Jalidah, S.Pd (Guru di Batola)
Di tengah panasnya bursa pencalonan capres-cawapres, Menteri Agama Yaqut Cholil memperingatkan masyarakat agar jangan memilih calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kekuasaan. “Agama seharusnya dapat melindungi kepentingan seluruh umat, masyarakat. Umat Islam diajarkan agar menebarkan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam. Bukan rahmatan lil islami, tok,” ujarnya.
Pernyataan Menag ini jelas keliru. Bertentangan dengan hukum Islam dan realitas. Pertama, banyak ulama tafsir muktabar yang memaknai rahmatan lil ‘alamin itu tidak semata untuk kaum muslim. “Tidaklah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (TQS Al-Anbiya’ [21]: 107).
Profesor Doktor Wahbah az-Zuhayli dalam At-Tafsîr al-Munîr menjelaskan makna ayat ini: “Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat untuk semesta alam, manusia, dan jin…” (At-Tafsîr al-Munîr, 17/142).
Islam menjadi rahmat untuk semesta alam karena memang risalah Islam, yakni akidah dan syariatnya, menjamin datangnya rahmat bagi semua makhluk. Syekh An-Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) dalam tafsirnya, Marâh Labîd, menguraikan: “Tidaklah Kami mengutus engkau, wahai sebaik-baiknya makhluk, dengan membawa ajaran-ajaran syariat-Nya, kecuali sebagai rahmat bagi semesta alam, yakni untuk menjadi rahmat Kami bagi alam semesta seluruhnya, bagi agama ini dan kehidupan dunia.” (An-Nawawi, Marâh Labîd, 2/63).
Kedua, ajaran Islam juga memberikan perlindungan dan perlakuan adil kepada semua manusia, baik muslim maupun kafir. Di dalam Khilafah, harta, kehormatan dan jiwa orang-orang kafir akan dilindungi sesuai syariat Islam sebagaimana harta kaum muslim. Mereka adalah ahludz dzimmah atau orang kafir yang terikat perjanjian dengan Khilafah (muahid) atau yang dijamin keamanannya oleh Khilafah (musta’min). Abdullah bin Umar ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah menjatuhkan hukuman kisas atas seorang muslim karena membunuh seorang kafir muahid. Kemudian beliau bersabda,
“Aku memuliakan orang yang menepati dzimmah (perjanjian)-nya.” (HR Ad-Daruquthni).
Islam, politik, dan kekuasaan adalah bagian yang terintegrasi. Para ulama sudah membahas tentang pentingnya agama dan kekuasaan itu bersatu. Dalam kitab Majmû’ al-Fatâwâ, (28/394), Ibnu Taimiyah menyatakan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan rusak.”
Dalam Islam, menjadi penguasa itu memiliki tujuan mulia, yakni sebagai amal saleh untuk mengurus umat dengan penerapan Islam dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Allah Swt. telah memerintahkan para pemimpin untuk berhukum dengan syariat-Nya dan menunaikan amanah. Firman-Nya,
“Sungguh Allah menyuruh kalian memberikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, juga (menyuruh kalian) jika menetapkan hukum di antara manusia agar kalian berlaku adil.” (TQS An-Nisa’ [4]: 58).
Imam Ath-Thabari, dalam Tafsîr Ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban imam/penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah. Jika ia telah melaksanakan hal itu maka orang-orang wajib mendengarkan dan mentaati dia, juga memenuhi seruannya jika mereka diseru.”
Oleh karena itu, memilih pemimpin bukan sekadar memilih yang beragama Islam, tetapi memilih pemimpin muslim yang akan menjadikan Islam sebagai sistem kehidupan sehingga tercipta rahmat bagi semesta alam.
Wallahua’lam