
Indonesia bukan “anak kemarin sore” soal pluralitas beragama.
Indonesia adalah negara yang beragam. Keanekaragaman agama dan kepercayaan masyarakat Indonesia adalah salah satu aspek kemajemukannya. Dengan kata lain, berbagai agama dan kepercayaan hidup dan berkembang di Indonesia. Islam, Kristen Katolik, Protestan Hindu, Buddha, Konghucu, dan bahkan Yahudi adalah beberapa agama besar dunia. Para pendiri negara benar-benar memahami realitas keagamaan masyarakat bahwa negara harus memberikan jaminan atas hak setiap penduduk untuk beragama.
Tajuk Moderasi Beragama di Indonesia bermula dari hasil resolusi PBB pada tahun 2019. Dalam resolusi yang disetujui oleh semua negara itu, tahun 2019 akan menjadi tahun perayaan internasional bahasa-bahasa asli (indigenous language), tahun internasional tabel periodik (International Year of Periodic Table) yang menyangkut tabel valensi atom, sebagaimana kita kenal dalam ilmu kimia, dan menjadi tahun internasional “moderasi” (International Year of Moderation 2019) yang disingkat dengan IYM2019.
Penulis merasa awam dengan dua perayaan internasional lainnya. Akan tetapi, IYM2019 bergema begitu kuat di negeri ini. “Moderasi Beragama” pun gencar dipancarkan oleh pemerintah khususnya Kemenag RI. Salah satu semangat yang ditunjukkan oleh Kemenag RI untuk menyuarakan moderasi beragama dengan lahirnya buku tentang narasi tersebut. Bahkan lebih jauh lagi, moderasi beragama pun diklaim harus menjadi arus utama dalam membangun Indonesia. Tak dapat dipungkiri, upaya tersebut membuahkan hasil yang cukup mengesankan. Moderasi Beragama pun masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024.
Dalam RPJMN, Moderasi Beragama pun menjadi salah satu bagian “Pembangunan Karakter” yang merupakan strategi pembangunan SDM, selain soal revolusi mental dan pembangunan ideologi Pancasila, pemajuan dan pelestarian kebudayaan, maupun budaya literasi, inovasi dan kreativitas. Singkat kata, diskursus moderasi beragama agaknya telah menjadi tren global dewasa ini.
Moderasi beragama dikristalisasikan dalam lima kegiatan prioritas yang mencakup: 1. Penguatan cara pandang, sikap, dan praktik beragama jalan tengah; 2. Penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama; 3. Penguatan relasi agama dan budaya; 4. Peningkatan kualitas pelayanan kehidupan beragama; dan 5. Pengembangan ekonomi dan sumber daya keagamaan.
Apabila diperhatikan cakupan dari kelima kegiatan prioritas tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa gagasan moderasi beragama akan memberi pengaruh dalam gerak kehidupan keagamaan di tanah air.
Kekhawatiran Ancaman Ekstrimisme dan Terorisme.
Salah satu aspek yang menggelisahkan sehingga moderasi beragama perlu digaungkan di Indonesia ialah munculnya ancaman ekstrimisme dan terorisme. Mengutip pernyataan Lukman Hakim Saifuddin selaku Menteri Agama kala itu menyebut secara ekspisit ancaman ekstrimisme dan terorisme di Indonesia. Ancaman teror dan kekerasan sering lahir akibat adanya pandangan, sikap, dan tindakan ekstrem seseorang yang mengatasnamakan agama. Dalam buku pedoman moderasi beragama pun menyebutkan kalau perilaku moderasi beragama sebagai solusi untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang rukun, harmoni dan damai.
Indonesia sendiri mengalami momentum naiknya isu keagamaan yang menciptakan dikotomi yang jelas dalam warga negara sendiri. Gelombang demonstrasi yang berhasil digalang (kita kenal dengan gerakan 212) sungguh mengejutkan para pengamat politik bahkan masyarakat kita sendiri pun turut terbawa arus dan masih melekat residu-residunya menuju pemilu 2024 nanti.
Diskursus Moderasi Beragama pun digemakan kembali untuk merespon sinyal kebangkitan semangat dan gerakan-gerakan keagamaan yang kian lama kian menuntut keterlibatan mereka untuk turut menentukan tatanan hidup bersama. Dalam konteks Indonesia, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi jilid 2 pun menampilkan upaya menahan laju deras politisasi agama dan munculnya perspektif serta sikap keagamaan yang dinilai membahayakan sendi-sendi dasar kehidupan masyarakat yang majemuk.
Hanya saja, diskursus ini terlalu obsesif untuk mencari jalan tengah yang dapat mendamaikan pandangan-pandangan yang dinilai “ekstrem”, entah itu “ekstrem kiri” maupun “ekstrem kanan”. Penggunaan kacamata seperti ini justru membuka kemungkinan memperlebar polarisasi sikap keberagamaan lebih jauh antara mereka yang digolongkan “moderat” dengan “tidak moderat”. Apabila tetap dibiarkan seperti itu, tidak tertutup kemungkinan bahwa moderasi beragama hanyalah alat politik yang digunakan untuk mengendalikan dan menertibkan hidup keagamaan warganya.
Moderasi Beragama, Fenomena atau Rekayasa?
Pada bagian penutup tulisan ini, Penulis pun mencoba untuk menjawab dari tajuk opini kali ini. Moderasi Beragama apakah fenomena atau sebatas rekayasa yang diciptakan kepada masyarakat Indonesia? setidaknya ada dua hal yang menjawab isu tersebut.
Pertama, Indonesia sebagai negara yang memiliki catatan panjang soal pluralitas suku, bangsa maupun agama yang hidup saling berdampingan tentu moderasi beragama bukanlah hal baru yang perlu digagaskan karena sebelum ada dan lahirnya negara Republik Indonesia kehidupan seperti ini sudah menjadi DNA yang asli dari bangsa ini. Akan tetapi, dalam rentang waktu 78 tahun usia kemerdekaan negara ini tidak dapat dipungkiri kalau transisi kemasyarakatan kita sangatlah cepat sehingga transmisi nilai-nilai luhur pun tak tersampaikan bahkan memudar hingga hilang yang menciptakan kondisi keberagaman tersebut mempunyai dikotomi yang jelas antar sesama masyarakat Indonesia.
Kedua, moderasi beragama dirasa tepat untuk disebut sebagai upaya rekayasa sosial yang dilakukan oleh negara untuk membentuk kembali tata kehidupan masyarakat kita yang telah dikotomi dengan entitas golongan tertentu. Maraknya praktek politik identitas yang disebut sebagai pemersatu padahal sesungguhnya pemecah belah keutuhan bangsa ini.
Upaya dalam merekayasa masyarakat kita telah cukup lama dengan tujuan menciptakan harmoni kehidupan beragama seperti dikenalnya “Trilogi Kerukunan”, Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Beragama, dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang pernah ditawarkan namun kandas di tengah jalan. Dan akhirnya rekayasa yang berhasil dicanangkan dan masuk RPJMN adalah Moderasi Beragama.
Dengan demikian, moderasi beragama merupakan upaya yang perlu kita apresiasi hanya saja masih banyak pembahasan yang mendalam untuk menyempurnakan agar tidak disalahgunakan sebagaimana yang dikhawatirkan.