Oleh: Nor Aniyah, S.Pd. (Penulis, Pemerhati Masalah Sosial dan Generasi.)
Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla sempat kembali terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana (Pusdalops PB) Kalimantan Selatan melaporkan luas sementara kebakaran hutan dan lahan di Kalsel mencapai 163,15 hektare hingga Sabtu 24 Juni lalu. Kebakaran tersebut tersebar hingga 13 kabupaten dan kota di Kalimantan Selatan dengan 2.168 titik api (antaranews.com). Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Kebakaran bahkan merambah daerah pemukiman warga. Kebakaran terjadi di lahan kosong yang ada di perumahan dengan luas sekitar 1 hektare (tribunnews.com).
Karhutla terjadi di lahan-lahan kosong yang dipenuhi semak belukar dan kering, sehingga mudah terbakar. Sementara kebakaran hutan yang terjadi di Riau melanda kawasan suaka margasatwa Giam Siak Kecil Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis. Menurut Kepala Balai Besar Konservasi sumber daya alam Riau, kebakaran dipicu aksi pembukaan lahan dengan cara membakar untuk perkebunan kelapa sawit. Diperkirakan 10 hektare habitat gajah Sumatera ini musnah terbakar sejak pertengahan Juni lalu (kompas.com).
Sebagaimana yang diketahui, kebakaran hutan yang terjadi ini bukan pertama kali. Hampir setiap tahun kebakaran hutan melanda negeri ini. Penyebabnya pun bermacam-macam, mulai dari faktor alam, hingga faktor manusia yang sengaja membakar hutan untuk pembukaan lahan. Kebakaran hutan sangatlah membahayakan jiwa manusia, sebab asap yang dihasilkan bisa menimbulkan polusi udara. Dampak lainnya adalah ancaman pemukiman warga. Selain itu, asap dari karhutla juga berpotensi membahayakan jalur penerbangan yang berisiko terhadap keselamatan penumpang.
Permasalahan kebakaran hutan sejatinya tidak lepas dari buruknya penaganan lahan hutan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Pasalnya, selama ini pembukaan lahan hutan melalui pembakaran memang diperbolehkan jika memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Di sisi lain, negara juga gagal memberikan sanksi yang tegas pada para pelaku pembakaran hutan secara liar. Kebakaran hutan diperparah dengan rendahnya kesadaran masyarakat terhadap persoalan ini akibat gagalnya edukasi di tengah-tengah masyarakat.
Semua ini tidak lepas dari penerapan sistem ekonomi kapitalis di negeri ini. Dalam sistem ekonomi kapitalis, hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara bukan milik rakyat. Karena itu, negara dipandang berwenang menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta atau korporasi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan yang ada. Tentu saja mindset korporasi sebagai pemilik modal adalah untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengeluarkan modal yang besar. Sementara aktivitas membakar hutan dalam pembukaan lahan adalah cara termudah dan sesuai target bisnis para korporat.
Karena itu, akar persoalannya adalah penerapan sistem kapitalisme yang telah membiarkan kaum kapitalis mengeruk untung dari kebakaran hutan. Sementara negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan penguasaan lahan oleh para korporat melalui kebijakan negara. Apalagi penegakan hukum yang tidak memberikan efek jera membuka peluang penyalahgunaan konsesi yang diberikan negara. Apalagi dalam ideologi kapitalisme, kredonya rakyat harus hidup sendiri, survival of the fittest.
Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam. Hutan memiliki fungsi ekologis dan hidrologis, sebagai paru-paru dunia yang dibutuhkan puluhan juta jiwa. Rasulullah Saw bersabda, “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput/hutan, air dan api.” (HR. Abu Dawud).
Para ulama terdahulu sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput (hutan) adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh seseorang atau hanya sekelompok orang. Dengan demikian, berserikat manusia dalam ketiga hal pada hadits tersebut bukan karena zatnya tetapi karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan orang banyak atau komunitas dan jika tidak ada maka mereka akan berselisih atau terjadi masalah dalam mencarinya.
Dalam pandangan Islam, kebijakan-kebijakan tersebut tentu saja menyalahi aturan Islam. Sebab sumber daya alam yang melimpah seperti hutan merupakan milik umum yang harus dikuasai negara, serta proses pengelolaannya tidak boleh menimbulkam mudharat bagi manusia. Inilah pentingnya kita berdiri pada standar yang benar yaitu Islam, kalau demokrasi kapitalisme terus maka sudut pandangnya akan selalu berubah, ini merugikan. Alih-alih menyejahterakan rakyat, demokrasi kapitalisme menjadi jalan oligarki berkuasa.
Islam menetapkan penguasa adalah pihak paling bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan. Rasulullah Saw bersabda, “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya).” (HR. Muslim).
Apapun alasannya haram bertindak sebagai bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan. Termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak, serta antisipasi pemadaman bila terbakar. Selain itu, penyerahan pengelolaan hutan pada pihak korporasi hingga berujung aktivitas pembakaran dan kerusakan fungsi hutan akan menjadi sumber bencana bagi jutaan orang adalah sesuatu yang diharamkan dalam Islam.
Islam juga tidak mengenal hak konsesi karena pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara. Dengan tujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Dawud).
Jika ternyata masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani pemerintah. Karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyatnya dan memelihara kemaslahatan mereka. Namun, tentu saja ini didukung oleh pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan kelestarian hutan. Semua ini hanya bisa diwujudkan dengan penerapan syariah Islam secara menyeluruh di bawah institusi Khilafah Islam.
Jadi, hutan adalah salah satu milik umum pemanfaatannya tidak boleh membahayakan kehidupan dan lingkungan. Islam memiliki aturan dalam pengelolaan harta milik umum oleh negara. Islam menjamin keselamatan rakyat dan lingkungan. Komitmen ini berpengaruh terhadap kebijakan negara sebagai pengatur urusan rakyat.[]