BANJARMASIN – Buku peribahasa dan ungkapan bahasa Banjar karya sastrawan dan budayawan Banua, YS Agus Suseno dibedah di UIN Antasari Banjarmasin.
Sebelumnya, buku berjudul; Baruh Urang Dikaruni, Baruh Saurang Taung: Kambang Rampai Kisah Paribasa Banjar dibedah di Kampung Buku (Kambuk) Banjarmasin pada akhir Agustus 2023 lalu.
Mengutip jejakrekam.com, bedah buku terbitan Tahura Media ini gelaran Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) dibuka langsung oleh Rektor UIN Antasari Banjarmasin Prof H Mujiburrahman.
Selain buku karya YS Agus Suseno, buku edisi revisi ditulis Ahmad Makkie dan Syamsiar Seman berjudul Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Bahasa Banjar yang disunting kembali oleh YS Agus Suseno dan dicetak LP2M UIN Antasari, turut dibahas di Gedung PSB lantai 2 UIN Antasari Banjarmasin, Senin (18/9).
“Khazanah lokal patut diapresiasi dan dikembangkan lebih jauh dalam penelitian. Sebab, khazanah lokal dapat menjadi maskot dalam muhibah kebudayaan antarnegara,” kata Rektor UIN Antasari, Prof Mujiburrahman dalam sambutannya.
Dia menceritakan pengalamannya dalam Forum Keilmuan Internasional di Thailand, Brunei Darussalam dan banyak negara lainnya justru para tamu akademisi dari luar negeri sangat tertarik dengan Melayu dan Banjar Corner yang ada di UIN Antasari.
“Saya kenal betul dengan penulis buku Baruh Urang Dikaruni, Baruh Saurang Taung (YS Agus Suseno) yang konsisten dalam pelestarian bahasa dan budaya Banjar khususnya di ruang media sosial dan sejumlah forum kebudayaan,” kata Prof Mujib, sapaan akrabnya.
Hal senada juga dilontarkan Kepala LP2M UIN Antasari, Dr M Zainal Abidin. Menurut dia, sosok YS Agus Suseno sebagai pegiat bahasa dan budaya Banjar tak perlu diragukan dalam dedikasinya selama ini.
Dimoderatori Ahmad Muhajir PhD, sang penulis YS Agus Suseno, Kepala Rumpun Bahasa dan Budaya Banjar UIN Antasari Humaidy dan Ketua Dewan Kesenian (DK) Banjarmasin, Hajriansyah jadi narasumber dan pembahas.
“Peribahasa Banjar merupakan bagian tradisi lisan masyarakat Banjar dan peran-peran ketokohan Banjar dalam pelestarian budaya,” kata Agus Suseno, membuka paparannya.
Dia merujuk pada dua buku yang dibahas dalam diskusi tersebut. Agus Suseno mengaku dari hasil penelitian dan perumusan yang dituangkan dalam buku sangat terpengaruh dari sosok peneliti dan penulis buku Bidah Jarahnitra (Disdikbud Provinsi Kalsel) pada 1970-an dan 1980-an.
“Peribahasa Banjar hidup di masyarakat Banjar diungkapkan secara anonim bahkan menjadi tradisi yang dijaga dalam rumusan-rumusan tertentu dan menjadi baku,” papar Agus Suseno.
Alhasil, menurut dia, peribahasa Banjar itu akhirnya familiar di tengah masyarakat Banjar. Sebab, peribahasa atau paribasa Banjar justru memiliki kekhasan sendiri dibandingkan dengan peribahasa Melayu di Sumatera.
“Sebab, ia hidup dalam kultur Banjar dengan bahasa yang memilki kekhasan tersendiri,” tegas Agus Suseno.
Sementara, Hajriansyah sebagai penyunting buku Baruh Urang Dikaruni, Baruh Saurang Taung mengakui dalam konteks teori folklore seperti pendapat James Dananjaya bahwa folklore merupakan tradsi lisan suatu masyarakat yang terus berkembang seiring perkembangan zaman.
“Peribahasa atau ungkapan tradisional sebagai bagian dari folklore bersifat lisan atau sebagian lisan. Hal ini menjadi milik kolektif yang kemudian sah untuk direproduksi kembali dalam bentuk tulisan atau cerita (kisah) agar dapat menjembatani pemahaman tradisi dan budaya antargenerasi,” papar mahasiswa doktoral UIN Antasari ini.
Hajriansyah berpendapat hal itu dianggap luntur bahkan menghilang seiring kemajuan teknologi dan zaman. “Tentu dalam proses pewarisan budaya sendiri ada bermasalah. Ini mengapa pentingnya pewarisan itu dalam dituangkan dalam buku,” kata Owner Kampung Buku Banjarmasin ini. jjr