerintah tak kunjung usai.Catatan akhir tahun,Konsorium Pembaruan Agraria(KPA) menyebutkan, setidaknya ada 212 letusan konflik.

Banyaknya kasus dari konflik agrarian ini disebabkan oleh tumpang tindihnya antara HGU yang diberikan pemerintah kepada korporasi dengan lahan garapan masyarakat.Lahan garapan rakyat merupakan hutan rakyat yang kebanyakan tidak memiliki sertifkat tanah.Kendati demikian,pemerintah juga tidak bisa mengusir rakyat dengan seenaknya,karena masyarakat setempat yang telah bertahun-tahun menggarap hutan merupakan bagian dari masyarakat adat yang diakui haknya untuk menggarap hutan adat.Sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang.Dalam hal penetapan hukum adat hingga saat ini masih sering terjadi tumpag tindih dengan kawasan produksi maupun kawasan proyek strategis pemerintah,meski pada pasal asal 62 ayat (1) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial bahwa hutan adata dapat berasal dari hutan negara dan bukan hutan negara yang mempunyai fungsi pokok konservasi, lindung dan/atau produksi.

Letusan konflik lahan yang pada akhirnya berujung pada kriminalisasi petani karena setiap hari harus berhadapan dengan aparat tentu menjadi perhatian besar publik.Para petani kecil yang menggantungkan hidupnya untuk memperoleh penghasilan yang tak seberapa malah berujung pada ketakutan dan kehilangan ruang hidupnya.Komnas Ham mencatat sepanjang Januari-Agustus telah menerima laporan 692 aduan terkait konflik agraria.Ini tentu menjadi catatan miris di negeri agraris dimana amanat konstistusi pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bagaikan mimp disiang bolong.

 

Tags: agrariaFarhan PramudyaKetua Umum Wadah Pengkajian
ShareTweetShare

Search

No Result
View All Result

Jl. Lingkar Dalam Selatan No. 87 RT. 32 Pekapuran Raya Banjarmasin 70234

  • Redaksi
  • Pedoman Media Siber
  • SOP Perlindungan Wartawan

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA

No Result
View All Result
  • Headlines
  • Indonesiana
  • Pemprov Kalsel
  • Bank Kalsel
  • DPRD Kalsel
  • Banjarmasin
  • Daerah
    • Martapura
    • Tapin
    • Hulu Sungai Utara
    • Balangan
    • Tabalong
    • Tanah Laut
    • Tanah Bumbu
    • Kotabaru
  • Ekonomi Bisnis
  • Ragam
    • Pentas
    • Sport
    • Lintas
    • Mozaik
    • Opini
    • Foto
  • E-paper

© 2022 PT. CAHAYA MEDIA UTAMA